Senin, 08 Juli 2019

Kereta Waktu

Hari sudah sore, tetapi kenangan masih menjeratku di sini. Aku masih duduk di bangku stasiun untuk menanti kehadiranmu yang telah pergi. Aku terus saja berdoa semoga keajaiban menuntunmu ke sini demi menyatukan harapan kita yang tak sempat bersepakat. Aku masih berharap kau kembali, meskipun kita terpisah tanpa ucapan sampai jumpa.
 
Sejak kepergianmu hari itu, seketika pula, hidupku jadi penuh penyesalan. Aku menyesal telah melewatkan kesempatan untuk hidup bersamamu, hingga kau hanya menjadi harapan terbaik bagiku, sampai saat ini. Aku menyesal telah mendiamkan tanda-tanda darimu, hingga aku tak sempat lagi menyampaikan respons yang kau inginkan, sebagaimana juga inginku.

Akhirnya, kita menjadi dua orang dengan cinta yang terpisah kata-kata. Aku menyimpan jawaban, dan kau membawa pertanyaan. Aku masih di sini, dan kau telah pergi entah ke mana. Namun aku tetap berharap semoga harapan antara kita masih dan mungkin, meski berangkali kau telah menganggapnya sebagai sesuatu yang pernah dan usai. 

Untuk kegalauanku saat ini, aku pun kembali memainkan daftar lagu-lagu penantian pada telepon genggamku yang selalu kudengarkan setiap kali rinduku memuncak padamu. Aku mendengarkannya melalui pelantang telinga dengan penuh penghayatan, sembari berharap kau benar-benar akan datang mengakhiri lagu-lagu itu dengan suara indahmu.

Sampai akhirnya, di tengah khayalan, sesosok wanita tampak mendekat ke arahku dengan wajah muram, seakan-akan ia tengah dirundung kegalauan yang sangat. Ia lalu duduk di sampingku dengan sikap tubuh yang lemah, lantas fokus memandang ke arah depan, seolah menanti kedatangan kereta api yang bisa membawanya pergi dari sumber masalah sesegera mungkin.

Sesaat kemudian, ia pun menangis, lantas mengucapkan pertanyaan yang menyiratkan kekecewaan, “Kenapa kau suka menunda-nunda?”

Tak berselang lama, sebuah kereta api akhirnya datang dan berhenti. Tanpa berkata-kata, perempuan itu lalu beranjak dan masuk ke dalam gerbong. Seketika pula, kereta membawanya pergi ke tempat lain. 

Sesaat selanjutnya, sesosok laki-laki datang dengan langkah buru-buru. Ia lalu bertanya kepada orang-orang dengan sikap yang kalang kabut. Namun akhirnya, ia harus kecewa sebab kereta yang ia kejar baru saja pergi. Ia harus kecewa sebab ia hanya terpisah jarak beberapa menit saja dengan sesosok wanita yang ia incar.

Bersama hatinya yang kalut, ia lantas duduk di sebuah kursi tunggu stasiun. Ia lalu menatap kosong ke arah rel yang kini kosong, kemudian melontarkan pertanyaan yang menyiratkan kekecewaan, “Kenapa kau tak sabar menunggu?”

Tiba-tiba, alunan lagu favoritku dari pelantang suara berhenti setelah daya telepon gengamku habis. Dan tanpa kuduga, air mataku menetes.

Seketika, aku pun tersadar berada di sederet kursi tunggu stasiun seorang diri, di antara orang-orang yang lalu lalang entah ke mana.

Hari sudah hampir malam, dan kau tak juga datang.

Aku lantas pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar