Senin, 08 Juli 2019

Pengakuan

Aku masih sebodoh kemarin. Hanya menatap senyummu tanpa berani memuji. Terus saja melontarkan kata-kata yang bisa menyamarkan suara hatiku yang merintih. Padahal seharusnya, di detik-detik terakhir kebersamaan kita sebelum terpisah lagi untuk waktu yang lama, aku semestinya meluruhkan segala rasa yang kupendam selama ini.

Untuk ke sekian kalinya, aku tak bisa memahami diriku sendiri. Setiap kali berhadapan denganmu, aku seketika menjadi seorang pembohong besar yang lihai menyembunyikan perasaan. Sedang pada saat yang sama, kau akan menjadi seorang gadis kecil yang lugu dan tak sadar sedang berbicara dengan sebuah benda mati yang tak berperasaan. 

Waktu pun bergulir cepat, sedang kita hanya mengulas kisah masa lalu sebagai dua orang sahabat baik. Hanya berlomba mengungkapkan penggalan cerita yang patut kita tertawakan, tanpa ada kekhidmatan untuk membicarakan hal-hal yang serius. Sampai tengah malam lewat, kita tak sedikit pun menyinggung rencana tentang kita di masa depan. 

Sampai akhirnya, dingin malam melemahkan dirimu. Kau tak bersemangat lagi membalas celotehan dariku, dan jadi lebih suka terdiam. Kau bahkan telah kehabisan daya untuk sekadar melayangkan senyuman. Hingga aku pun sadar, memang sudah waktunya untuk berhenti menahanmu demi memenuhi hasratku merekam wajahmu sebagai bekalku nanti. 

Jadi dengan berat hati, aku pun menawarkan padamu untuk mengakhiri kebersamaan kita, dan kau segera menyetujuinya dengan anggukan yang lemah. Tanpa basa-basi lagi, kita pun berjalan keluar dari sebuah kafe yang kembali mengarsipkan kisah kita sebelum aku kembali ke pulau seberang, dan kau tetap tinggal di kota ini.

Sesaat kemudian, kita pun berdiri-bersampingan di tepi jalan, sembari menunggu taksi yang akan membawa kita ke arah yang berlawanan.

“Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja,” tukasku, bermaksud menuduhkankan perasaanku padamu. 

Seperti biasa, kau sigap melontarkan elakan, “Siapa juga yang khawatir? Aku hanya mengantuk!” balasmu, sambil mengusap-usap kelopak mata.

Aku mendengus dan tak lekas membalas, sedang kau tampak enggan berkata-kata lagi.

Selang beberapa detik, aku pun memberanikan diri untuk melontarkan kecemasanku dengan sikap yang biasa, “Tapi kau akan baik-baik saja kan?”

Kau lantas menyiku lenganku. “Hai, aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa menjaga diriku sendiri!” katamu, dengan wajah yang tampak kesal.

Aku mengangguk-angguk dengan pikiran yang tiba-tiba kehilangan insting bercanda.

Tak lama kemudian, kau pun menyambung penuturanmu sendiri, “Jangan mengkhawatirkan aku. Tak semestinya kau pergi dengan berat hati hanya karena sesuatu yang memang harus kau tinggalkan,” tuturmu, sambil menetap jalan yang lengang, kemudian menoleh padaku sepintas lalu.

Lagi-lagi, aku hanya mengangguk bodoh.

Tanpa kuminta, kau lantas menahan sebuah taksi untukku, seolah-olah kau tak ingin lagi mengulur detik-detik terakhir kebersamaan kita. “Kau sebaiknya pulang lebih dahulu. Kau butuh istirahat yang cukup sebelum penerbanganmu subuh nanti.”

Karena bingung merangkai alasan untuk mengelak, aku pasrah saja untuk memasuki kabin depan taksi dengan kegalauan yang sangat. Sampai akhirnya, ucapan selamat jalan yang berbalas dengan selamat tinggal mengantarkan kita pada jarak yang jauh.

Untuk rasa-rasa yang tak juga terucap, seiring roda-roda yang berputar, aku pun kembali merenungkan dirimu. Bahkan ketika aku telah sampai di hotel dan berbaring di kasur empuk, pikiranku masih saja disesaki bayang-bayang tentangmu. 

Hingga tanpa terasa, aku kembali melewatkan waktu hampir dua jam untuk sekadar mengulas kenangan kita di balik kepalaku sendiri. Sebuah pengulangan yang lagi-lagi mengantarkan aku pada pertanyan: Apakah kau mengkhawatirkan diriku atas cintamu padaku sebagaimana aku mengkhawatirkan dirimu atas cintaku padamu?

Sampai akhirnya, setelah energiku habis untuk berurusan dengan kenanganku sendiri, aku pun terjatuh ke dalam lelap. Sangat pulas, hingga aku terbangun kala pagi menjelang, ketika aku semestinya berada di tengah penerbangan.

Aku pun mengutuki diriku sendiri.

Kini, atas kegalauan tentangmu, juga atas kegalauan untuk biaya pesawat yang harus kutalangi sendiri, aku pun menghempaskan diri pada sebuah kursi. Dengan perasaan yang karut-marut, aku lantas menyaksikan siaran televisi yang secara serentak menyiarkan berita hangat tentang sebuah pesawat yang kehilangan kontak. Dan tanpa kuragukan lagi, pesawat itu adalah pesawat yang harusnya kutumpangi subuh tadi.

Seketika, ada rasa syukur yang timbul di dalam hatiku. Aku merasa kalau obrolan kita yang melarut malam tadi, juga kenangan-kenangan tentang kita yang membuatku begadang sampai melewatkan penerbangan, barangkali telah telah menghindarkan diriku dari petaka.

Tiba-tiba, telepon genggamku bergetar. Namamu tampak di layar. Aku pun segera menjawab.

“Halo, ini kamu kan?” sergahmu seketika, terdengar sambil terisak.

“Iya. Ada apa?” tanyaku, penasaran.

Kau malah balas bertanya, “Kau baik-baik saja kan?”

“Iya. Aku baik-baik saja,” jawabku, “Ada apa?”

Kau pun terdengar mengembuskan napas yang panjang. “Aku mengkhawatirkan dirimu!” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar