Program
pembangunan desa menjadi salah satu fokus pemerintah pusat di bawah kendali
Presiden Jokowi. Dibentuklah kementerian yang juga fokus mengurusi masalah
desa, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pematangan konsep pembangunan desa semakin lengkap pasca disahkannya UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Selain mengatur tentang struktur pemerintahan desa, UU
Desa juga melahirkan pos pendapatan desa yang disebut Dana Desa.
Dana
Desa berdasarkan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21
Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 adalah
dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan
bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Di
tahun 2016, alokasi Dana Desa berjumlah Rp. 46.98 triliun, naik dua kali lipat lebih
dari tahun 2015 yang berjumlah 20,7 triliun. Keseluruhan dana tersebut akan
disalurkan ke 74.754 desa di 32 Provinsi seluruh Indonesia. Tiga persoalan
penting yang menjadi skala prioritas peruntukan Dana Desa adalah pembangunan
infrastruktur, pengembangan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan, serta
pengembangan kapasitas ekonomi lokal.
Adanya
Dana Desa tentu menjadi sebuah stimulan yang baik bagi pembangunan desa.
Apalagi selama ini, terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dan kota yang
menyebabkan arus urbanisasi semakin meningkat. Panggunaan Dana Desa secara
baik, jelas akan menggairahkan kembali pembangunan di tingkat desa, yang tentu berdampak
bagi pembangunan lingkup nasional. Untuk itu, Dana Desa harus dibarengi dengan
upaya pengawalan yang baik. Jika tidak, Dana Desa dapat saja menjadi
malapetaka.
Dampak Sampingan
Pengadaan
Dana Desa untuk keperluan pembangunan desa, tidak lepas dari berbagai masalah. Belakangan,
muncul persoalan di tataran masyarakat desa. Rupanya, Dana Desa yang jumlahnya
besar, menimbulkan beragam persepsi dari masyarakat desa. Secara umum, sikap
masyarakat desa menghadapi Dana Desa dapat berupa keengganan karena kurangnya pengetahuan
dan keahlian, ketakutan terjerat sanksi hukum, sampai pada tindakan
penyimpangan atau korupsi.
Salah
satu masalah pengaplikasian Dana Desa adalah kurangnya pengetahuan dan
pengalaman masyarakat desa dalam persoalan sistem administrasi-birokrasi. Tak
pelak, banyak timbul masalah dalam penyusunan peraturan desa, rencana
pembangunan desa, sampai pada perencanaan dan pelaporan penggunaan Dana Desa.
Padahal, efektivitas penggunaan Dana Desa, sangat membutuhkan keahlian terkait
administrasi pemerintahan, khususnya tentang persoalan keuangan.
Keahlian
masyarakat dalam penguasaan teknologi, juga menjadi persoalan tersendiri. Pelaporan
dan pemantauan penggunaan Dana Desa yang menggunakan sistem komputerisasi,
jelas menyusahkan bagi masyarakat desa yang selama ini kurang tersentuh dunia
teknologi. Imbasnya, perangkat pemerintahan desa menjadi kalang-kabut dalam
menindaklanjuti Dana Desa. Di samping itu, masyarakat desa yang gagap
teknologi, juga tidak bisa melakukan pemantauan secara memadai terhadap
penyaluran dan penggunaan Dana Desa, mengingat sistem informasi, penyaluran,
dan pelaporan Dana Desa, serba teknologi.
Persoalan
lain pengaplikasian Dana Desa adalah timbulnya ketakutan di tataran masyarakat
desa, terutama perangkat pemerintahan desa, terkait penggunaan Dana Desa.
Ketakutan itu terkait dengan sanksi hukum yang akan menyertai
kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Dana Desa. Ketakutan itu semakin
menjadi-jadi jika keahlian administrasi dan pengusaan teknologi para perangkat
desa masih rendah. Tak mengherankan jika ditemukan fenomena orang desa yang
takut mengemban amanah sebagai perangkat desa, akibat takut salah dalam mengaplikasikan
Dana Desa.
Bentuk
lain penyikapan Dana Desa di tengah masyarakat adalah munculnya aksi
penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh oknum tertentu. Dana Desa yang
jumlahnya fantastis, bahkan diupayakan meningkat dari tahun ke tahun, menjadi
“lahan basah” yang menggiurkan bagi orang-orang yang punya nafsu untuk
memperoleh keuntungan secara tidak halal dan melawan hukum. Hal ini rentan
terjadi jika ada persekongkolan terselubung oknum pemerintah daerah, perangkat
desa, dan pihak swasta dalam pengerjaan proyek pembangunan desa. Apalagi, masyarakat
desa yang berpendidikan rendah, kurang mengerti administrasi, dan gagap
teknologi, jelas tak akan mampu melakukan pengawasan secara baik.
Dari
banyak persoalan di atas, jika tidak dilakukan upaya pembenahan dan pengawalan
secara optimal, dapat saja berujung pada konflik horizontal. Masyarakat desa
yang dulunya hidup damai dalam kesederhanaan dan penuh kegotong-royongan, malah
terguncang, bahkan saling bertikai dengan adanya Dana Desa. Sentimen politik pun
dapat semakin meruncing, serta persoalan hukum akan menyebar di tataran desa. Bukannya
menjadi stimulus pembangunan, Dana Desa dapat menjadi akar masalah yang luas dan
pelik jika pengaplikasiannya tak dilakukan secara baik.
Masyarakat Butuh Bimbingan
Pada
dasarnya, pengadaan Dana Desa memiliki semangat baik untuk menggenjot pembangunan
di tataran desa. Sudah menjadi cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan
pembangunan di desa, sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial, dapat terwujud.
Meski begitu, tujuan baik harus tetap dibarengi dengan konsep
pengimplementasian yang baik pula. Maka dari itu, konsep penyaluran Dana Desa
yang berskala luas, harus dibarengi dengan pembinaan dan pengawasan yang baik
di tataran masyarakat desa.
Masyarakat
desa dengan sistem hidup berdasarkan kearifan lokal, jelas akan menghadapi
kesulitan dalam menyelenggarakan Dana Desa. Itu dapat terjadi karena sistem
yang digunaan masih sarat administrasi-birokrasi, dan berbasis pada teknologi
modern. Karena itulah, dalam penyaluran dan penggunaan Dana Desa, masyarakat
desa, terutama perangkat pemerintahan desa, harus mendapatkan bimbingan dan
pendampingan yang baik.
Bimbingan
harus menyentuh tataran teknis, tidak lagi terkait konsep mengawang-awang,
sebagaimana tersebar di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan
kebijakan yang begitu banyak. Masyarakat desa yang terbiasa berpikir sederhana
dan bertindak efektif, hanya membutuhkan pelatihan teknis. Untuk itu, pembinaan
terkait Dana Desa, jangan lagi sekadar seminar, dialog, atau istilah lain yang
substansi informasinya, malah menimbulkan kebingungan dan ketakutan bagi
masyarakat desa. Bimbingan itu, semisal cara membuat peraturan desa, rencana
pembangunan, serta rencana dan pelaporan penggunaan Dana Desa.
Adanya
perangkat Pendamping Desa, Pendamping Teknis, dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Desa
menjadi penting diarahkan untuk memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat
desa. Perangkat itu, harus memahami masalah dan kebutuhan masyarakat desa
secara terperinci, sebagai dasar dalam melakukan fungsi pendampingan, koordinasi,
dan pembinaan. Tak kalah pentingnya, perangkat tersebut juga harus mampu
memberikan motivasi dan menghilangkan ketakutan masyarakat desa dalam
penggunaan Dana Desa.
Pengaplikasian
Dana Desa di tataran masyarakat harus mendahulukan pendekatan kearifan lokal,
bukan pendekatan hukum yang kaku. Masyarakat desa yang hidup sentosa, tak boleh
ditakut-takuti dengan segala macam sanksi pidana atas penggunaan Dana Desa. Jangan
sampailah orang desa yang punya niat baik untuk membangun desanya, menjadi tak
bersemangat, bahkan dipaksa mendekam di balik jeruji hanya karena
ketidaktahuannya dalam pengaplikasian Dana Desa. Untuk itu, penting ditekankan bahwa
ketidaktepatan penggunaan Dana Desa, tak selamanya menjadi kesalahan masyarakat
desa. Bisa jadi, itu karena ketidakmampuan pemerintah dalam membangun sistem
yang baik, ataukah kegagalan pemerintah dalam membimbing masyarakat desa.
Dana
Desa yang bertujuan baik, janganlah menjadi bola panas yang dibiarkan saja
bergulir di tengah masyarakat desa, bahkan menjadi bahan bakar yang menyulut
konflik horizontal. Jangan sampailah masyarakat desa yang sarat dengan
persatuan dan gotong-royong, malah terpecah-belah dengan adanya Dana Desa. Jika
pemerintah tidak mampu menjamin bahwa Dana Desa akan disalurkan bersamaan
dengan pemberian bimbingan yang memadai, maka sepertinya penting untuk
memikirkan ulang bahwa pendanaan desa lebih tepat ditumpukan kembali di tingkat
pemerintah daerah.