Sang
lelaki tersenyum hangat, lalu menjawab dengan penuh keyakinan, “Tak akan!
Perasaanku akan tetap sama, sampai kapan pun!”
“Apa
jaminan yang bisa membuatku yakin?” tanya sang perempuan lagi, seolah menagih
bukti.
Sang
lelaki membelai rambut sang kekasih. “Aku tak bisa memberikan jaminan, sayang,”
kata sang lelaki, “Tapi lihatlah nanti, di detik-detik terakhir hidupmu, aku akan
ada di sampingmu dengan kasih sayang yang tak berubah sedikit pun! Aku janji!”
Sang
perempuan pun tampak terbuai begitu saja.
Dua
insan yang baru saja memadu kasih menurut kisah itu, akhirnya saling memeluk.
Aku
yang sendiri, akhirnya menyaksikan tayangan itu dengan perasaan iri. Aku ingin
juga melakoni adegan semacam itu dengan kekasihku. Aku ingin sang lelakiku
hadir saat ini juga, dan mengucapkan kata-kata manis semacam itu, seperti yang
seringkali ia ucapkan di awal-awal waktu pernikahan kami. Aku sungguh
menginginkannya.
Namun
lekas juga aku menyadari kenyataan bahwa keromantisan selalu memiliki masa
berlaku. Adegan-adegan romantis cuma lekat dengan kemudaan. Seiring waktu dan
rupa yang menua, buaian-buaian akan semakin langka, sampai akhirnya tidak sama sekali
dan dianggap ketinggalan zaman, seperti lagu lama yang membosankan.
Kesadaran
baruku tentang keromantisan sebagai buaian sementara waktu adalah kesimpulan
dari pengalaman berkasihku sendiri. Aku menyaksikan secara nyata bahwa kasih
sayang suamiku semakin memudar dari waktu ke waktu, seolah-olah rasa bosan
telah menggerogoti cintanya padaku, sedang aku sendiri tak mungkin bisa melawan
arus waktu dan penuaan.
Aku
tentu masih mengingat tutur-tutur menyenangkan darinya di awal pernikahan
kami. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti puisi dan
mengalun seperti lagu favorit. Namun akhirnya, kebiasaan itu menjadi sangat
jarang, dan kami jadi seperti dua orang asing yang terjebak di dalam ruang yang
sama.
Aku
sendiri memahami bahwa keadaan tak akan selalu sama. Akan ada percekcokan bagi
kasih sayang untuk menemukan maknanya. Atau akan ada perpisahan bagi
kebersamaan untuk menemukan artinya. Namun keadaan di antara kami berbeda. Ia tidak menumpahkan kekesalannya atau meninggalkan aku sepenuhnya, tetapi
ia menjadi sosok yang dingin, dan aku yang selalu ada merasa dianggap tidak
ada.
Atas
perubahan sikapnya, aku pun waswas kalau-kalau ia sudah merasa tak nyaman
lagi bersamaku. Bila sikapnya berubah secara perlahan di waktu-waktu yang lama,
maka aku bisa merasakan perubahan sikapnya secara drastis sejak tiga hari yang
lalu. Tiba-tiba saja ia jadi hemat bicara dan baru pulang ke rumah menjelang tengah
malam dengan alasan urusan kerja.
Dan
malam ini, aku kembali menerima pesan singkat darinya: Aku lembur lagi malam ini.
Seketika,
kecurigaanku pun berubah menjadi keyakinan. Aku yakin ia tengah bermain serong
dengan wanita muda dan mengabaikan aku yang terbilang tua. Aku yakin ia telah
sudi mengabaikan janjinya atas nama Tuhan untuk menyangiku sepanjang hidupnya,
lantas mengikat janji terlarang dengan hati yang lain.
Akhirnya,
dengan perasaan yang gusar, aku pun mematikan layar monitor yang tengah
menayangkan adegan film romantis yang selalu kami tonton secara berulang di awal
pernikahan. Dan sejak saat ini, aku bertekad untuk berhenti menonton film itu,
dan mulai menganggap adegan-adegan romantisnya cuma tipu daya dan omong kosong
belaka.
Lekas
kemudian, aku mematikan lampu untuk menyambut lelap yang pulas tanpa
membayangkan apa-apa. Tetapi sial, aku tetap saja terjaga atas sangkaan-sangkaan
buruk tentang dirinya. Sampai akhirnya, aku kembali membuka mata dan menatap langit-langit kamar yang
gelap, sembari membayangkan kemungkinan terburuk yang akan segera menimpa rumah
tanggaku.
Namun
di tengah keheningan yang menegangkan, aku akhirnya mendengar pintu berderit
ketika jam telah menunjukkan waktu lewat tengah malam. Dari irama detak langkah
yang kudengar, aku yakin kalau yang datang adalah dia, suamiku. Tetapi untuk kali
ini, aku tak ingin peduli pada kedatangannya. Aku pun pura-pura saja terlelap
dengan posisi badan membelakangi sisi pintu.
Tanpa
berkata-kata, ia lantas memasuki kamar dan menyalakan lampu.
Akhirnya,
demi menjaga nama baik sebagai istri yang berbakti, aku pun berusaha meredam rasa curiga, kemudian berbalik badan untuk menyambut kedatangannya seperti
biasa.
Dan
tanpa kuduga-duga, ia tampak berdiri sembari memegang sebentuk kue cokelat.
Aku
pun terkesiap, kemudian perlahan bangkit dan duduk di tepi kasur.
“Selamat
ulang tahun, sayang!” tuturnya, dengan senyuman yang hangat.
Aku
pun terharu.
Ia
lantas mengecup dahiku, lalu duduk di sampingku. “Katakanlah harapanmu,”
pintanya.
“Aku harap Bapak tak bosan-bosan mencintaiku, sampai kapan pun!” tuturku, penuh pengarapan.
“Pasti
akan aku kabulkan,” janjinya, penuh penegasan.
Aku
pun tersenyum bahagia.
Ia
lalu membelai rambutku, kemudian mengucapkan sebuah tawaran seperti dahulu, “Maukah
kau menonton film favorit kita?”
Aku
pun mengangguk senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar