Senin, 25 November 2019

Jalan Pulang

Sungguh besar kesabaran Sumarsih. Enam belas tahun sudah ia meninggalkan sanak saudaranya di pulau seberang. Ia datang seorang diri di kampung ini, lantas menetap untuk mengabdi sebagai guru honorer. Ia teguh mendidik anak-anak untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, meski kehidupannya sendiri begitu-begitu saja. 

Atas ketulusannya, Sumarsih tampak menjalani hidup dengan penuh penerimaan. Ia tak juga bosan mengajar para murid sekolah dasar yang banyak tingkah. Ia asyik saja menunaikan tugasnya secara rutin di antara beberapa guru berstatus pegawai negeri yang malah abai melaksanakan kewajibannya dan suka keluyuran entah ke mana. 

Sumarsih benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Ia telah menyelamatkan anak-anak dari jurang kebodohan yang menyesatkan. Ia telah membuka cakrawala pemikiran mereka kalau dunia adalah ruang petualangan bagi orang-orang yang berilmu. Sampai akhirnya, beberapa anak didiknya telah berhasil menggapai cita-cita. 

Sampai saat ini, aku sendiri masih tak habis pikir mengapa Sumarsih bisa bertahan melakoni kehidupannya. Ia sudi melewatkan belasan tahun hanya untuk menekuni pekerjaan yang tak menjamin bagi masa depannya. Ia rela mencurahkan perhatian pada anak-anak yang barangkali akan melupakannya setelah tamat. 

Namun lagi-lagi, aku mengira Sumarsih berdamai dengan keadaan. Ia tak juga dikaruniai seorang anak di usianya yang sudah kepala empat, sampai suaminya, seorang warga kampung ini yang bekerja sebagai petani, meninggal tiga tahun lalu, di tahun kesebelas pernikahan mereka, sehingga para murid cukup menjadi penghibur baginya. 

Entahlah.

Yang pasti, Sumarsih benar-benar seorang ibu guru yang mendidik dengan kasih sayang seperti layaknya ibu kandung. Ia mendidik anak-anak bukan dengan hardikan, tetapi dengan kelemah-lembutan yang menyentuh hati dan pikiran. Ia mendidik bukan dengan menciptakan ketakutan, tetapi dengan menciptakan kesadaran. 

Akhirnya, pada diri Sumarsih, aku bisa merasakan kehadiran sosok ibu. Aku merasa ia hadir sebagai malaikat yang mengantarkan cinta dari ibuku yang telah tiada. Aku merasa kalau ia benar-benar menyayangiku, sehingga kadang-kadang aku merasa seperti anak kandung baginya di antara anak-anak tirinya yang lain. 

Pada Sumarsih, di masa kecilku dahulu, aku pun mencurahkan keluh-kesahku tentang apa saja, termasuk tentang kehidupanku bersama ayah dan ibu tiriku di rumah. Dan tanpa bosan, ia akan memberikan respons yang menenangkan, bahkan acapkali mengulik, seolah-olah ia ingin memahami keadaanku sebagai anak yang malang. 

Kini, setelah aku lulus sebagai sarjana hukum pada sebuah kampus di pulau seberang, tempat Sumarsih dahulu berkuliah, aku lantas pulang ke kampung, sembari menunggu prosesi wisuda yang akan berlangsung dua bulan lagi. Lalu, pada hari keduaku di sini, aku pun menemui Sumarsih di pelataran sekolah. 

“Terima kasih atas semua kebaikan Ibu,” kataku, setelah kami bertukar kabar dan kisah di sebuah bangku, sembari menyaksikan para murid bermain di segala sisi. 

Ia lantas menyerongkan badan dan menatapku lekat-lekat. “Terima kasih untuk apa, Nak?” 

Aku lantas menggenggam tangan kanannya. “Untuk jasa-jasa Ibu yang telah mendidikku hingga menjadi seorang anak yang memiliki cita-cita yang tinggi.” 

Seketika, senyuman pun merekah di wajahnya yang tampak menua. “Jangan merasa berutang budi, Nak. Semua itu memang tanggung jawabku sebagai seorang guru,” katanya, sembari mengusap-usap punggung tanganku. “Malah, akulah yang sepatutnya berterima kasih karena kau telah mengamalkan pesan-pesanku.” 

“Tetapi, aku merasa kalau dahulu, Ibu telah memperlakukan aku lebih dari sekadar anak didik. Ibu telah menyayangi aku layaknya anak sendiri, sehingga aku tak merasakan sedihnya hidup tanpa sosok ibu,” elakku, sepenuh ketulusan. “Untuk itu, aku patut berterima kasih.” 

Tangan kirinya sontak menepuk-nepuk lenganku. “Tak usah risaukan soal itu, Nak,” katanya, dengan air mata yang seketika tergelincir di pipinya. “Malah, akulah yang patut berterima kasih atas kehadiranmu yang membuatku merasa memiliki anak sendiri.”
 
Aku terenyuh mendengar balasannya. 

Lonceng penanda akhir jam istirahat akhirnya berdering. 

“Aku harus beranjak,” tuturnya, dengan senyuman teduh di balik raut wajahnya yang sendu. 

Aku mengangguk saja dan tak kuasa berkata-kata. 

Ia lantas melangkah pergi, lalu menghilang di balik dinding kelas, seolah-olah tak ingin melewatkan tanggung jawabnya barang beberapa menit saja. 

Akhirnya, dengan perasaan tenteram setelah mengungkapkan isi hati terhadapnya, aku pun melangkah pulang menelusuri jalan berkerikil yang merekam jejak-jejak kecilku di masa lalu. 

Sesaat kemudian, aku pun tiba di rumah dan kembali menjumpai ayahku, Syamsuddin, pengayom kehidupanku selama ini. Dialah yang telah berjuang mengais rezeki dari sepetak kebun peninggalan almarhum kakek-nenekku, juga dari honorariumnya sebagai aparatur desa, sampai aku bisa menggapai cita-citaku. 

Ia memang sangat peduli pada semua hal tentang diriku, dan seolah tak peduli pada apa pun yang lain. Ia bahkan tak merisaukan kesendiriannya dan tetap hidup dengan apa adanya. Ia seolah hidup untuk kepentinganku saja, sampai ia tak peduli lagi pada kepentingannya sendiri, termasuk soal pendamping hidup. 

Aku tak tahu bagaimana bentuk perasaannya. Namun setelah kehilangan Ibuku pada sebuah kecelakaan kapal 21 tahun yang lalu, ia seperti kehilangan cinta sejatinya. Meski sempat menikah dengan seorang perempuan 17 tahun lalu, ia seolah tak lagi merasakan bahagianya berumah tangga, sampai mereka berpisah 4 tahun yang lalu. 

Aku memang tak memiliki kenangan tentang hubungan percintaan ayah dan ibuku karena aku baru berumur setahun lebih saat kami terpisah. Aku bahkan tak mengingat tentang peristiwa tenggelamnya kapal saat kami hendak ke kampung ini, sampai ibuku hanyut dan tak pernah ditemukan, sedang aku selamat dalam dekapan ayahku. 
 
Walaupun begitu, aku tahu betapa besar cinta ayahku pada ibuku. Setiap kali aku datang saat libur kuliah, ia akan memintaku menerangkan keadaan tempat bersejarah mereka di kampus. Setelah itu, ia akan kembali mengelukan daya tarik ibuku yang membuatnya bergegas menikahinya tanpa kehadiran keluarga dari kampung ini. 

Sama juga dengan kedatanganku kali ini. Sejak kemarin hingga saat ini, ia terus saja menanyaiku tentang gambaran sekretariat organisasi, taman kampus, dan perpustakaan yang banyak merekam kebersamaan mereka di masa dahulu. Setelah kehabisan pertanyaan, ia pun kembali mendongengkan kisah asmaranya padaku. 

“Aku sungguh mencintai Ibumu, Nak,” katanya kemudian, kepadaku yang duduk di samping kanannya, di sebuah sofa. 

“Aku sungguh merindukannya, Ayah!” tanggapku, lantas menoleh padanya sejenak, lalu kembali berpaling pada layar televisi. “Andai saja bisa, aku ingin ia hadir di acara wisudaku nanti.” 

Ia lantas mengecilkan volume televisi. “Aku pun mendambakan hal yang sama,” balasnya, dengan rona wajah yang sendu. “Tetapi yakinlah, ia pasti sangat bahagia atas keadaanmu saat ini.” 

Aku mengangguk-angguk saja. 
 
Hening sejenak. 

Tiba-tiba, aku terpikir tentang seorang ibu pengganti. “Maukah ayah menikah lagi, untukku?” 

Seketika, ia menoleh padaku, lantas menatapku dengan penuh keheranan. “Untuk apa aku menikah lagi, Nak? Keberadaanmu saja sudah cukup bagiku.” 

“Tetapi aku ingin sosok ibu di prosesi wisudaku nanti, Pak,” tuturku, setengah merengek. 

Ia tampak semakin heran atas sikapku. 

“Maukah ayah menikah dengan Ibu Sumarsih?” tawarku, begitu saja, menyebut sebuah nama yang sama dengan nama ibuku. 

Ia lalu memandangiku lekat-lekat. Seolah tak menyangka bahwa aku akan menawarkan sesuatu yang tak terduga baginya. 

Beberapa saat, aku pun menanti penegasan arti dari sikap diamnya yang tak bisa kumaknai. 

Ia pun balik bertanya, “Apakah kau benar-benar ingin kalau aku melakukan itu?” 

Aku lantas mengangguk yakin. 

“Apa ia sudi menerimaku?” tanyanya lagi, dengan raut wajah yang penuh keraguan. 

Aku pun merasa senang atas persetujuannya secara tidak langsung. “Itu biar menjadi urusanku! Jangan khawatir, Ayah!” 

Perlahan-lahan, raut kebahagiaan pun tergambar di wajahnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar