Judul Novel: Edensor; Penulis:
Andrea Hirata; Penerbit: PT Bentang Pustaka; Tahun Terbit: Cetakan Pertama
Edisi I-2007, hingga Cetakan Kelima Edisi Revisi-Februari 2015; Jumlah Halaman:
290.
Cita-cita
besar harus dibarengi dengan tekad kuat. Bermimpi besar, berarti harus siap bekerja
keras. Bahkan menaklukkan dunia sekali pun, sangat mungkin terwujud jika
ditopang sikap pantang menyerah. Itulah salah satu pesan dalam novel karya
Andrea Hirata berjudul Edensor. Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini
menceritakan tentang semangat dua orang pemuda kampung, dari Pulau Belitong,
untuk menjelajah belahan dunia lain. Cerita hidup mereka, dari kampung hingga
berhasil menjelajah belahan dunia, dikisahkan dalam 44 mozaik (bab atau sesi
penceritaan) oleh penulis.
Pemuda
pengelana sebagai tokoh utama dalam novel itu bernama Andrea dan Arai. Andrea adalah
anak seorang pensiunan perusahaan. Sedangkan Arai adalah sepupu jauhnya yang
hidup sebatang kara, sehingga diasuh orng tua Andrea. Mereka bermimpi mengunjungi
ragam negara dan bangsa untuk memetik banyak pelajaran. Tekad mereka dikobarkan
pesan dari seorang guru mereka semasa SD, Muslimah Hafsari, bahwa jika ingin
menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal: sekolah, banyak-banyak
membaca Al-Qur’an, dan berkelana. Juga pesan guru sastra mereka semasih SMA,
Pak Balia, yang menguatkan tekadnya untuk menjalejahi Eropa dan menjamah
Afrika.
Setamat
SMA di kampungnya, mereka memulai petualangannya. Awalnya mereka mencari
peruntungan di Pulau Jawa. Berkuliah sambil bekerja. Lika-liku mereka lalui, hingga
bisa mendapatkan pekerjaan, sebagai salesman.
Tak lama, mereka dipecat karena penjualannya tak mencapai target. Lagi, akhirnya
mereka mencari dan mendapatkan pekerjaan baru. Andrea bekerja sebagai pegawai
pos, sedangkan Arai merantau ke Kalimantan untuk berkuliah sambil bekerja.
Seiring
waktu, mereka pun menyelesaikan pendidikan program strata I dalam waktu yang cepat.
Karena desakan jiwa petualangnya, mereka jadi gerah melakukan aktivitas dengan rutinitas
yang itu-itu saja. Mereka ingin pembaruan suasana dan sesuatu yang menantang.
Untuk itu, mereka pun mencoba mendaftar sebuah program beasiswa strata dua di
Universite de Paris, Sorbonne. Akhirnya, karena proposal risetnya saat
mendaftar dinilai menarik, mereka pun dinobatkan sebagai penerima beasiswa yang
ditalangi Uni Eropa itu. Andrea menekuni bidang ekonomi, sedangkan Arai bidang
biologi.
Datanglah
hari di mana mereka harus meninggalkan kampung untuk berangkat ke Prancis.
Mereka mendarat di Belanda, lalu menginap di Belgia sebelum menuju Prancis.
Banyak pelajaran yang mereka jumpai selama perjalanan. Salah satu yang
memiriskan adalah sikap birokratis penjaga penginapan di Belgia yang tak
memberikan hak akomodasi mereka untuk menginap jika tak menyelesaikan sejumlah
proses administrasi. Di awal perjalanan itu, mereka terpaksa terlunta-lunta.
Tersiksa dingin di suhu delapan derajat celcius di jalanan.
Beberapa
hari kemudian, setelah sampai di Prancis, mereka pun menjalani kehidupan
sebagai mahasiswa seperti biasa. Kuliah, melakukan riset, dan refreshing menikmati warna-warni kehidupan
di Prancis. Merasa misinya belum tercapai hanya dengan remeh-temeh perkuliahan,
mereka pun membuat rencana untuk menjelajah Eropa dan Afrika selepas musim
salju. Langkah awal mereka adalah bekerja part
time untuk mengumpulkan modal. Akhirnya, ada ide cemerlang dari mahasiswa
pendamping mereka, Famke Somers, untuk menghimpun bekal petualangan, yaitu menjadi
pementas seni jalanan. Mengamen kreatif. Mereka berdua pun mementaskan teatrikal
putri duyung di jalanan dan mendapatkan penghasilan menggiurkan.
Setelah
musim salju berakhir, mereka pun menceritakan rencananya untuk menjelajah Eropa
hingga Afrika selama libur musim panas kepada teman-teman di kampusnya.
Akhirnya lima orang temannya bersedia turut dalam petualangan. Tapi tidak bersama-sama.
Mereka terbagi lima, yaitu Townsend, Stansfield, Ninoch, Gonzales dan MVRC
Manooj, serta Arai dan Andrea. Mereka pun
sepakat petulangan mereka dijadikan kompetisi. Semuanya karena keisengan,
gengsi, dan harga diri. Pemenangnya adalah mereka yang dapat menempuh paling
banyak kota dan negara. Bagi yang paling rendah pencapaiannya, disepakati juga
untuk diberi hukuman. Salah satunya adalah menuntun mundur sepeda yang
digantungi pakaian rombeng di pusat kota Paris.
Cerita
selanjutnya lebih banyak mengulas mengenai tantangan perjalanan Andrea dan Arai
dalam menaklukkan banyak negara. Mereka yang terlunta-lunta hidup sebagai backpacker, bertemu dengan orang yang
tak terduga, dan menikmati panorama menakjubkan di setiap negara. Di sela-sela
perjalanan mereka, diceritakan juga upaya Andrea untuk menuntaskan misi
sampingannya: menemukan gadis pujaannya saat di kampung yang entah di mana, A
Ling. Berdasarkan informasi yang diperolehnya di internet, di setiap titik pada
satu negara yang diindikasikan sebagai tempat hidup gadis itu, akan dieceknya.
Namun tak pernah berhasil. A Ling yang ditemuninya hanyalah nama jalan, orang
tua, juga nama sebuah minuman keras.
Setelah
sampai pada pada deadline, sesuai
kesepakatan, para petualang itu bertemu di Kafe Nou Camp, Spanyol. Penjurian pun
dilakukan tentang siapa yang menang, serta siapa kalah. Akhirnya, Gonzales dan
MVRC Manooj menjadi tim harus menerima hukuman sebab paling sedikit melintasi
negara. Sedangkan Andrea dan Arai dinobatkan sebagai pemenang. Mereka berhasil melintas
banyak negara di Eropa, hingga Afrika. Menginjakkan kaki hingga di Zaire.
Setelah
petualangan mereka berakhir, dan mereka kembali menjalani rutinitasnya sebagai
mahasiswa, kabar butuk tentang Arai, datang. Ia terserang penyakit paru-paru
yang mengharuskannya kembali ke Indonesia untuk sementara waktu. Merasa
kesepian tanpa teman di negeri orang, Andrea pun bertekad menyeselasikan
studinya segera. Tapi hambatan baru datang. Profesor Hopkins Turnbull,
supervisor tesisnya, keburu pensiun. Demi tesisnya, Andrea akhirnya terpaksa mengmbil
exchange program untuk pindah ke
Sheffield Hallam University, Inggris.
Pada
akhir penceritaan, di Inggris, Andrea teringat kembali tentang A Ling. Itu
karena tentang cerita sebuah desa yang indah dalam sebuah novel berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya
Herriot yang diberikan A Ling untuknya. Kenangan tentang A Ling tiba-tiba
menggugahnya kala Andrea benar-benar menemukan desa khayalannya dalam novel
yang senantiasa dibacanya untuk mengobati kerinduan pada A Ling itu. Ia seperti
de javu. Desa itu bernama Edensor.
Sangat indah. Nama desa itulah yang dijadikan judul novel Penulis kali ini. Ya,
Edensor.
Demikianlah
ulasan singkat tentang cerita dalam novel Edensor. Tentu hanya sebuah ulasan
sekilas, sehingga pasti tak semenarik jika membacanya sendiri langsung. Mengulas
secara runut kata per kata. Namun sebagai catatan, membaca novel Edensor ini
butuh pengingatan yang mendalam. Ada banyak tokoh cerita yang dilibatkan
Penulis. Salah satu keunggulan tersendiri tentunya. Tapi bagi pembaca yang tak
jeli, itu bisa saja menimbulkan kebingungan, sehingga tak bisa mengingat jalan
cerita kehidupan setiap tokoh yang dikisahkan secara selang seling. Selain itu,
banyaknya tokoh dalam cerita dapat saja menimbulkan kesan pembaca bahwa ada
beberapa tokoh yang tak berkarakter kuat dalam cerita. Hanya sebagai pelengkap.
Tapi tentu, Penulis telah menjawab permasalahan itu dengan membuat satu
konstruksi cerita, sehingga terbaca bahwa tokoh-tokoh itu selalu berkaitan
dengan kehidupan tokoh utama.
Dalam
novel ini, juga terdapat beberapa ilustrasi, foto monumen penting, dan peta
perjalanan tokoh utama. Hal tersebut dapat membantu pembaca untuk mudah
memahami jalan cerita. Namun keadaan tersebut, untuk sebagian pembaca, bisa
saja dianggap malah menghilangkan bayangan imajinatif yang dikonstruksikannya sendiri
melalui kata-kata yang dirangkai penulis. Tapi tentu, dengan ruang lingkup
penceritaan yang luas (penceritaannya yang pindah-pindah lokasi di beberapa
negara), elemen-elemen tersebut sangat membantu pembaca memahami cerita.
Akhirnya,
membaca novel Edensor akan membawa imajinasi kita melanglang buana. Kita dibawa
berjalan-jalan melalui cerita. Penulis yang telah mempuni, terbukti dengan
penghargaan skala internasional yang diraihnya, mampu menceritakan perjalanan setiap
tokoh, terutama tokoh utama, dengan penceritaan menarik, ringkas, dan jelas. Di
setiap perjalanan tokoh utama itulah, banyak pelajaran dan pengetahuan baru
yang pembaca dapat peroleh. Tentang bagaimana pola kehidupan bangsa di sebuah
negara, serta apa yang perlu dilakukan jika suatu waktu pembaca berkeinginan untuk
menjelajahi belahan dunia. Sebuah bekal berharga yang patut dibaca oleh orang
yang berniat menjadi backpacker.
Novel
Edensor mengajarkan kita betapa berharganya memperoleh pelajaran hidup dari
pengalaman sendiri. Bahwa sekadar membaca pengalaman orang lain, tentu tak
seberkesan dan seberharga jika kita mengalaminya secara langsung. Pelajaran
paling bernilai ada dalam pengalaman, pesannya. Menggelitik kita bahwa dunia
terlalu luas untuk sekadar mengurung diri di satu titik. Berpetualang itu
sangat mengasyikkan. Dengan membaca ceritanya dari awal hingga akhir, akan memberikan
penegasan bahwa tak ada mimpi yang mustahil, selama kita berani bermimpi,
berani mengambil keputusan, dan terus melangkah. Jelajahilah bumi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar