Lagi-lagi,
aku kembali tenggelam ke dalam pesona laut kenanganku kala senja. Sejak tiga bulan
lalu, aku kerap datang ke sini setiap kali rinduku membuncah kepadamu. Aku
hanya akan duduk di pasir pantai, sembari menikmati bayang-bayangmu yang
berserakan. Lalu ketika gelap menjelang, aku akan pulang dengan kehampaan yang
tiada tara.
Barangkali
memang sebaiknya aku berhenti mencarimu di sela-sela kemungkinan. Sudah semestinya
aku menyadari bahwa pada tiga bulan yang lalu, kau hanya hadir secara kebetulan di antara
orang-orang yang datang mencari hiburan sesaat. Sudah seharusnya aku meyakini bahwa
untuk selama-lamanya, kau tak akan hadir lagi di sini.
Namun
dilematiknya, setiap kali aku terjatuh dalam keputusasaan, seketika pula aku
berdiri demi harapan dan tak ingin mengalah pada perihal yang belum menjadi
kenyataan. Aku merasa kaulah khayalan terbaik dan satu-satunya yang telah
berhasil merangsang imajinasiku, dan aku harus mendapatkanmu demi masa
depanku sebagai pelukis.
Sejak
menemukan dirimu, aku memang tak lagi menjadi diriku sendiri. Aku bangkit
karena dirimu, dan aku terpuruk karena dirimu pula. Karena itu, setelah
kepergianmu, aku tak berdaya lagi mencipta apa-apa, seolah-olah aku kehilangan
inspirasi dan motivasi secara bersamaan. Aku jadi tak bersemangat lagi untuk melukis,
dan aku jadi lupa bagaimana cara tepat untuk melukis.
Akhirnya,
seperti sebelumnya, saat ini aku hanya duduk merenungi keadaanku sebagai seorang pelukis yang
telah kehilangan gairah seni. Sedang orang-orang tengah khidmat melukis
dengan cara mereka sendiri, aku hanya memandang kosong pada kanvas yang tak
ternoda. Dan untuk kondisi yang ruwet ini, kadang aku berpikir untuk
berhenti saja menjadi pelukis.
Tetapi
nahasnya, di tengah kekosongan hidupku yang tanpa kesibukan, aku tak punya
pelarian selain melukis. Aku seolah-olah dikutuk sebagai pelukis, dan tak bisa
apa-apa selain menikmatinya. Aku seakan-akan dipaksa untuk menemukan dirimu
yang telah tiada, meskipun kau hanya akan hadir dalam bentuk lukisan.
Dan
akhirnya, untuk momentum kali ini, aku tak ingin pulang dengan kehampaan lagi. Demi
membantu anak-anak berkebutuhan khusus, aku ingin menghasilkan karya yang bisa laku
dan bernilai sumbangan. Setidaknya, untuk sore ini, aku harus memulai sebuah
karya yang mesti kurampungkan sampai tiga sore ke depan.
Seiring
dengan pertempuran hati, aku pun memulai misi. Aku kembali membayangkan detail
wajahmu seperti yang pernah kucuri di pantai ini tiga bulan yang lalu. Lekas
kemudian, aku pun melukiskan dirimu seperti yang pernah kulakukan dan berhasil menjelma
sebagai sebuah lukisan yang telah terjual entah ke mana setelah aku tak kuasa
lagi memandangnya setiap saat.
Beberapa
waktu bergulat dengan imajinasi, aku akhirnya sanggup merampungkan setengah lukisan
wajahmu. Tetapi kemudian, aku jadi ragu-ragu sendiri apakah mungkin kau hanya secantik
apa yang kulukiskan ataukah lebih, seolah-olah aku ingin mencocokkan gambaran wajahmu di
kepalaku dengan wajahmu saat ini.
Namun sore semakin larut, dan langit telah menyembunuyikan matahari. Untuk sementara, aku memutuskan untuk pulang dan akan melanjutkannya esok hari.
Namun sore semakin larut, dan langit telah menyembunuyikan matahari. Untuk sementara, aku memutuskan untuk pulang dan akan melanjutkannya esok hari.
Perlahan-lahan,
aku pun beranjak pulang dengan sedikit rasa tenang. Aku merasa mulai belajar
melawan diriku sendiri. Aku merasa mulai masuk pada tahap pendamaian antara kenangan
dan imajinasiku sendiri. Aku merasa mulai bisa memaknai harapan yang tandas
sebagai perangsang imajinasi, bukan malah sebagai alasan pembunuh jiwa.
Namun
seiring langkahku dengan harapan hidup yang baru, aku kembali harus mengoreksi
anggapanku tentang arti harapan atas imajinasi. Entah bagaimana, tiba-tiba mataku
melihatmu di sisi jalan pulang. Kau berdiri tenang di antara pelukis dan
pengunjung yang lalu lalang, seolah tak menyadari kehadiranku. Hingga akhirnya,
pada jarak terdekat, mata kita pun beradu.
“Sudah
lama di sini?” tanyaku, dengan jantung yang berdegup kencang, seolah-olah itu
adalah pertanyaan yang pantas, dan seolah-olah kita adalah dua orang yang
pernah berkenalan secara resmi dan telah terlibat di dalam kebersamaan yang
akrab.
Kau
menatapku heran, seperti tak menyangka kalau aku akan lancang bertanya. “Aku
panitia kegiatan,” jawabmu, begitu saja, dengan nada suara dan sorot mata yang berhasil
menggetarkan hatiku.
Tanpa
sanggup berkata-kata lagi, aku pun mengangguk-angguk kikuk, sembari memberikan
isyarat pamit, lalu lekas berbalik badan dan menjauh sebelum kegugupan kembali
menampakkan tingkahku yang konyol.
Lalu seketika juga, aku merasa sangat beruntung telah berhasil berbagi kata denganmu,
meski dengan setengah mati. Jadi demi napasku sendiri, untuk hari-hari esok, aku
akan kembali ke pantai ini dengan semangat hidup yang berkobar, meski dengan kewaspadaan
untuk tetap menjaga jarak darimu agar aku bisa mencuri tampakanmu dari sisi
yang tidak kau duga-duga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar