Barangkali,
Tuhan menciptakan dirimu bukan untuk dirimu sendiri, tetapi untuk diriku saja. Selama
ini, kau hidup bukan untuk mendapatkan segala yang kau inginkan, tetapi
memberikan segala yang aku butuhkan. Kau bahkan rela mengorbankan kebaikan yang
harusnya menjadi hakmu, dan merasa berkewajiban untuk melimpahkannya kepadaku.
Kita
memang lahir dari rahim yang sama. Namun kenyataan itu tidak seharusnya
membuatmu lebih peduli padaku ketimbang dirimu sendiri. Bagaimana pun, kita
adalah dua sosok lelaki yang punya kepentingan masing-masing, dan sesekali
malah bertentangan. Karena itu, kau semestinya memperjuangkan cita-cita untuk
dirimu sendiri, begitu pun aku.
Sampai
saat ini, aku sendiri tak memahami pandanganmu tentang kita. Apalagi kita tidak
pernah membahas arti persaudaraan secara terbuka. Secara alamiah, kita menerima
takdir sebagai kakak-adik begitu saja, meskipun kau terkesan menyayangiku
secara berlebihan, sedang aku menghormatimu dengan biasa saja, dan itulah yang
membuatku bertanya-tanya.
Mungkin
karena aku adalah bungsu terhadap kau yang sulung, aku jadi tak mengerti
bagaimana rasanya bertanggung jawab atas seorang adik. Aku pun jadi tak mengerti
bagaimana perasaan cinta seorang kakak kepada adiknya. Namun aku memahami bahwa
seorang adik tak terlalu memedulikan kakaknya yang ia rasa lebih dewasa dan
lebih bisa menjaga diri. Entahlah.
Yang
pasti, aku menilai pengorbananmu sudah berlebihan untukku, dan aku tak tahu
bagaimana cara membalasnya. Paling tidak, kau telah mengorbankan masa depanmu
untukku. Kau rela menguburkan impianmu untuk menjadi seorang arsitek seperti
yang kau idam-idamkan, lalu mengupayakan agar aku menjadi seorang dokter
seperti yang kuidam-idamkan.
Atas
niat baikmu itu, kau pun rela untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku
sekolah menengah atas, dan tetap tinggal di kampung untuk membantu ayah
mengurus kebun kakao. Kau rela memeras peluh untuk mencari biaya penghidupanku
di kota, sembari menjaga ayah dan ibu supaya aku tak perlu merisaukan apa-apa
selain fokus mengejar cita-citaku sendiri.
Perekonomian
keluarga kita memang sangat pas-pasan, dan kau ingin agar aku tak terperangkap
dalam kemiskinan yang menyedihkan. Aku yakin, kau pun masih mengingat peristiwa
dahulu, ketika setengah karung biji kakao kering hilang di bawah kolong rumah, dan
kau lantas mendapatkan hardikan yang keras dari ayah, meski itu bukan salahmu.
Sedang
di sisi lain, sebagai bungu, aku malah lebih sering dimanja dan dibela. Aku
tentu masih menginggat peristiwa-peristiwa kecil ketika kau mengizinkan aku
beristirahat setiap kali aku gusar mengurus kebun. Juga ketika Ayah marah atas
kenakalanku yang terlalu, kau selalu menjadi tameng yang ampuh.
Untuk
segenap kebaikan yang telah kau lakukan untukku, sampai saat ini, aku tak pernah
sekali pun mengucapkan terima kasih kepadamu. Bukan berarti aku tak hendak mengucapkannya,
tetapi aku yakin, sebagai sesama lelaki, kau tak pernah mengharapkan ucapan
formal semacam itu dariku, sebagaimana kau yang tak pernah mengucapkan kata
sayang untukku.
Namun
kurasa, kepulanganku kali ini, sudah sedikit melunasi utang terima kasihku
padamu dalam bentuk tindakan. Setidaknya, aku telah menghabiskan waktu liburku
selama dua minggu untuk membantumu mengurus kebun kakao peninggalan ayah. Aku
telah sedikit membantumu mencari biaya untuk urusan pendidikanku sendiri.
Dan
hari ini, aku akan kembali meninggalkanmu di sini. Aku akan kembali ke kota
untuk melanjutkan pendidikanku di bangku kuliah, sebagaimana yang kau inginkan.
Katamu, aku harus sekolah tinggi-tinggi demi dirimu yang hanya tamatan sekolah
menengah pertama. Katamu, keberhasilanku adalah keberhasilanmu juga.
“Ini
hasil panen kakao. Ambillah untuk bekalmu di kota,” pintamu, dengan sikap yang tenang.
Diam-diam,
perasaanku terenyuh. “Kurasa ini terlalu banyak. Ambillah separuhnya untuk
kepentingan Kakak sendiri,” balasku, sembari menyodorkan kembali sejumlah uang
yang kau berikan untukku.
Kau
lantas menggenggam kepalan tanganku, seolah memaksa agar aku menerima seluruh
uang pemberianmu. “Jangan mengkhawatirkan aku. Tanah kampung sudah cukup menghidupi
untukku,” katamu, lalu tersenyum singkat. “Kau lebih membutuhkan ini. Terimalah!”
Dengan
rasa haru di dalam hati, akhirnya, kuterimalah uang hasil kerja kerasmu, sembari
bertekad untuk membalas kebaikanmu suatu saat nanti, juga berdoa agar Tuhan
senantiasa melimpahkan kebaikan untukmu.
Sesaat
kemudian, aku pun beranjak meninggalkanmu di bawah kolong rumah panggung kita yang
sederhana dan penuh kenangan. Aku meninggalkanmu tanpa pelukan dan tangisan.
Hanya ada salam dan jabat tangan sebagaimana kebiasaan kita selama ini. Sebuah
prosesi sederhana yang ampuh membuat perasaan kita lebih sanggup untuk saling berpisah.
Namun
akhirnya, di atas roda-roda yang terus menjauh darimu, aku tak kuasa juga
membendung air mataku. Seketika, aku pun menangis haru atas semua kebaikanmu
padaku, juga atas semua kesalahanku padamu, termasuk soal setengah karung biji kakao
kering yang hilang di bawah kolong rumah kita dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar