Sabtu, 13 Juli 2019

Arus Deras

Sejak aku tinggal di kota atas restumu sendiri, aku merasa kesulitan menjadi seperti anakmu yang dahulu. Aku merasa telah menjadi anak metropolitan, dan tak selayaknya menjadi anak empang lagi. Aku semestinya berkutat dengan modernitas kehidupan, sembari meninggalkan urusan ikan dan sebangsanya.
 
Namun hari ini, sampai satu setengah bulan ke depan, aku harus menjalani takdir sebagai anakmu. Aku akan melewati masa liburku untuk mengurus petak-petak empang yang menjadi sumber penghidupan kita sekeluarga. Aku akan kembali merelakan kulit putih-mulusku terpapar sinar matahari, hingga aku tampak lagi seperti anak empang.

Kalau kupikir-pikir, betapa aku bisa mengarang banyak alasan tentang urusan perkuliahan untuk tidak pulang, dan kau hanya akan menerima sebagai seorang tamatan sekolah dasar yang tak tahu apa-apa soal itu. Namun saat penggilan teleponmu masuk sehari yang lalu untuk memintaku pulang membantumu mengurus empang, aku jadi tak kuasa berbohong.

Dan akhirnya, kembalilah aku di tempat ini, di rumah panggung kita yang berdinding bambu dan beratap daun sagu. Aku kembali di sebuah rumah yang berada di tengah-tengah petak empang, dan menjauh dari rumah-rumah warga yang lain. Aku kembali di tengah medan yang terik kala siang, dan sangat dingin kala malam. 

Kini, aku pun memandang hamparan empang kita yang terpapar terik matahari. Lantas, pikiranku terbayang akan derita di telapak kaki yang mulus esok hari, kala menapak debu-debu panas di pematang atau lumpur beranjau di dasar empang. Sontak, bayangan-bayangan itu benar-benar membuatku ogah memulai langkah sebagai anak empang.

Namun di tengah kedongkolan, aku sedikit beruntung memiliki seorang ayah yang penuh perhatian sepertimu. Di hari kedatanganku ini, kau tak seketika memerintahkan agar aku mengecek tanggul yang barangkali bocor dikorek kepiting, memeriksa dan mengangkat pukat-pukat ikan, atau sekadar menaburkan pakan untuk ikan yang masih muda.

Malah, setelah mengobrol beberapa saat, kau menyuruhku beristirahat, seolah-olah kau sadar bahwa aku memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Atau tepatnya, setelah menetap di kota selama empat bulan setengah, aku butuh kesiapan mental untuk kembali berurusan dengan terik matahari, air asin, serta tusukan dan gigitan makhluk-makhluk empang.

Sampai akhirnya, malam pun tiba. Setelah menyantap empat ekor ikan bakar sebagai bentuk perayaanmu atas kedatanganku, kita pun  mengobrol panjang lebar tentang keadaanmu di sini dan keadaanku di sana. Lalu, ketika kau mulai menguap-uap, kau lantas menutup obrolan dengan sebuah pemberitahuan:

“Ikan di petak sebelah sudah waktunya panen. Besok pagi, kita sudah bisa menguras airnya,” katamu, kemudian menggelar tikar dan berbaring.

Aku pun menganggut saja. “Baik, Ayah,” balasku, sembari membayangkan setahap demi setahap proses berat yang akan kulalui pagi nanti: Sebuah jaring berbentuk kerucut akan dipasang di muara empang yang mengarah ke sungai. Kemudian, perlahan-lahan, susunan papan penutup air empang akan diangkat satu per satu dengan sangat hati-hati agar tak celaka, sampai air mengalir deras melewati muara empang dan jaring kerucut. Seiring keluarnya air, seseorang akan bergerak dari ujung petak empang untuk mengarahkan ikan agar keluar lewat muara, hingga terkumpul di jaring kerucut. Lalu, ikan-ikan yang terperangkap jaring kemudian diangkat.

Aku tak tahu tugas mana yang akan kuemban esok pagi. Namun yang pasti, aku merasa enggan melakukannya.

Di tengah perasaanku yang kalut atas perkerjaan berat esok pagi, aku pun terjaga di tengah keremangan pelita dalam waktu yang lama, sebagaimana kebiasaanku di kota yang baru pasrah tertidur ketika waktu sudah lewat tengah malam.

Lantas, tiba-tiba saja, malam berlalu begitu cepat. 

Embusan angin laut yang dingin, akhirnya membuatku enggan membantumu mengurus prosesi panen. Aku hanya terus berbaring dan membalut tubuhku dengan selimut, sementara kau beranjak tanpa berniat untuk mengganggu tidurku.

Sampai akhirnya, aku mendengar desiran air, dan aku menduga kau tengah membuka papan penutup air empang ke muara, satu per satu. Sesaat kemudian, kudengarlah suara teriakan yang singkat, disusul dentuman yang lekas lenyap ditelan suara desiran.

Seketika, aku pun bangkit dari pembaringan, lantas berlari ke sisi muara. Hingga kulihatlah dirimu yang meringkuk kaku di dalam jaring kerucut, di sekeliling ikan yang menggelepar-gelepar.

Sontak, aku pun menangis dengan penuh penyesalan atas sikap abaiku terhadap dirimu.

“Hai, Nak, kenapa menangis?” sapa seseorang dengan suara yang persis seperti suaramu.

Aku pun terjaga, dan seketika melihat wajahmu di tengah keremangan.

“Kenapa menangis?” tanyamu lagi.

“Tidak apa-apa,” jawabku, setengah sadar. “Aku hanya bermimpi kalau,…” Aku menelan ludah yang tertahan di tenggorokanku, dan aku tak sanggup melanjutkan cerita.

“Sadarlah! Tenangkan dirimu!”

Perlahan-lahan, aku pun berusaha menenangkan perasaanku yang terguncang, sembari meniatkan untuk melawan kebiasaanku menyambung tidur di pagi hari, seperti yang selalu kulakukan di kota, demi membantumu sedari awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar