Aku
masih sebodoh kemarin. Hanya menatap senyummu tanpa berani memuji. Terus saja melontarkan
kata-kata yang bisa menyamarkan suara hatiku yang merintih. Padahal seharusnya,
di detik-detik terakhir kebersamaan kita sebelum terpisah lagi untuk waktu yang
lama, aku semestinya meluruhkan segala rasa yang kupendam selama ini.
Untuk
ke sekian kalinya, aku tak bisa memahami diriku sendiri. Setiap kali berhadapan
denganmu, aku seketika menjadi seorang pembohong besar yang lihai menyembunyikan
perasaan. Sedang pada saat yang sama, kau akan menjadi seorang gadis kecil yang
lugu dan tak sadar sedang berbicara dengan sebuah benda mati yang tak
berperasaan.
Waktu
pun bergulir cepat, sedang kita hanya mengulas kisah masa lalu sebagai dua
orang sahabat baik. Hanya berlomba mengungkapkan penggalan cerita yang patut
kita tertawakan, tanpa ada kekhidmatan untuk membicarakan hal-hal yang serius.
Sampai tengah malam lewat, kita tak sedikit pun menyinggung rencana tentang
kita di masa depan.
Sampai
akhirnya, dingin malam melemahkan dirimu. Kau tak bersemangat lagi membalas
celotehan dariku, dan jadi lebih suka terdiam. Kau bahkan telah kehabisan daya untuk sekadar
melayangkan senyuman. Hingga aku pun sadar, memang sudah waktunya untuk berhenti
menahanmu demi memenuhi hasratku merekam wajahmu sebagai bekalku nanti.
Jadi dengan berat hati, aku pun menawarkan padamu untuk mengakhiri kebersamaan kita, dan
kau segera menyetujuinya dengan anggukan yang lemah. Tanpa basa-basi lagi, kita
pun berjalan keluar dari sebuah kafe yang kembali mengarsipkan kisah kita sebelum
aku kembali ke pulau seberang, dan kau tetap tinggal di kota ini.
Sesaat
kemudian, kita pun berdiri-bersampingan di tepi jalan, sembari menunggu taksi
yang akan membawa kita ke arah yang berlawanan.
“Jangan
khawatir. Aku akan baik-baik saja,” tukasku, bermaksud menuduhkankan perasaanku
padamu.
Seperti
biasa, kau sigap melontarkan elakan, “Siapa juga yang khawatir? Aku hanya
mengantuk!” balasmu, sambil mengusap-usap kelopak mata.
Aku
mendengus dan tak lekas membalas, sedang kau tampak enggan berkata-kata lagi.
Selang
beberapa detik, aku pun memberanikan diri untuk melontarkan kecemasanku dengan
sikap yang biasa, “Tapi kau akan baik-baik saja kan?”
Kau
lantas menyiku lenganku. “Hai, aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa menjaga
diriku sendiri!” katamu, dengan wajah yang tampak kesal.
Aku
mengangguk-angguk dengan pikiran yang tiba-tiba kehilangan insting
bercanda.
Tak
lama kemudian, kau pun menyambung penuturanmu sendiri, “Jangan
mengkhawatirkan aku. Tak semestinya kau pergi dengan berat hati hanya karena
sesuatu yang memang harus kau tinggalkan,” tuturmu, sambil menetap jalan yang
lengang, kemudian menoleh padaku sepintas lalu.
Lagi-lagi,
aku hanya mengangguk bodoh.
Tanpa
kuminta, kau lantas menahan sebuah taksi untukku, seolah-olah kau tak ingin
lagi mengulur detik-detik terakhir kebersamaan kita. “Kau sebaiknya pulang
lebih dahulu. Kau butuh istirahat yang cukup sebelum penerbanganmu subuh
nanti.”
Karena
bingung merangkai alasan untuk mengelak, aku pasrah saja untuk memasuki kabin depan
taksi dengan kegalauan yang sangat. Sampai akhirnya, ucapan selamat jalan yang berbalas
dengan selamat tinggal mengantarkan kita pada jarak yang jauh.
Untuk
rasa-rasa yang tak juga terucap, seiring roda-roda yang berputar, aku pun
kembali merenungkan dirimu. Bahkan ketika aku telah sampai di hotel dan
berbaring di kasur empuk, pikiranku masih saja disesaki bayang-bayang tentangmu.
Hingga tanpa terasa,
aku kembali melewatkan waktu hampir dua jam untuk sekadar mengulas kenangan kita di
balik kepalaku sendiri. Sebuah pengulangan yang lagi-lagi mengantarkan aku pada
pertanyan: Apakah kau mengkhawatirkan diriku atas cintamu padaku sebagaimana aku
mengkhawatirkan dirimu atas cintaku padamu?
Sampai akhirnya, setelah energiku habis untuk berurusan dengan kenanganku sendiri, aku pun terjatuh
ke dalam lelap. Sangat pulas, hingga aku terbangun kala pagi menjelang, ketika
aku semestinya berada di tengah penerbangan.
Aku
pun mengutuki diriku sendiri.
Kini,
atas kegalauan tentangmu, juga atas kegalauan untuk biaya pesawat yang harus
kutalangi sendiri, aku pun menghempaskan diri pada sebuah kursi. Dengan
perasaan yang karut-marut, aku lantas menyaksikan siaran televisi yang secara
serentak menyiarkan berita hangat tentang sebuah pesawat yang kehilangan kontak.
Dan tanpa kuragukan lagi, pesawat itu adalah pesawat yang harusnya kutumpangi
subuh tadi.
Seketika,
ada rasa syukur yang timbul di dalam hatiku. Aku merasa kalau obrolan kita
yang melarut malam tadi, juga kenangan-kenangan tentang kita yang membuatku
begadang sampai melewatkan penerbangan, barangkali telah telah menghindarkan diriku dari petaka.
Tiba-tiba,
telepon genggamku bergetar. Namamu tampak di layar. Aku pun segera
menjawab.
“Halo,
ini kamu kan?” sergahmu seketika, terdengar sambil terisak.
“Iya.
Ada apa?” tanyaku, penasaran.
Kau
malah balas bertanya, “Kau baik-baik saja kan?”
“Iya.
Aku baik-baik saja,” jawabku, “Ada apa?”
Kau
pun terdengar mengembuskan napas yang panjang. “Aku mengkhawatirkan dirimu!”
…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar