Kamis, 08 Desember 2016

Tak Bersuara

Tak ada yang bisa memastikan ke mana arah hati seseorang tertambat. Hanya bisa ditebak. Seperti cuaca, senantiasa ada pertanda yang mengiringi. Namun akhirnya masih tanda tanya juga. Serupa mendung yang tak pasti berbuah hujan, atau umpama hujan di tengah terik matahari. Karena datang tanpa aba-aba, tak ada yang menduga. Namun, kenyataan tak bisa disangsikan. 

Analogi itu, semakna dengan caraku menyatakan cinta padamu. 
 
Kini, aku pun larut dalam khayalan. Membayangkan tentang percakapan kita jika suatu saat nanti, kau bertanya tentang asal-usul cintaku.

“Aku ingin tahu alasanmu tiba-tiba menyatakan cinta padaku. Aku tak ingin perasaanmu hanya musiman.” Kau terlihat mengeluh manja.

“Alasannya? Ya, karena aku mencintaimu,” balasku, lalu memetik dagumu.

Kau merengek. Mungkin mengira kalau aku sedang meledek. “Bukankah dahulu kau dekat dengan banyak wanita selain aku? Terus, bagaimana bisa hatimu tiba-tiba beralih kepadaku?”

Kualihkan pandanganku padamu. Kuelus pipimu yang tembam. “Aku telah lama memendam perasaan padamu. Jika sebelum kita bersama ada seseorang yang membuatmu cemburu, yakinlah semua itu hanya prasangka burukmu.”

“Bagaimana bisa?” tanyamu lagi. Masih tampak penasaran.

“Rina sayang, dengar baik-baik. Bagiku, cinta itu adalah malu. Jika dua orang berlawanan jenis terlalu dekat, bisa jadi mereka cuma memosisikan diri sebagai teman biasa. Tapi jika benar-benar ada hasrat untuk saling mencintai, aku yakin, selalu ada kegugupan jiwa yang membuatnya bungkam.” jelasku, sambil memandang bola matamu dalam-dalam. “Karena itulah, orang yang benar-benar berhasrat mencintai, bisa jadi orang yang terlihat mengabaikan.”

Senyum manis nan malu-malu pun, merekah di wajahmu. “Jadi, sejak dahulu kau memendam perasaan padaku?”

“Ya, di sepanjang waktu saat aku mendiamkanmu,” pungkasku.

Seketika, kau pun jatuh di pelukanku, lalu menangis terharu.

Tiba-tiba, sahabat baikku, Raka, menepuk pundakku begitu keras. Aku pun tersadar dari khayalan. Buyarlah sudah skenario kebersamaan kita yang kurencanakan terwujud di masa mendatang.

“Kau tahu, Rina akan dipersunting oleh seseorang?” Tak kusangka, ia menuturkan perihal yang tak mengenakkan bagiku.  .

“Bagaimana bisa?” sergahku. “Rina, si wanita pemalu itu kan?”

“Ya, bisalah. Kau tahu sendiri, bagaimana aku,” tuturnya, terlihat angkuh.

Aku butuh dua detik untuk menyadari posisi dirinya dalam percakapan, “Jadi?” tanyaku.

Senyumnya merekah sempurna. “Ya, rencananya seminggu lagi keluargaku akan meminangnya.”

Aku semakin diombang-ambingkan oleh keraguan dan ketidakpercayaanku. “Kok bisa?” tanyaku lagi.

“Ya bisalah,” tegasnya, sembari menepuk-nepuk pundakku. “Kau tahu, sebelumnya, aku sendiri ragu jika ia akan menerima pernyataan perasaanku. Tapi kupikir, sebagai manusia biasa, kita berhak mencoba. Takdir tak boleh digantungkan dan dipasrahkan pada ketidakpastian. Kalau sudah usaha dan berdoa, tapi hasilnya nihil, baru boleh pasrah.”

Aku masih heran. Tepatnya, masih tak habis pikir.

“Sama halnya dengan persoalan cinta. Di antara banyak kemungkinan yang menggantung tentang di mana hati seseorang akan berlabuh, sebenarnya hanya perlu keberanian untuk memastikannya,” sambungnya dengan kesan seperti menggurui. “Kau tahu, Rina adalah wanita sempurna. Aku hanya lelaki yang biasa. Jelas banyak lelaki yang lebih baik dariku. Tapi aku menjadi pemenang hatinya, hanya karena aku berani mengungkapkan perasaanku.”

Dan kini, kurasakan lagi pahitnya memendam. Ini untuk yang ke sekian kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar