Sungguh
malang nasib Rinto. Ia hidup dalam kondisi luar biasa. Ia seorang yang tuli dan
bisu. Menurut cerita, ia terjatuh dari loteng rumah panggungnya saat berumur
lima tahun. Bokongnya mendarat dari ketinggian sekitar delapan meter. Seketika,
ia kehilangan kemampuan mendengar dan berbicara.
Atas
ketunaannya, Rinto akhirnya menjalani kehidupan yang keras. Ia harus menanggung
beban atas ketidaknormalan yang tak pernah juga ia inginkan. Tidak
tanggung-tanggung, orang tuanya pun memperlakukan dirinya secara buruk. Ia
diperlakukan bukan sebagaimana anggota keluarga. Ia diperlakukan sebagai
pesuruh kala kedua adiknya diperlakukan sebagai pangeran.
Betapa
kehidupan memang tak berpihak pada Rinto. Ia sengsara kerena keadaan dirinya
yang tidak biasa. Padahal, jika saja ia memiliki kondisi diri yang normal, dan ia
memiliki orang tua yang peduli, aku yakin ia akan menjadi orang yang hebat,
semacam arsitek atau kartunis. Setidaknya, itu karena ia punya bakat menggambar yang
sangat luar biasa sedari kecil.
Masih
teringat ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali jam istirahat,
aku dan anak-anak yang lain akan menghampiri Rinto yang mengurus seekor sapi di
belakang sekolah. Kami lantas memintanya menggambar apa saja. Lalu, dalam waktu
yang singkat, ia akan menyelesaikan gambar pesanan kami dalam bentuk yang
kasar.
Namun akhirnya, karena keadaan, bakat luar biasa tak membuat Rinto memiliki cita-cita seperti orang yang lain.
Ia tak pernah sekolah, dan mungkin tak penah tahu tentang cita-cita. Usia
sekolahnya berlalu hanya untuk mengurus ternak dan kebun, dan barangkali ia
hanya peduli soal urusan perut dan perintah kerja dari ayahnya.
Demi
mewujudkan kesenangannya sendiri di tengah kehidupan yang menyengsarakan, Rinto
akhirnya terbentuk menjadi pribadi yang licik. Untuk mendapatkan perihal
sekunder yang ia batuhkan dan tak mungkin bisa ia peroleh dari orang tuanya,
akan ia usahakan dengan jalan mencuri, khususnya di rumah-rumah kosong.
Namun
uniknya, ia bukanlah seorang pencuri yang serakah. Setiap kali beraksi, ia hanya
akan mengambil barang bernilai sederhana yang seolah-olah ia dapatkan sebagai
pemberian orang lain atau sebagai barang tak bertuan, semisal alat tulis,
korek, rokok, dan baterai. Ia sama sekali tak tertarik mencuri barang bernilai
dan berukuran besar semacam televisi atau motor, juga hasil tani seperti
cokelat, cengkeh, atau merica, sebab asal usulnya akan dipertanyakan para warga.
Atas
perilaku Rinto, segenap warga pun jadi kehilangan simpati kepadanya. Jika
dahulu Rinto sesekali mendapatkan belas kasih dari para warga, sembari sesekali
menjadikannya bahan olok-olokan –karena mereka yakin Rinto tak tahu
dan tak mengerti-, maka saat ini, Rinto menjadi bahan pergunjingan yang
memancing kekesalan dan kemarahan warga.
Namun
dilematiknya, Rinto bukanlah anak polos yang mudah mengakui kejahatannya. Setiap
kali diinterogasi para warga, ia akan menggeleng yakin, meskipun segenap warga
tahu dan yakin bahwa Rinto adalah pelaku dari hilangnya barang-barang kecil
milik warga. Sampai akhirnya, para warga pasrah dan lebih memilih memperbaiki kuncian
rumahnya ketimbang memperkarakan Rinto.
Meski
Rinto tak juga jera dan tetap bertingkah biasa di tengah kampung, tetapi yang
pasti, ia telah menjadi seseorang yang paling tidak dipercaya para warga.
Setiap kali ada kasus penucurian, maka pikiran warga otomatis akan tertuju
kepadanya sebagai pelaku, seolah-olah ia adalah satu-satunya pencuri di muka bumi.
Hingga
akhirnya, terjadilah peritiwa pencurian dengan nilai kehilangan yang terbilang
besar. Rumah seorang warga yang kosong disatroni maling, dan ia kehilangan sekarung
cengkeh, sejumlah uang, dan juga beberapa gram emas. Maka tanpa perlu pikir
panjang, warga desa pun menuding Rinto sebagai pelaku, dan ia pun kembali
diinterogasi, lebih keras dari sebelumnya.
Namun
lagi-lagi, Rinto menggeleng yakin menangggapi tudingan para warga dengan bahasa
isyarat yang berbeda-beda. Ia mengelak keras kalau dituduh sebagai pembobol
sebuah rumah warga yang menyendiri di tengah tanjakan. Bahkan ketika Ayahnya
bertanya garang sembari sesekali menepak kepalanya, Rinto masih saja menyangkal.
Setelah
para warga kelelahan dan kehabisan cara, Rinto pun menguraikan kesaksiannya.
Dengan bahasa isyarat, ia mengaku tahu siapa pelakunya. Ia mengaku melihat dua
orang pelaku dengan ciri-ciri yang berusaha ia gambarkan sedetail mungkin.
Namun para warga yang tetap meyakininya sebagai pelaku, hanya menganggap Rinto
sedang mengarang-ngarang.
Sampai
akhinya, seorang warga berinisiatif memberikan kertas dan alat tulis kepada
Rinto, sembari memerintahkan agar ia menggambar kedua pelaku menurut versinya.
Tanpa keraguan, Rinto pun menyanggupi. Maka untuk sementara, para warga yang sedari tadi
menuding Rinto sebagai pelaku, terpaksa menahan kekesalan, sembari menunggu Rinto
menyelesaikan gambarnya.
Tak
sampai satu jam, Rinto akhirnya berhasil melukis gambaran kedua terduga pelaku
yang ia maksud. Para warga pun serentak berkerumun dan menebak-nebak siapa sosok
yang mirip dengan hasil lukisan Rinto. Namun akhirnya, tak ada seorang pun warga
yang mengaku memiliki bayangan pasti tentang siapa pemilik rupa yang berhasil
digambarkan Rinto.
Peradilan
kampung akhirnya ditempuh. Para tetua mengambil keputusan. Demi keamanan warga, Rinto pun
diminta untuk keluar dari kampung. Atas keputusan itu, semua warga yang hadir,
tampak menerima. Bahkan orang tua dan saudara Rinto pun tak mengucapkan
kata-kata penolakan. Mereka menerima begitu saja.
Setelah
persiapan diri yang berlangsung cepat, Rinto akhirnya beranjak ke kampung
neneknya.
Sesaat
kemudian, aku pun teringat kejadian pagi tadi. Saat itu, aku berpapasan dengan Rinto
yang tengah menapaki tanjakan perkebunan untuk mencari pakan
kambing. Kemudian setelahnya, aku pun sempat melihat dua orang lelaki yang juga
sedang menanjak dengan menyimpang dari jalan setapak.
Kini,
aku pun jadi berpikir-pikir, barangkali Rinto benar, atau ia malah sudah berani
menuduh orang lain. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar