Sabtu, 13 Juli 2019

Arah Lain

Lona telah tumbuh menjadi seorang gadis besar. Umurnya sudah lebih dari 18 tahun. Karena itu, perasaannya selalu saja dilanda badai asmara. Ia senantiasa haus atas pujian lelaki. Ia ingin juga kalau-kalau ada lelaki yang menganggapnya sebagai perempuan tercantik di antara perempuan-perempuan yang lain. 
 
Tetapi masalahnya, ia bukanlah seorang gadis yang lihai mencari perhatian. Meski memiliki bentuk wajah yang menarik, ia tak punya keahlian untuk menampilkan dirinya secara menawan. Ia seorang perempuan yang pemalu dan tak jago berdandan. Ia bak mutiara yang terkubur di dasar samudera terdalam. 

Hidup dengan penghargaan diri yang rendah, akhirnya membuat Lona kehilangan ketertarikan untuk bergaul. Ia khawatir hanya akan jadi bahan olok-olokan. Karena itu, ia jadi tak berselera untuk bergabung dalam organisasi mahasiswa atau komunitas apa pun. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di kamar, sembari menikmati dunia di layar kaca.

Lona yang tak banyak tingkah, akhirnya membuat ayahnya, Rano, menjadi tenteram. Ia merasa telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang gadis baik-baik, yang membatasi pergaulannya, terutama dengan lawan jenis. Sebab itu pula, ia tak pernah menduga atau sekadar menaruh curiga bahwa anaknya akan terjerumus ke dalam pergaulan tanpa batas.

Namun anggapan Rano tidaklah benar. Di masa kini, batas-batas ruang telah sirna. Dinding-dinding kamar hanyalah pembatas semu bagi orang-orang yang bergaul di dunia maya. Tetapi Rano yang kolot, sama sekali tak menyadari kalau anak gadisnya kerap kali membawa orang-orang asing ke dalam kamarnya melalui pintu-pintu media sosial.

Karena kekolotannya pula, Rano meyakini begitu saja bahwa anaknya akan belajar tiap kali berada di dalam kamar, dan ia pun merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Namun pada kanyataannya, Lona malah lebih sering larut di dalam layar kaca. Apalagi saat seorang lelaki berpenampilan menawan di media sosial, mengirimkan pesan-pesan pujian.

Sampai akhirnya, tibalah waktu ketika Lona meminta haknya sebagai perempuan dewasa:

“Ayah…,” sapa Lona, begitu waswas, lalu duduk di samping sang ayah.

Rano yang tengah menonton televisi pun menyahut tanpa menoleh pada sang anak, “Ada apa?” tanyanya, dengan nada suara yang datar.

Seketika, Lona jadi gugup, lalu bertutur kagok, “Aku mau keluar sebentar. Mau ke rumah teman. Boleh kan, Ayah?” tanyanya Lona, sembil berharap-harap cemas.

Rano lantas menoleh pada sang anak dengan raut wajah yang serius. “Ada urusan apa keluar rumah malam-malam begini?”

Nyali Lona pun menciut. Ia lalu menunduk dan menjawab dengan nada suara yang lemah, “Aku ada tugas kuliah, Pak,” jawabnya. “Boleh kan?”

Tiba-tiba, Rano merasa bersalah telah bersikap judes seperti kala ia berbicara dengan bawahannya di kesatuan tentara. “Memangnya kau mau ke rumah siapa?” selidik Rano, dengan nada suara yang melembut.

“Ke rumah Narti, Pak,” jawab Lona kemudian, dengan maksud menunjuk seorang teman dekatnya yang sering bertamu, yang tinggal di blok sebelah rumahnya.

Rano lalu terdiam dan menimbang-nimbang sejenak, hingga ia pun memberikan persetujuan, “Baiklah. Tapi jangan pulang lewat dari jam 10, ya?”

Sontak, Lona mengangguk-angguk senang. “Terima kasih, Ayah,” katanya, lalu mencium tangan sang ayah. “Aku akan pulang sebelum jam 10!”

Sesaat kemudian, Lona pun beranjak keluar rumah. Ia melangkah menuju ke satu titik dengan hati yang berbunga-bunga. Bukan ke rumah Narti, tetapi ke arah sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sebuah mobil yang dikemudikan sorang lelaki yang telah mengirimkannya pesan dan membuatnya merasa sebagai perempuan tercantik di dunia.

Sampai akhirnya, roda-roda pun bergulir menuju ke sebuah titik yang dijanjikan sang lelaki sebagai tempat yang menyenangkan bagi mereka berdua, dan Lona menyetujuinya dengan senang hati.

Sedang pada sisi lain, Rano tiba-tiba menyaksikan berita tentang aksi-aksi kriminal yang sadistis, termasuk kejahatan yang menyasar para gadis muda. Dan seketika, ia mengkhawatirkan keadaan anak gadisnya yang telah meninggalkan rumah. 

Detik demi detik bergulir cepat. Sudah lewat jam 10 malam. Namun Lona belum juga pulang. Rano pun jadi kalang-kabut. Ia lantas mengontak nomor telepon sang anak, tetapi tak juga ada jawaban. Setelah mencoba berulang kali, sambungan malah jadi tak tembus.

Akhirnya, Rano memutuskan untuk berkunjung ke rumah Narti. Di sana, ia pun mendapatkan informasi mengejutkan, bahwa sang anak tak pernah datang bertandang.

Detik-detik lantas terhimpun dalam hitungan jam. Ketika pagi menjelang, Rano pun menyaksikan berita hangat tentang penemuan sesosok jasad perempuan tanpa identitas, tanpa busana, di semak-semak, di sebuah turunan, di samping jalan, di tengah persimpangan yang panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar