Jauh
sebelum malam ini, aku telah membayangkan tentang kita di malam-malam yang
panjang. Aku membayangkan bahwa kita akan bersama sebagai sepasang kekasih.
Namun aku tak pernah benar-benar yakin, sebab di antara banyak lelaki yang
mengharapkanmu, barangkali, akulah yang paling tidak pantas kau harapkan.
Karena itulah, aku akhirnya menyampaikan isi hatiku sebagai yang ke sekian
kalinya untuk hatimu.
Aku
tahu, sepanjang masa tunda kebersamaan kita, kau telah jatuh ke dalam jeratan
cinta beberapa lelaki yang kurasa memang lebih pantas untukmu. Mereka adalah
sosok lelaki yang tampan, hartawan, keturunan penguasa atau pengusaha, atau bahkan sosok
lelaki yang mengombinasikan kriteria itu. Dan sebagai lelaki yang bukan
siapa-siapa, aku harus menjadi yang terakhir, sebab aku butuh waktu untuk memantaskan diri.
Namun
kini, kita bersatu juga demi masa depan, sembari membawa perkara masa lalu
masing-masing. Kau hidup dengan masa lalu bersama banyak tokoh yang pernah
menjerat ragamu, dan aku hidup dengan masa lalu tentang perasaanku padamu saja.
Dan
akhirnya, di tengah obrolan kita tentang masa depan pada sebuah sofa di satu kamar
hotel, kau pun menanyakan perihal masa lalu, “Apa kau tak akan menyesal menikah
denganku?” tanyamu, dengan raut wajah yang sendu.
Aku
lantas memegang punggung tanganmu, kemudian menyelakan jari-jariku di antara
jari-jarimu. “Tentu saja aku tak akan menyesal. Bagaimana mungkin aku menyesal
setelah mendapatkan seseorang yang sedari dulu kuidam-idamkan,” kataku, sembari
menatap wajah cantikmu.
“Tapi
kau bukan yang pertama bagiku!” sanggahmu seketika, lalu mengembuskan
napas yang panjang, kemudian menatapku sekilas. “Kau tahu sendiri, aku telah
dengan lelaki lain sebelum denganmu. Tidakkah kau kecewa karena itu?”
“Aku tak
pernah kecewa atas kenyataan itu. Aku memang bukan yang pertama bagimu, tapi
aku berjanji akan menjadi yang terakhir,” balasku, seketika pula, lantas menyerongkan badan ke
arahmu.
Kau pun
terdiam.
“Berhentilah
menyalahkan dirimu atas masa lalu itu. Barangkali, akulah yang salah, yang
tak secepat mungkin menyatakan perasaan padamu. Atau takdirlah yang salah, yang
tak mempertemukan kita di hari pertama kita merasakan cinta dalam keadaan diri
yang pantas dan siap untuk mempertautkan cinta,” kataku lagi, demi menenangkan
kekalutanmu.
Kau
bergeming saja, sembari menatap kosong pada gemerlap lampu-lampu kota di
balik jendela.
Aku pun
kembali mengulang inti pesanku, “Yakinlah, aku sama sekali tak mempermasalahkan
masa lalumu. Aku malah khawatir kalau aku tak bisa membahagiakanmu lebih dari
laki-laki yang pernah bersamamu di masa lalu.”
Kau merenung sejenak, kemudian menanggapi, “Bagaimana jika kau tak akan pernah bisa membahagiakan aku lebih dari mereka, bukan
karena kau tak berusaha semaksimal mungkin, tapi karena aku terjerat momen-momen yang lebih membahagiakan di masa laluku?” sergahmu, tampak gusar
dengan dirimu sendiri. “Tidakkah kau mengkhawatirkan itu?”
Aku pun
jadi kelimpungan. Aku lantas membelai rambutmu, kemudian berpesan, “Sudahlah,
Sayang, kita bersama untuk masa depan, dan seharusnya kita tak lagi
mempermasalahkan masa lalu kita. Kau harusnya berdamai dengan masa lalumu sendiri,
demi kita, begitu pun aku.” Perlahan, aku pun merangkulmu, erat. “Yang pasti, untuk saat
ini, kita telah bersama, dan seharusnya tak ada lagi siapa-siapa di antara kita.”
Kau tak
membalas. Tenang saja di dalam dekapaanku.
Sesaat kemudian, kau lalu
menarik tanganmu dari genggamanku, lantas beranjak ke pembaringan.
Aku
lekas menyusul, hingga kita terlelap dengan mimpi masing-masing.
Sampai
akhirnya, ketika pagi menjelang, aku tak lagi menemukan dirimu di sampingku.
Kau pergi sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan: Maaf, aku harus pergi. Aku butuh berdamai
dengan kenanganku sendiri, demi kau yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar