Selasa, 27 Desember 2016

Teman Belajar

Kadang kala, aku ingin hidup seperti orang lain. Hidup dalam keluarga yang sederhana. Bebas, tanpa tuntutan apa-apa. Tapi nyatanya, aku ditakdirkan lahir sebagai anak seorang pejabat negara yang berwibawa dan kaya raya. Jadinya, hidupku penuh dengan tuntutan. Semuanya telah diatur dan wajib dilaksanakan. Tak ada bedanya dengan kehidupan di penjara.
 
Hidupku benar-benar terkekang. Aku tak pernah menjalani pilihan yang kumau. Perihal dengan siapa aku bergaul, di mana aku bersekolah, dan kelak aku harus jadi apa, semua telah ditetapkan oleh ayah-ibuku, sebelum kelahiranku. Aku harus melaksanakannya tanpa banyak tanya, demi aku dan nama baik keluargaku, katanya. Aku mengalah.

Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Aku bisa menjadi kebanggaan orang tuaku. Di kelas, aku unggul pada semua mata pelajaran. Hingga akhirnya, di semester I kelas 2 SMA, seorang siswa teman baruku di kelas konsentrasi eksakta, Arsal, membuatku berang. Aku kalah bersaing dengannya. Bahkan di pelajaran matematika, ia mendapat nilai 90, sedangkan aku 92.

Pada sesi penerimaan rapor, aku akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Arsal meraih ranking I, dan aku turun kasta, di rangking II. Pamorku di mata keluarga, guru, dan teman-teman sekolah, jadi memudar. Aku tak dianggap lagi.  Serasa, hanya ada dua kelompok siswa di sekolah: rangking I yang cerdas, dan rangking selainnya yang dinilai berotak tumpul.

Keadaan semakin merisaukan, sebab ayah Arsal berteman baik dengan ayahku. Bahkan, kami bertetangga. Dan petaka batin pun tak bisa kuhindari, bahwa tuntutan hidupku semakin meningkat. Aku terpaksa harus bersusah payah merebut posisiku sebagai siswa terbaik, jika tak mau terus dibanding-bandingkan dengan Arsal. Harus!

Belum usai perjuanganku, ayahku, tanpa perasaan, malah memerintahkan agar aku sering-sering belajar kelompok dengan Arsal. Menjengkelkan. Terpaksa, aku mengiyakannya saja, tanpa benar-benar melakukannya. Dan apa yang terjadi di lingkungan sekolah adalah sebaliknya, aku selalu mengambil jarak dan menempatkan Arsal sebagai lawan bebuyutanku.

Hingga akhirnya, sebuah kejadian membuatku sedikit meluluh dan berpikir untuk berhenti membenci. Di satu pagi, di hari saat ujian matematika dilangsungkan untuk semester II kelas 2 SMA, aku melupakan semua peralatan ujianku. Buku, penggaris, pulpen, penghapus, semua tertinggal dalam satu kotak di teras rumah. Dan di tengah kebingunganku, Arsal muncul dengan menenteng kotak itu. Sungguh, aku benar-benar merasa tertolong.

Setelah kejadian menggugah rasa itu, aku pun berdialog dengan diriku sendiri. Ada keinginanku berhenti mengulur jarak dengan Arsal hanya karena persoalan nilai rapor dan tuntutan irasional orang tua. Ada yang lebih penting dari itu: pertemanan. Aku pun bertekad untuk menyegerakan hidup dalam suasana yang baru, berkawan dengannya, termasuk dalam soal pelajaran.

Keinginanku berdamai dengannya, tepatnya berdamai dengan diriku sendiri, semakin memuncak seminggu setelah ujian. Itu terjadi setelah aku mengetahui bahwa nilai matematikaku setara dengan nilai yang ia dapatkan. Sama-sama 98. Sebuah pencapaian yang kuanggap luar biasa, sebab sebelumnya nilai matematika tertinggiku hanya mentok 90. 

Segera di hari itu juga, aku pulang dan berencana bertamu di rumahnya. Ada ucapan terima kasih yang belum sempat kuucapkan kepadanya, hanya karena ego. 

“Arsal ada, Bu,” tanyaku pada Tiyem, seorang pembantu di rumah Arsal.

Perempuan tua itu, sontak menoleh padaku. “Kamu terlambat, Nak Adam. Dia sekeluarga baru saja pergi. Mereka hendak menetap di kota seberang. Dia tak mengabarimu, Nak?”

Aku tersentak. Tak kuasa berkata apa-apa. Baru kusadari, kalau ternyata, selama ini, aku masih diperdaya sifat kekanak-kanakan. 

“Oh, iya. Ada surat untukmu dari Arsal, Nak,” tutur Tiyem, sambil menyodorkan sebuah amplop.

Rasa penasaranku, melonjak seketika. Segera kusibak sepucuk surat darinya: Aku tahu kita tidak akrab. Tapi selama ini, aku telah menganggapmu sebagai teman baik. Terima kasih telah memaksaku menjadi lebih baik daripada dirimu dan diriku yang sebelumnya. Kau adalah kawan bagiku, seorang partner belajar secara tidak langsung.

Lagi-lagi, aku menyesal atas keegoisanku. Aku pun melangkah pulang, membawa penyesalan yang mungkin kupendam sepanjang waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar