Sabtu, 13 Juli 2019

Jerat

Jauh sebelum malam ini, aku telah membayangkan tentang kita di malam-malam yang panjang. Aku membayangkan bahwa kita akan bersama sebagai sepasang kekasih. Namun aku tak pernah benar-benar yakin, sebab di antara banyak lelaki yang mengharapkanmu, barangkali, akulah yang paling tidak pantas kau harapkan. Karena itulah, aku akhirnya menyampaikan isi hatiku sebagai yang ke sekian kalinya untuk hatimu.
 
Aku tahu, sepanjang masa tunda kebersamaan kita, kau telah jatuh ke dalam jeratan cinta beberapa lelaki yang kurasa memang lebih pantas untukmu. Mereka adalah sosok lelaki yang tampan, hartawan, keturunan penguasa atau pengusaha, atau bahkan sosok lelaki yang mengombinasikan kriteria itu. Dan sebagai lelaki yang bukan siapa-siapa, aku harus menjadi yang terakhir, sebab aku butuh waktu untuk memantaskan diri.

Namun kini, kita bersatu juga demi masa depan, sembari membawa perkara masa lalu masing-masing. Kau hidup dengan masa lalu bersama banyak tokoh yang pernah menjerat ragamu, dan aku hidup dengan masa lalu tentang perasaanku padamu saja. 

Dan akhirnya, di tengah obrolan kita tentang masa depan pada sebuah sofa di satu kamar hotel, kau pun menanyakan perihal masa lalu, “Apa kau tak akan menyesal menikah denganku?” tanyamu, dengan raut wajah yang sendu.

Aku lantas memegang punggung tanganmu, kemudian menyelakan jari-jariku di antara jari-jarimu. “Tentu saja aku tak akan menyesal. Bagaimana mungkin aku menyesal setelah mendapatkan seseorang yang sedari dulu kuidam-idamkan,” kataku, sembari menatap wajah cantikmu.

“Tapi kau bukan yang pertama bagiku!” sanggahmu seketika, lalu mengembuskan napas yang panjang, kemudian menatapku sekilas. “Kau tahu sendiri, aku telah dengan lelaki lain sebelum denganmu. Tidakkah kau kecewa karena itu?”

“Aku tak pernah kecewa atas kenyataan itu. Aku memang bukan yang pertama bagimu, tapi aku berjanji akan menjadi yang terakhir,” balasku, seketika pula, lantas menyerongkan badan ke arahmu.

Kau pun terdiam.

“Berhentilah menyalahkan dirimu atas masa lalu itu. Barangkali, akulah yang salah, yang tak secepat mungkin menyatakan perasaan padamu. Atau takdirlah yang salah, yang tak mempertemukan kita di hari pertama kita merasakan cinta dalam keadaan diri yang pantas dan siap untuk mempertautkan cinta,” kataku lagi, demi menenangkan kekalutanmu.

Kau bergeming saja, sembari menatap kosong pada gemerlap lampu-lampu kota di balik jendela.

Aku pun kembali mengulang inti pesanku, “Yakinlah, aku sama sekali tak mempermasalahkan masa lalumu. Aku malah khawatir kalau aku tak bisa membahagiakanmu lebih dari laki-laki yang pernah bersamamu di masa lalu.”

Kau merenung sejenak, kemudian menanggapi, “Bagaimana jika kau tak akan pernah bisa membahagiakan aku lebih dari mereka, bukan karena kau tak berusaha semaksimal mungkin, tapi karena aku terjerat momen-momen yang lebih membahagiakan di masa laluku?” sergahmu, tampak gusar dengan dirimu sendiri. “Tidakkah kau mengkhawatirkan itu?”

Aku pun jadi kelimpungan. Aku lantas membelai rambutmu, kemudian berpesan, “Sudahlah, Sayang, kita bersama untuk masa depan, dan seharusnya kita tak lagi mempermasalahkan masa lalu kita. Kau harusnya berdamai dengan masa lalumu sendiri, demi kita, begitu pun aku.” Perlahan, aku pun merangkulmu, erat. “Yang pasti, untuk saat ini, kita telah bersama, dan seharusnya tak ada lagi siapa-siapa di antara kita.”

Kau tak membalas. Tenang saja di dalam dekapaanku.

Sesaat kemudian, kau lalu menarik tanganmu dari genggamanku, lantas beranjak ke pembaringan.

Aku lekas menyusul, hingga kita terlelap dengan mimpi masing-masing.

Sampai akhirnya, ketika pagi menjelang, aku tak lagi menemukan dirimu di sampingku. Kau pergi sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan: Maaf, aku harus pergi. Aku butuh berdamai dengan kenanganku sendiri, demi kau yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar