Kamis, 19 November 2015

Mengarsipkan Kisah


Di masa kini, sepertinya kurang sreg jika setiap momen yang dialami tidak direkam dalam bentuk visual. Bisa dalam bentuk video maupun foto. Dengan kemajuan teknologi, sepertinya pengarsipan kisah bukan hal yang sulit. Terlebih, smartphone sudah seperti barang kebutuhan primer. Setiap orang lazim memilikinya. Semua aktivitas pun dengan mudah direkam menggunakan perangkat serba bisa itu.

Pengarsipan kisah sekarang tentu tak sebaik dulu, waktu zaman kamera analog yang masih menggunakan klise. Keadaan itu tentu saja membatasi keleluasaan dalam mengambil sebanyak mungkin gambar dalam sebuah momen. Tapi kini, setelah terciptanya perangkat yang dapat merekam momen dalam bentuk digital, orang-orang pun bisa mengarsipkan momennya dalam banyak rangkap. Hasil jepretan lalu dipilah-pilah untuk dihapus atau diarsipkan dalam memori perangkat penyimpanan. Suatu saat, semuanya dapat dibuka kembali. Sangat praktis.

Alat pengarsipan kisah ternyata membawa perubahan, pada bagaimana cara orang mengabadikan kenangannya. Jika dahulu kisah hanya disimpan di memori otak (baca: ingatan), sekarang orang bisa mengarsipkannya dalam perangkat memori lain. Tapi masalahnya, penghayatan seseorang terhadap momen yang dialaminya menjadi dangkal. 

Saat sebelum adanya teknologi pengarsipan kisah, orang-orang tentu cenderung memerhatikan detail terkait momen yang ia alami. Penuh penghayatan. Itu agar momen tersebut tergambar secara baik di ingatannya, baik untuk sekadar dikenang atau diceritakan kepada orang lain nantinya. Tapi sekarang persoalan penting itu diabaikan. Orang lebih sibuk berpose sana-sini daripada meresapi suasana momennya.

Sekarang, orang-orang cenderung mengejar bukti pengarsipan kisah, tapi mengabaikan makna kisahnya. Orang tak lagi menghayati proses perjalanan yang ia lalui. Yang penting adalah memiliki bukti bahwa ia pernah melalui sebuah perjalanan. Semuanya demi memenuhi hasrat pamer. Tidak mengherankan jika banyak terjadi, orang-orang begitu heboh jika nampak di sebuah foto, padahal kenyataannya mereka senyap-senyap saja. Kisah-kisah pun berlalu tanpa menyisakan kesan mendalam.

Dampak negatif dari kebiasaan mencari-cari pengakuan eksistensi dari pamer-pamer arsip kisah adalah, orang menjadi abai terhadap tujuan momen yang dialaminya. Setiap momen yang dilalui berlalu begitu saja tanpa ada makna yang terbersit dalam hatinya. Orang menjadi lebih suka terlihat prihatin, tapi sebenarnya lempeng-lempeng saja. Orang lebih suka terlihat peduli, tapi sebenarnya masa bodoh. 

Tak mengherankan jika ada seseorang tanpa segan memampang senyum lebarnya saat berfoto selfie di depan sebuah peristiwa musibah. Ataukah seorang demonstran yang sebenarnya tak tahu persoalan yang sedang diaspirasikan, namun merasa tujuannya tercapai jika wajahnya nongol pada sebuah foto bersama ban bekas yang terbakar. Mereka mendapatkan eksistensi, tapi kering pada persoalan esensi. Hidupnya nampak terlihat semarak, padahal merasa sangat kesepian.

Mau tidak mau perkembangan teknologi memang menuntut perilaku manusia turut menyesuaikan. Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun tak bijak juga jika melupakan inti kehidupan, hanya karena terlena tipuan teknologi. Tak ada buruk mengarsipkan kisah, tapi jangan juga membuat lupa terhadap makna kisah hidup yang terlalui. Memori manusia akan pupus seiring penuan. Tentu perlu arsip kisah untuk disibak kembali nantinya. Sebuah peninggalan yang akan mengantar manusia bernostalgia, hingga merasa terbarukan lagi. 

Kisah selayaknya tak sekadar diarsipkan, lalu mengabai maknanya. Sebuah kisah akan sangat berarti jika kita punya kesan darinya, termasuk pelajaran hidup. Arsip kisah tetaplah penting untuk mengantisipasi keadaan pikun, ataukah dijadikan bukti sejarah bagi generasi selanjutnya. Tapi yang perlu diingat, bahwa meskipun kita tak terarsipkan dalam sebuah kisah, tapi selama kita mengalaminya, kita tetaplah bagian di dalamnya. Akhirnya, tak perlu terlihat bahagia untuk dikatakan bahagia. Cukup bahagia saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar