"Jujur
saja, siapa di antara kalian yang mencuri uang itu?" tanya Kardi, tegas
dan menuding, setelah sekian lama ia menyelidik dengan pertanyaan-pertanyaan
membujuk.
Aku
dan Gari, putranya, sontak saling melirik. Aku bermaksud memberikan isyarat kepadanya
agar ia segera mengaku sebagai pencuri uang senilai 2,2 juta rupiah itu. Tetapi
sepertinya, ia malah balik menuntut agar aku yang mengaku.
"Bukan
aku, Om," ucapku, dengan perasaan ciut memandang wajah garang sang tuan
rumah.
"Jadi,
pelakunya kamu, Gari?" tukas Kardi, seakan memvonis.
Di
luar dugaanku, Gari malah menggeleng.
"Lalu
siapa kalau bukan kalian?" sidik Kardi lagi. Tampak makin gusar.
"Jangan-jangan,
memang bukan orang di rumah ini pelakunya, Om. Siapa tahu, ada pencuri dari
luar yang telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri uang itu,"
tanggapku, menawarkan kemungkanan lain.
Kardi
sontak mendengkus kesal, seperti menampik pandanganku. “Itu tidak masuk akal.
Jelas tidak ada tanda-tanda kalau ada orang yang memaksa masuk ke rumah ini,
kemudian mencari uang di dalam lemari itu dengan mengacak-acak barang.”
Aku kembali kelimpungan. Aku hanya terus duduk membeku di sofa ruang tamu sembari memikirkan cara untuk membuktikan ketidakbersalahanku.
Seolah habis kesabaran, Kardi lantas berdiri dan memungkaskan, "Baiklah. Karena tidak ada di antara kalian yang mau mengaku, aku akan mencari tahu dan mengambil keputusan sendiri,” katanya, kemudian melangkah pergi.
Sesaat
berselang, Gari pun beranjak, entah ke mana.
Detik
demi detik, aku terus menerka-nerka siapa yang telah mencuri uang di dalam
lemari yang berada di kamar Om Kardi dan istrinya itu, yang merupakan uang
hasil urunannya sekantor yang akan digunakan untuk bakti sosial. Awalnya, aku
menuduh Gari. Tetapi setelah melihat sikapnya yang cukup tenang, aku mulai ragu.
Kupikir, kalau ia memang pelakunya, sebagai anak berusia 9 tahun, sedari tadi
ia akan menangis ketakutan dan mengakuinya.
Karena
itu, aku mulai menerka kemungkinan yang lain. Jikalau penyebab hilangnya
seamplop uang di bawah lipatan pakaian itu bukan akibat pencurian oleh orang
dari luar, bisa jadi biang masalahnya adalah Om Kardi sendiri, atau Tante Sumi,
istrinya. Bisa jadi, salah satu dari mereka telah memindahkan posisi uang itu,
atau bahkan telah membelanjakannya. Bisa jadi, mereka lupa.
Aku
sungguh berharap segera ada kejelasan. Kalau tidak, keberadaanku terancam.
Bagaimanapun, aku hanya menumpang di rumah pamanku itu. Aku sadar, aku adalah
orang luar dan wajar untuk tidak dipercayai di dalam rumah ini. Apalagi, Om
Kardi mengatakan kalau sebelum-sebelumnya, tidak pernah terjadi pencurian uang di
dalam kediamannya, seolah-olah ia menyindir kehadiranku.
Baru
dua bulan lebih aku menumpang di rumah Om Kardi. Sebelumnya, aku indekos.
Tetapi biaya hidup untuk kuliah di kota, ternyata tidak sedikit. Jangankan
untuk membayar sewa kos-kosan, untuk makan saja, aku mesti perhitungan. Apalagi,
aku bukan orang berkecukupan. Ibuku hanya penjual sayur di pasar, sedang ayahku
tukang bangunan yang telah meninggal dua tahun yang lalu.
Atas
ketidakberdayaan ekonomi itulah, ibuku lalu memintaku untuk tinggal dan
membantu-bantu di rumah Om Kardi yang merupakan sepupu almarhum ayahku. Karena
paham keadaan dan tak ingin membebani ibu, aku pun pasrah. Aku lalu bertandang
dan menyampaikan keinginanku untuk menumpang. Beruntung, sepasang suami istri
yang sama-sama bekerja di pabrik garmen itu, menerimaku dengan baik.
"Kami
sungguh senang kalau kau mau tinggal di rumah ini, Nak Nita. Hitung-hitung,
Gari jadi punya teman," kata Om Kardi, saat kedatanganku waktu itu.
Aku
tersenyum dan bersyukur atas penerimaannya.
"Tetapi,
ya, tentu, aku berharap kau menjadi teman yang baik dan memberi pengaruh
positif untuknya. Karena kau sudah dewasa dan kuliah di jurusan keguruan, aku
harapan kau turut mendidiknya," sambung Kardi, dengan raut penuh harap.
"Terus terang, aku dan tantemu mencemaskan perkembangannya. Dia sudah
kelas III SD, tetapi masih belum mahir membaca dan berhitung."
Tante Sumi pun mendengkus kalut. "Ya, itu terjadi karena ponsel pintar. Dua tahun lalu, ia merengek minta dibelikan ponsel yang canggih seperti milik teman-temannya. Akhirnya, karena kasihan, kami turuti. Terlebih, kami bepikir, ponsel itu akan menjadi penghiburan baginya agar tidak kesepian dan kelayapan ketika kami sedang tidak di rumah. Tetapi ternyata, ia malah jadi kecanduan main ponsel dan malas belajar."
Aku
sontak tersenyum miris. "Begitulah anak-anak zaman sekarang, Tante.
Hobinya main ponsel," tanggapku, sekenanya, dengan pemahaman atas
kepelikan yang mereka hadapi.
"Tetapi,
kau bisa mengatasi persoalan anak kami itu, kan? Maksudku, kau bisa membuatnya
berhenti kecanduan main ponsel dan jadi giat belajar?" tanya Om Kardi,
meminta kesanggupanku.
Dengan
kayakinan, aku pun mengangguk. "Akan kuupayakan, Om. Apalagi, itu memang terkait
dengan keilmuan yang aku pelajari."
Mereka
sontak tersenyum senang, seolah telah menemukan cara penyelesaian terkait permasalahan
putra mereka itu.
Demikianlah,
sampai akhirnya aku menjadi bagian di dalam keluarga Om Kardi. Hari-hari, setiap
kali tak ada jadwal kuliah, aku akan berada di rumah untuk menemani Gari belajar
dan bermain. Aku memosisikan diri sebagai kakak yang perhatian untuknya. Aku senang
melakukan itu sebagai balasan untuk Om Kardi dan istrinya yang telah bermurah
hati merumahkanku.
Namun
ternyata, mendidik anak-anak memang tidak gampang. Tidak semudah teori
pendidikan yang kupelajari di bangku kuliah. Apalagi, Gari jelas anak yang
liar. Aku bahkan harus menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahami sifatnya.
Aku tidak mungkin sekonyong-konyong menyita ponselnya dan memaksanya belajar.
Kalau begitu, dia pasti akan mengamuk.
Sampai akhirnya, pada minggu kedua kebersamaan kami, aku mulai mampu mengambil hatinya dan mengendalikan emosinya. Aku perlahan berkawan dengannya. Aku sudah bisa membuatnya mengesampingkan ponselnya dan memerhatikan pelajarannya. Tetapi sayang, itu sering kali hanya berlangsung sebentar, hingga ia kembali larut dalam permainan layarnya.
Setelah
sekian lama berikutnya aku mengupayakan berbagai cara untuk membebaskannya dari
godaan ponsel dan memikatnya untuk belajar, aku pun menyerah. Aku merasa itu
hal yang mustahil. Ia sudah kecanduan. Karena itu, aku mulai berpikir untuk mengombinasikan
hal tersebut, yaitu dengan mengajarinya lewat sarana ponsel. Kupikir, zaman memang
telah berubah, dan sudah semestinya anak-anak dididik dengan teknologi, bukan
dengan buku teks semata.
Akhirnya,
setelah perundingan demi perundingan, kami pun mencapai kompromi perihal pembelajaran
dan permainan ponselnya. Hasilnya, ia mesti belajar dengan memainkan aplikasi
membaca dan berhitung yang kupasangkan di ponselnya. Ia baru boleh memainkan
gim pilihannya sendiri setelah ia berhasil menyelesaikan soal yang kuberikan
sesuai target pembelajaran.
Di luar itu, demi kebaikan bersama, kami juga menyepakati aturan lain, bahwa setelah permainan belajarnya selesai, tidak berarti ia bebas memainkan gim kesukaannya. Kami bersepakat bahwa selama ayah dan ibunya berada di rumah sepulang bekerja, ia harus bersikap baik dengan lebih banyak berurusan dengan buku-bukunya, dan hanya sesekali memainkan ponselnya.
"Ini
kesepakatan, dan kita harus menjalankannya, demi kebaikan kita berdua di mata
ayah dan ibumu," tuturku, setelah memahamkannya.
"Baiklah.
Percayalah padaku," tanggapnya, menyanggupi.
"Baguslah
kalau begitu. Kadang-kadang, kita memang perlu berdusta demi kebaikan bersama,
dan itu tak mengapa," ujarku, meneguhkannya.
Ia
lantas mengangguk-angguk sepakat.
Hari
demi hari, kami pun melaksanakan kesepakatan itu dengan baik. Kami menjaganya
sebagai rahasia dengan banyak berpura-pura. Kurasa, itu bukanlah cara yang
buruk. Setidaknya, biarpun ia masih menggandrungi permainan ponselnya, tetapi
tujuan pembelajaran untuk membuatnya mahir membaca dan berhitung, tetap
tercapai.
Kukira,
membuat Gari mampu mengimbangi atau bahkan mengungguli kepintaran teman-temannya,
juga merupakan target utama bagi Om Kardi dan istrinya. Kupikir, mereka berdua
tak akan terlalu mempermasalahkan kalau Gari bermain-main ponsel, selama Gari
bisa unggul di kelasnya. Dan itu tampaknya benar, sebab aku dan Gari akhirnya mendapatkan
pujian atas keberhasilan kerja sama kami:
"Kau memang jago menaklukkan kebandelan dan mengajari jagoanku ini. Aku melihat ia makin mahir membaca, menulis, dan berhitung. Nilai untuk tugas-tugas sekolahnya pun, makin bagus," puji Om Kardi, satu sore, sepulang kerja, ketika aku tengah menemani Gari mengerjakan PR-nya.
"Itu karena Gari memang punya kemauan untuk belajar, Om," sangkalku, merendah diri.
Kulihat,
Gari yang tengah menuliskan jawaban tugasnya, tampak senang.
"Ah, kau memang andal. Kau calon guru yang berkualitas," tangkis Om Kardi.
Aku
hanya tersenyum dengan perasaan bangga.
Om Kardi lantas mengusap-usap kepala Gari. "Hebatnya lagi, aku lihat, jagoanku ini tak lagi kecanduan ponsel. Hanya sekali-kali saja ia memain-mainkan ponselnya."
"Itu
karena sekarang, ia memang lebih suka belajar, Om," responsku,
sekenanya.
Gari
lantas tergelak pendek. Ia lalu menatapku dengan menyuratkan pertanda
kesenangan atas keberhasilan kami mengelabui ayahnya perihal aktivitas
permainan ponselnya ketika sang ayah atau sang ibu sedang tidak di rumah.
"Syukurlah
kalau begitu. Semoga adikmu ini menjadi anak yang cerdas dan berbudi luhur,"
tutur Om Kardi, semringah.
Aku
mengangguk-angguk saja.
Om Kardi kemudian berlalu.
Dengan
raut girang, Gari menggodaku dengan kedipan-kedipan matanya.
Aku
pun menghus agar ia berhenti menunjukkan gelagat yang bisa membongkar taktik
rahasia kami.
Diam-diam,
atas kenyataan itu, aku merasa senang telah berhasil membuat Gari menjadi lebih
pintar, serta membuat Om Kardi dan istrinya tidak lagi merisaukan aktivitas
permainan ponselnya. Aku pun merasa berguna dan makin nyaman menumpang di rumah
mereka.
Namun hari ini, setelah peristiwa hilangnya seamplop uang di dalam lemari, aku khawatir kalau-kalau aku kehilangan kepercayaan sekaligus tempat tinggal.
Hingga
akhirnya, sekian lama berlalu, saat aku masih duduk di sofa dengan perasaan
kacau, Om Kardi kembali menghampiriku, sembari memanggil Gari. Sejenak
berselang, Gari pun datang dan duduk di sampingku.
"Ini punya siapa?" tanya Om Kardi, sambil menunjukkan struk belanjaan dari sebuah minimarket.
"Itu
punyaku, Om," kataku, jujur, tanpa pikiran apa-apa.
Om
Kardi mendengkus. "Ya, sudah, kau pelakunya. Aku menemukan ini di samping
lemari penyimpanan uang itu.
Seketika,
perasaanku tersentak. Aku tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi. Pun, itu jelas
mengada-ada dan tidak bisa menjadi bukti bahwa aku adalah pelakunya. Tetapi aku
memang tidak bisa apa-apa. Aku hanya menumpang di rumahnya.
"Aku
tidak mau tahu, sekarang, kau harus pergi dari rumah ini," vonis Om Kardi,
dengan wajah memerah-marah. "Lebih baik anakku bodoh daripada nantinya
menjadi seorang pencuri juga."
Tiba-tiba,
air mataku menetes. Aku lalu melangkah menuju ke dalam kamarku untuk mengemas
barang-barangku sebelum pergi.
Tak
lama kemudian, Gari datang menyusulku. Ia pun menangis.
"Tak usah menangis. Aku tidak apa-apa," kataku, menenangkannya.
Tetapi
ia terus saja terisak. "Maafkan aku, Kak," tuturnya kemudian, lirih.
Aku
jadi bingung. "Maaf untuk apa? Kau tak punya salah kepadaku."
"Maaf,
karena sebenarnya, akulah yang mengambil uang di lemari itu," terangnya.
Sontak
saja, aku terkejut hebat.
"Kenapa
kau lakukan itu?" sidikku, dengan suara berbisik tegas. “Katakan, untuk
apa?”
"Tetapi
Kakak janji jangan bilang kepada Ayah, ya. Aku takut Ayah marah besar,"
pintanya.
Aku
menggangguk saja.
"Ponselku hilang di sekolah. Jadi, aku mengambil uang itu untuk membeli ponsel baru dengan model yang sama," jelasnya, dengan tetap berurai air mata.
Aku
seketika memahami persoalan uang itu, dan jadi sedikit tenang. Tetapi aku tidak
bisa apa-apa selain menunaikan putusan Om Kardi. Mau tak mau, aku harus pergi.
Kukira, Gari tak akan sanggup berkata jujur dan menerima hukuman dari ayahnya.
Akhirnya, atas apa yang telah terjadi, aku tak akan menyesalkan apa-apa, kecuali bahwa aku telah mengajari Gari berdusta di hadapan orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar