Senin, 08 Juli 2019

Film Favorit

“Apa kau tak akan bosan padaku?” tanya sang perempuan kepada kekasihnya.
 
Sang lelaki tersenyum hangat, lalu menjawab dengan penuh keyakinan, “Tak akan! Perasaanku akan tetap sama, sampai kapan pun!”

“Apa jaminan yang bisa membuatku yakin?” tanya sang perempuan lagi, seolah menagih bukti.

Sang lelaki membelai rambut sang kekasih. “Aku tak bisa memberikan jaminan, sayang,” kata sang lelaki, “Tapi lihatlah nanti, di detik-detik terakhir hidupmu, aku akan ada di sampingmu dengan kasih sayang yang tak berubah sedikit pun! Aku janji!”

Sang perempuan pun tampak terbuai begitu saja.

Dua insan yang baru saja memadu kasih menurut kisah itu, akhirnya saling memeluk.

Aku yang sendiri, akhirnya menyaksikan tayangan itu dengan perasaan iri. Aku ingin juga melakoni adegan semacam itu dengan kekasihku. Aku ingin sang lelakiku hadir saat ini juga, dan mengucapkan kata-kata manis semacam itu, seperti yang seringkali ia ucapkan di awal-awal waktu pernikahan kami. Aku sungguh menginginkannya.

Namun lekas juga aku menyadari kenyataan bahwa keromantisan selalu memiliki masa berlaku. Adegan-adegan romantis cuma lekat dengan kemudaan. Seiring waktu dan rupa yang menua, buaian-buaian akan semakin langka, sampai akhirnya tidak sama sekali dan dianggap ketinggalan zaman, seperti lagu lama yang membosankan.

Kesadaran baruku tentang keromantisan sebagai buaian sementara waktu adalah kesimpulan dari pengalaman berkasihku sendiri. Aku menyaksikan secara nyata bahwa kasih sayang suamiku semakin memudar dari waktu ke waktu, seolah-olah rasa bosan telah menggerogoti cintanya padaku, sedang aku sendiri tak mungkin bisa melawan arus waktu dan penuaan.

Aku tentu masih mengingat tutur-tutur menyenangkan darinya di awal pernikahan kami. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti puisi dan mengalun seperti lagu favorit. Namun akhirnya, kebiasaan itu menjadi sangat jarang, dan kami jadi seperti dua orang asing yang terjebak di dalam ruang yang sama.

Aku sendiri memahami bahwa keadaan tak akan selalu sama. Akan ada percekcokan bagi kasih sayang untuk menemukan maknanya. Atau akan ada perpisahan bagi kebersamaan untuk menemukan artinya. Namun keadaan di antara kami berbeda. Ia tidak menumpahkan kekesalannya atau meninggalkan aku sepenuhnya, tetapi ia menjadi sosok yang dingin, dan aku yang selalu ada merasa dianggap tidak ada. 

Atas perubahan sikapnya, aku pun waswas kalau-kalau ia sudah merasa tak nyaman lagi bersamaku. Bila sikapnya berubah secara perlahan di waktu-waktu yang lama, maka aku bisa merasakan perubahan sikapnya secara drastis sejak tiga hari yang lalu. Tiba-tiba saja ia jadi hemat bicara dan baru pulang ke rumah menjelang tengah malam dengan alasan urusan kerja. 

Dan malam ini, aku kembali menerima pesan singkat darinya: Aku lembur lagi malam ini.

Seketika, kecurigaanku pun berubah menjadi keyakinan. Aku yakin ia tengah bermain serong dengan wanita muda dan mengabaikan aku yang terbilang tua. Aku yakin ia telah sudi mengabaikan janjinya atas nama Tuhan untuk menyangiku sepanjang hidupnya, lantas mengikat janji terlarang dengan hati yang lain.

Akhirnya, dengan perasaan yang gusar, aku pun mematikan layar monitor yang tengah menayangkan adegan film romantis yang selalu kami tonton secara berulang di awal pernikahan. Dan sejak saat ini, aku bertekad untuk berhenti menonton film itu, dan mulai menganggap adegan-adegan romantisnya cuma tipu daya dan omong kosong belaka.

Lekas kemudian, aku mematikan lampu untuk menyambut lelap yang pulas tanpa membayangkan apa-apa. Tetapi sial, aku tetap saja terjaga atas sangkaan-sangkaan buruk tentang dirinya. Sampai akhirnya, aku kembali membuka mata dan menatap langit-langit kamar yang gelap, sembari membayangkan kemungkinan terburuk yang akan segera menimpa rumah tanggaku.

Namun di tengah keheningan yang menegangkan, aku akhirnya mendengar pintu berderit ketika jam telah menunjukkan waktu lewat tengah malam. Dari irama detak langkah yang kudengar, aku yakin kalau yang datang adalah dia, suamiku. Tetapi untuk kali ini, aku tak ingin peduli pada kedatangannya. Aku pun pura-pura saja terlelap dengan posisi badan membelakangi sisi pintu.

Tanpa berkata-kata, ia lantas memasuki kamar dan menyalakan lampu.

Akhirnya, demi menjaga nama baik sebagai istri yang berbakti, aku pun berusaha meredam rasa curiga, kemudian berbalik badan untuk menyambut kedatangannya seperti biasa.

Dan tanpa kuduga-duga, ia tampak berdiri sembari memegang sebentuk kue cokelat.

Aku pun terkesiap, kemudian perlahan bangkit dan duduk di tepi kasur.

“Selamat ulang tahun, sayang!” tuturnya, dengan senyuman yang hangat.

Aku pun terharu.

Ia lantas mengecup dahiku, lalu duduk di sampingku. “Katakanlah harapanmu,” pintanya.

“Aku harap Bapak tak bosan-bosan mencintaiku, sampai kapan pun!” tuturku, penuh pengarapan.

“Pasti akan aku kabulkan,” janjinya, penuh penegasan.

Aku pun tersenyum bahagia.

Ia lalu membelai rambutku, kemudian mengucapkan sebuah tawaran seperti dahulu, “Maukah kau menonton film favorit kita?”

Aku pun mengangguk senang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar