Senin, 08 Juli 2019

Suara

Sejak kelahirannya di dunia, Dindo merasa kehidupannya baik-baik saja. Kepergian sang ayah ketika ia masih berumur tiga tahun, bukanlah sebuah bencana besar. Apalagi, ia adalah anak semata wayang dari seorang ibu yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Keadaan itu sudah lebih dari cukup untuk menjamin kebutuhan dan keinginan hidupnya.
 
Sebagai anak tunggal yang kelahirannya harus dinanti-nantikan selama hampir sepuluh tahun, Dindo senantiasa diperlakukan secara spesial. Sedari dulu, hidupnya nyaman dan penuh kemanjaan. Karena itulah, ia terbiasa hidup dengan banyak pinta dan ogah berusaha. Ia terbentuk sebagai pribadi yang malas dan bermasa bodoh.

Seiring waktu, Dindo akhirnya dewasa dengan sikap yang masih kekanak-kanakan. Ia malas mengurus urusan dirinya sendiri dan senantiasa bergantung kepada sang ibu. Ia tak peduli pada keadaan kamarnya yang berantakan, atau pakaian kotornya yang menumpuk. Apalagi soal urusan makanan, ia sama sekali tak bisa diandalkan.

Jika kepentingan dirinya saja Dindo tak peduli, lebih lagi soal urusan orang lain. Di usianya yang sudah 18 tahun, ia lebih memilih menyendiri di kamarnya ketimbang bersosialisasi di luar rumah. Atas statusnya sebagai mahasiswa ilmu pemerintahan, ia pun sama sekali tak tertarik untuk menjalani rutinitas sebagaimana yang lain, semacam berdiskusi atau berdemonstasi.

Akhirnya, Dindo buta soal masalah-masalah di luar dinding rumahnya. Ia tak paham dan tak peduli pada soal politik yang ia pikir tak punya pengaruh atas kenyamanan hidupnya. Karena itu, pada pemilihan kepala daerah, ia ogah berangkat ke tempat pemungutan suara dan lebih memilih berbaring di kamar sambil memainkan gim luncuran terbaru.

Namun pada hari-hari kemudian, kehidupannya pun terusik setelah ibunya ditetapkan untuk pindah tempat tugas ke pulau seberang, dan ia mulai bertanya-tanya atas pola pikirnya sendiri:

“Kenapa harus Ibu yang pindah?” tanya Dindo ketika tahu Ibunya dimutasi oleh sang bupati petahana yang kembali memenangkan kontes pilkada.

“Mungkin karena Ibu bersikap netral pada saat pemilihan. Ibu tak menuruti instruksi sang bupati agar para pegawai negeri turut aktif mencari suara untuknya,” kata sang Ibu dengan penuh kelesuan. “Demi nafsu kekuasaan, di dalam urusan politik saat ini, sesuatu yang benar memang seringkali disalahkan.”

“Apa tak ada cara untuk membatalkan keputusan itu?” tanya Dindo lagi, seperti tak memahami teori dan praktik politik-pemerintahan dan hanya ingin sang ibu tetap tinggal bersamanya.

“Selalu ada cara. Namun orang-orang yang punya kuasa selalu juga punya cara untuk mempertahankan keputusannya,” jawab sang Ibu dengan sikap putus asa. “Ibu kira, upaya apa pun akan sia-sia selama sang bupati masih berkuasa.”

Dindo tampak masih tak terima,”Jadi bagaimana?”

“Ya, paling tidak, Ibu harus menunggu sampai lima tahun ke depan untuk kembali ke sini,” kata sang Ibu, lantas mengusap-usap punggung Dindo. “Bersabarlah, Nak.”

Dindo hanya terdiam. Murung.

“Kuliahlah baik-baik. Kelak, ketika kau jadi pemimpin, jadilah pemimpin yang baik,” pesan sang Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar