Hari
sudah sore, tetapi kenangan masih menjeratku di sini. Aku masih duduk di bangku
stasiun untuk menanti kehadiranmu yang telah pergi. Aku terus saja berdoa
semoga keajaiban menuntunmu ke sini demi menyatukan harapan kita yang tak sempat
bersepakat. Aku masih berharap kau
kembali, meskipun kita terpisah tanpa ucapan sampai jumpa.
Sejak
kepergianmu hari itu, seketika pula, hidupku jadi penuh penyesalan. Aku menyesal
telah melewatkan kesempatan untuk hidup bersamamu, hingga kau hanya menjadi harapan
terbaik bagiku, sampai saat ini. Aku menyesal telah mendiamkan tanda-tanda darimu,
hingga aku tak sempat lagi menyampaikan respons yang kau inginkan, sebagaimana juga
inginku.
Akhirnya,
kita menjadi dua orang dengan cinta yang terpisah kata-kata. Aku
menyimpan jawaban, dan kau membawa pertanyaan. Aku masih di sini, dan kau telah
pergi entah ke mana. Namun aku tetap berharap semoga harapan antara kita masih
dan mungkin, meski berangkali kau telah menganggapnya sebagai sesuatu yang
pernah dan usai.
Untuk
kegalauanku saat ini, aku pun kembali memainkan daftar lagu-lagu penantian pada
telepon genggamku yang selalu kudengarkan setiap kali rinduku memuncak padamu.
Aku mendengarkannya melalui pelantang telinga dengan penuh penghayatan, sembari
berharap kau benar-benar akan datang mengakhiri lagu-lagu itu dengan suara
indahmu.
Sampai
akhirnya, di tengah khayalan, sesosok wanita tampak mendekat ke arahku dengan
wajah muram, seakan-akan ia tengah dirundung kegalauan yang sangat. Ia lalu duduk
di sampingku dengan sikap tubuh yang lemah, lantas fokus memandang ke arah
depan, seolah menanti kedatangan kereta api yang bisa membawanya pergi dari
sumber masalah sesegera mungkin.
Sesaat
kemudian, ia pun menangis, lantas mengucapkan pertanyaan yang menyiratkan
kekecewaan, “Kenapa kau suka menunda-nunda?”
Tak
berselang lama, sebuah kereta api akhirnya datang dan berhenti. Tanpa
berkata-kata, perempuan itu lalu beranjak dan masuk ke dalam gerbong. Seketika
pula, kereta membawanya pergi ke tempat lain.
Sesaat
selanjutnya, sesosok laki-laki datang dengan langkah buru-buru. Ia lalu
bertanya kepada orang-orang dengan sikap yang kalang kabut. Namun akhirnya, ia
harus kecewa sebab kereta yang ia kejar baru saja pergi. Ia harus kecewa sebab ia
hanya terpisah jarak beberapa menit saja dengan sesosok wanita yang ia incar.
Bersama
hatinya yang kalut, ia lantas duduk di sebuah kursi tunggu stasiun. Ia lalu
menatap kosong ke arah rel yang kini kosong, kemudian melontarkan pertanyaan
yang menyiratkan kekecewaan, “Kenapa kau tak sabar menunggu?”
Tiba-tiba,
alunan lagu favoritku dari pelantang suara berhenti setelah daya telepon gengamku habis.
Dan tanpa kuduga, air mataku menetes.
Seketika,
aku pun tersadar berada di sederet kursi tunggu stasiun seorang diri, di antara
orang-orang yang lalu lalang entah ke mana.
Hari
sudah hampir malam, dan kau tak juga datang.
Aku
lantas pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar