Sejak
kelahirannya di dunia, Dindo merasa kehidupannya baik-baik saja. Kepergian sang
ayah ketika ia masih berumur tiga tahun, bukanlah sebuah bencana besar. Apalagi,
ia adalah anak semata wayang dari seorang ibu yang berstatus sebagai pegawai negeri
sipil. Keadaan itu sudah lebih dari cukup untuk menjamin kebutuhan dan
keinginan hidupnya.
Sebagai
anak tunggal yang kelahirannya harus dinanti-nantikan selama hampir sepuluh
tahun, Dindo senantiasa diperlakukan secara spesial. Sedari dulu, hidupnya nyaman
dan penuh kemanjaan. Karena itulah, ia terbiasa hidup dengan banyak pinta dan
ogah berusaha. Ia terbentuk sebagai pribadi yang malas dan bermasa bodoh.
Seiring
waktu, Dindo akhirnya dewasa dengan sikap yang masih kekanak-kanakan. Ia malas
mengurus urusan dirinya sendiri dan senantiasa bergantung kepada sang ibu. Ia tak
peduli pada keadaan kamarnya yang berantakan, atau pakaian kotornya yang
menumpuk. Apalagi soal urusan makanan, ia sama sekali tak bisa diandalkan.
Jika
kepentingan dirinya saja Dindo tak peduli, lebih lagi soal urusan orang lain.
Di usianya yang sudah 18 tahun, ia lebih memilih menyendiri di kamarnya
ketimbang bersosialisasi di luar rumah. Atas statusnya sebagai mahasiswa ilmu
pemerintahan, ia pun sama sekali tak tertarik untuk menjalani rutinitas
sebagaimana yang lain, semacam berdiskusi atau berdemonstasi.
Akhirnya,
Dindo buta soal masalah-masalah di luar dinding rumahnya. Ia tak paham dan tak
peduli pada soal politik yang ia pikir tak punya pengaruh atas kenyamanan
hidupnya. Karena itu, pada pemilihan kepala daerah, ia ogah berangkat ke tempat
pemungutan suara dan lebih memilih berbaring di kamar sambil memainkan gim
luncuran terbaru.
Namun
pada hari-hari kemudian, kehidupannya pun terusik setelah ibunya ditetapkan
untuk pindah tempat tugas ke pulau seberang, dan ia mulai bertanya-tanya atas
pola pikirnya sendiri:
“Kenapa
harus Ibu yang pindah?” tanya Dindo ketika tahu Ibunya dimutasi oleh sang bupati
petahana yang kembali memenangkan kontes pilkada.
“Mungkin
karena Ibu bersikap netral pada saat pemilihan. Ibu tak menuruti instruksi sang
bupati agar para pegawai negeri turut aktif mencari suara untuknya,” kata sang
Ibu dengan penuh kelesuan. “Demi nafsu kekuasaan, di dalam urusan politik saat
ini, sesuatu yang benar memang seringkali disalahkan.”
“Apa
tak ada cara untuk membatalkan keputusan itu?” tanya Dindo lagi, seperti tak memahami teori dan praktik politik-pemerintahan dan hanya ingin sang ibu tetap tinggal
bersamanya.
“Selalu
ada cara. Namun orang-orang yang punya kuasa selalu juga punya cara untuk
mempertahankan keputusannya,” jawab sang Ibu dengan sikap putus asa.
“Ibu kira, upaya apa pun akan sia-sia selama sang bupati masih berkuasa.”
Dindo
tampak masih tak terima,”Jadi bagaimana?”
“Ya,
paling tidak, Ibu harus menunggu sampai lima tahun ke depan untuk kembali ke
sini,” kata sang Ibu, lantas mengusap-usap punggung Dindo. “Bersabarlah, Nak.”
Dindo
hanya terdiam. Murung.
“Kuliahlah baik-baik. Kelak, ketika kau jadi
pemimpin, jadilah pemimpin yang baik,” pesan sang Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar