Sejak aku
tinggal di kota atas restumu sendiri, aku merasa kesulitan menjadi seperti
anakmu yang dahulu. Aku merasa telah menjadi anak metropolitan, dan tak selayaknya
menjadi anak empang lagi. Aku semestinya berkutat dengan modernitas kehidupan, sembari
meninggalkan urusan ikan dan sebangsanya.
Namun
hari ini, sampai satu setengah bulan ke depan, aku harus menjalani takdir
sebagai anakmu. Aku akan melewati masa liburku untuk mengurus petak-petak
empang yang menjadi sumber penghidupan kita sekeluarga. Aku akan kembali
merelakan kulit putih-mulusku terpapar sinar matahari, hingga aku tampak lagi seperti
anak empang.
Kalau
kupikir-pikir, betapa aku bisa mengarang banyak alasan tentang urusan
perkuliahan untuk tidak pulang, dan kau hanya akan menerima sebagai seorang
tamatan sekolah dasar yang tak tahu apa-apa soal itu. Namun saat penggilan
teleponmu masuk sehari yang lalu untuk memintaku pulang membantumu mengurus
empang, aku jadi tak kuasa berbohong.
Dan
akhirnya, kembalilah aku di tempat ini, di rumah panggung kita yang berdinding
bambu dan beratap daun sagu. Aku kembali di sebuah rumah yang berada di
tengah-tengah petak empang, dan menjauh dari rumah-rumah warga yang lain. Aku
kembali di tengah medan yang terik kala siang, dan sangat dingin kala malam.
Kini,
aku pun memandang hamparan empang kita yang terpapar terik matahari. Lantas,
pikiranku terbayang akan derita di telapak kaki yang mulus esok hari, kala menapak debu-debu panas di pematang atau lumpur beranjau di dasar empang. Sontak, bayangan-bayangan
itu benar-benar membuatku ogah memulai langkah sebagai anak empang.
Namun di
tengah kedongkolan, aku sedikit beruntung memiliki seorang ayah yang penuh
perhatian sepertimu. Di hari kedatanganku ini, kau tak seketika memerintahkan
agar aku mengecek tanggul yang barangkali bocor dikorek kepiting, memeriksa dan
mengangkat pukat-pukat ikan, atau sekadar menaburkan pakan untuk ikan yang
masih muda.
Malah,
setelah mengobrol beberapa saat, kau menyuruhku beristirahat, seolah-olah
kau sadar bahwa aku memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Atau
tepatnya, setelah menetap di kota selama empat bulan setengah, aku butuh
kesiapan mental untuk kembali berurusan dengan terik matahari, air asin, serta
tusukan dan gigitan makhluk-makhluk empang.
Sampai
akhirnya, malam pun tiba. Setelah menyantap empat ekor ikan bakar sebagai
bentuk perayaanmu atas kedatanganku, kita pun
mengobrol panjang lebar tentang keadaanmu di sini dan keadaanku di sana.
Lalu, ketika kau mulai menguap-uap, kau lantas menutup obrolan dengan sebuah
pemberitahuan:
“Ikan di
petak sebelah sudah waktunya panen. Besok pagi, kita sudah bisa menguras
airnya,” katamu, kemudian menggelar tikar dan berbaring.
Aku pun
menganggut saja. “Baik, Ayah,” balasku, sembari membayangkan setahap demi
setahap proses berat yang akan kulalui pagi nanti: Sebuah jaring berbentuk
kerucut akan dipasang di muara empang yang mengarah ke sungai. Kemudian, perlahan-lahan,
susunan papan penutup air empang akan diangkat satu per satu dengan sangat
hati-hati agar tak celaka, sampai air mengalir deras melewati muara empang dan jaring
kerucut. Seiring keluarnya air, seseorang akan bergerak dari ujung petak empang
untuk mengarahkan ikan agar keluar lewat muara, hingga terkumpul di jaring
kerucut. Lalu, ikan-ikan yang terperangkap jaring kemudian diangkat.
Aku tak
tahu tugas mana yang akan kuemban esok pagi. Namun yang pasti, aku merasa
enggan melakukannya.
Di
tengah perasaanku yang kalut atas perkerjaan berat esok pagi, aku pun terjaga
di tengah keremangan pelita dalam waktu yang lama, sebagaimana kebiasaanku di
kota yang baru pasrah tertidur ketika waktu sudah lewat tengah malam.
Lantas,
tiba-tiba saja, malam berlalu begitu cepat.
Embusan
angin laut yang dingin, akhirnya membuatku enggan membantumu mengurus prosesi
panen. Aku hanya terus berbaring dan membalut tubuhku dengan selimut, sementara
kau beranjak tanpa berniat untuk mengganggu tidurku.
Sampai
akhirnya, aku mendengar desiran air, dan aku menduga kau tengah membuka papan
penutup air empang ke muara, satu per satu. Sesaat kemudian, kudengarlah suara
teriakan yang singkat, disusul dentuman yang lekas lenyap ditelan suara desiran.
Seketika,
aku pun bangkit dari pembaringan, lantas berlari ke sisi muara. Hingga
kulihatlah dirimu yang meringkuk kaku di dalam jaring kerucut, di sekeliling
ikan yang menggelepar-gelepar.
Sontak,
aku pun menangis dengan penuh penyesalan atas sikap abaiku terhadap dirimu.
“Hai,
Nak, kenapa menangis?” sapa seseorang dengan suara yang persis seperti suaramu.
Aku pun
terjaga, dan seketika melihat wajahmu di tengah keremangan.
“Kenapa
menangis?” tanyamu lagi.
“Tidak
apa-apa,” jawabku, setengah sadar. “Aku hanya bermimpi kalau,…” Aku menelan
ludah yang tertahan di tenggorokanku, dan aku tak sanggup melanjutkan cerita.
“Sadarlah!
Tenangkan dirimu!”
Perlahan-lahan,
aku pun berusaha menenangkan perasaanku yang terguncang, sembari meniatkan
untuk melawan kebiasaanku menyambung tidur di pagi hari, seperti yang selalu
kulakukan di kota, demi membantumu sedari awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar