Lona telah
tumbuh menjadi seorang gadis besar. Umurnya sudah lebih dari 18 tahun. Karena
itu, perasaannya selalu saja dilanda badai asmara. Ia senantiasa haus atas
pujian lelaki. Ia ingin juga kalau-kalau ada lelaki yang menganggapnya sebagai
perempuan tercantik di antara perempuan-perempuan yang lain.
Tetapi
masalahnya, ia bukanlah seorang gadis yang lihai mencari perhatian. Meski memiliki
bentuk wajah yang menarik, ia tak punya keahlian untuk menampilkan dirinya
secara menawan. Ia seorang perempuan yang pemalu dan tak jago berdandan. Ia bak
mutiara yang terkubur di dasar samudera terdalam.
Hidup
dengan penghargaan diri yang rendah, akhirnya membuat Lona kehilangan
ketertarikan untuk bergaul. Ia khawatir hanya akan jadi bahan olok-olokan.
Karena itu, ia jadi tak berselera untuk bergabung dalam organisasi mahasiswa
atau komunitas apa pun. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di kamar, sembari
menikmati dunia di layar kaca.
Lona
yang tak banyak tingkah, akhirnya membuat ayahnya, Rano, menjadi tenteram. Ia
merasa telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang gadis baik-baik, yang membatasi
pergaulannya, terutama dengan lawan jenis. Sebab itu pula, ia tak pernah
menduga atau sekadar menaruh curiga bahwa anaknya akan terjerumus ke dalam
pergaulan tanpa batas.
Namun
anggapan Rano tidaklah benar. Di masa kini, batas-batas ruang telah sirna. Dinding-dinding
kamar hanyalah pembatas semu bagi orang-orang yang bergaul di dunia maya.
Tetapi Rano yang kolot, sama sekali tak menyadari kalau anak gadisnya kerap
kali membawa orang-orang asing ke dalam kamarnya melalui pintu-pintu media
sosial.
Karena
kekolotannya pula, Rano meyakini begitu saja bahwa anaknya akan belajar tiap
kali berada di dalam kamar, dan ia pun merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.
Namun pada kanyataannya, Lona malah lebih sering larut di dalam layar kaca.
Apalagi saat seorang lelaki berpenampilan menawan di media sosial, mengirimkan pesan-pesan
pujian.
Sampai
akhirnya, tibalah waktu ketika Lona meminta haknya sebagai perempuan dewasa:
“Ayah…,”
sapa Lona, begitu waswas, lalu duduk di samping sang ayah.
Rano
yang tengah menonton televisi pun menyahut tanpa menoleh pada sang anak, “Ada
apa?” tanyanya, dengan nada suara yang datar.
Seketika,
Lona jadi gugup, lalu bertutur kagok, “Aku mau keluar sebentar. Mau ke rumah
teman. Boleh kan, Ayah?” tanyanya Lona, sembil berharap-harap cemas.
Rano
lantas menoleh pada sang anak dengan raut wajah yang serius. “Ada urusan apa keluar rumah
malam-malam begini?”
Nyali
Lona pun menciut. Ia lalu menunduk dan menjawab dengan nada suara yang lemah, “Aku
ada tugas kuliah, Pak,” jawabnya. “Boleh kan?”
Tiba-tiba,
Rano merasa bersalah telah bersikap judes seperti kala ia berbicara dengan
bawahannya di kesatuan tentara. “Memangnya kau mau ke rumah siapa?” selidik
Rano, dengan nada suara yang melembut.
“Ke
rumah Narti, Pak,” jawab Lona kemudian, dengan maksud menunjuk seorang teman
dekatnya yang sering bertamu, yang tinggal di blok sebelah rumahnya.
Rano
lalu terdiam dan menimbang-nimbang sejenak, hingga ia pun memberikan
persetujuan, “Baiklah. Tapi jangan pulang lewat dari jam 10, ya?”
Sontak,
Lona mengangguk-angguk senang. “Terima kasih, Ayah,” katanya, lalu mencium tangan sang
ayah. “Aku akan pulang sebelum jam 10!”
Sesaat
kemudian, Lona pun beranjak keluar rumah. Ia melangkah menuju ke satu titik dengan
hati yang berbunga-bunga. Bukan ke rumah Narti, tetapi ke arah sebuah mobil
yang terparkir di pinggir jalan. Sebuah mobil yang dikemudikan sorang lelaki
yang telah mengirimkannya pesan dan membuatnya merasa sebagai perempuan tercantik di dunia.
Sampai
akhirnya, roda-roda pun bergulir menuju ke sebuah titik yang dijanjikan sang
lelaki sebagai tempat yang menyenangkan bagi mereka berdua, dan Lona
menyetujuinya dengan senang hati.
Sedang
pada sisi lain, Rano tiba-tiba menyaksikan berita tentang aksi-aksi kriminal
yang sadistis, termasuk kejahatan yang menyasar para gadis muda. Dan seketika, ia
mengkhawatirkan keadaan anak gadisnya yang telah meninggalkan rumah.
Detik
demi detik bergulir cepat. Sudah lewat jam 10 malam. Namun Lona belum juga pulang. Rano
pun jadi kalang-kabut. Ia lantas mengontak nomor telepon sang anak, tetapi tak
juga ada jawaban. Setelah mencoba berulang kali, sambungan malah jadi tak
tembus.
Akhirnya, Rano memutuskan untuk berkunjung ke rumah Narti. Di sana, ia pun
mendapatkan informasi mengejutkan, bahwa sang anak tak pernah datang bertandang.
Detik-detik
lantas terhimpun dalam hitungan jam. Ketika pagi menjelang, Rano pun
menyaksikan berita hangat tentang penemuan sesosok jasad perempuan tanpa
identitas, tanpa busana, di semak-semak, di sebuah turunan, di samping jalan,
di tengah persimpangan yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar