Kamis, 01 Desember 2022

Persekutuan Dusta

"Jujur saja, siapa di antara kalian yang mencuri uang itu?" tanya Kardi, tegas dan menuding, setelah sekian lama ia menyelidik dengan pertanyaan-pertanyaan membujuk. 

Aku dan Gari, putranya, sontak saling melirik. Aku bermaksud memberikan isyarat kepadanya agar ia segera mengaku sebagai pencuri uang senilai 2,2 juta rupiah itu. Tetapi sepertinya, ia malah balik menuntut agar aku yang mengaku. 

"Bukan aku, Om," ucapku, dengan perasaan ciut memandang wajah garang sang tuan rumah.

"Jadi, pelakunya kamu, Gari?" tukas Kardi, seakan memvonis. 

Di luar dugaanku, Gari malah menggeleng. 

"Lalu siapa kalau bukan kalian?" sidik Kardi lagi. Tampak makin gusar. 

"Jangan-jangan, memang bukan orang di rumah ini pelakunya, Om. Siapa tahu, ada pencuri dari luar yang telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri uang itu," tanggapku, menawarkan kemungkanan lain. 

Kardi sontak mendengkus kesal, seperti menampik pandanganku. “Itu tidak masuk akal. Jelas tidak ada tanda-tanda kalau ada orang yang memaksa masuk ke rumah ini, kemudian mencari uang di dalam lemari itu dengan mengacak-acak barang.”

Aku kembali kelimpungan. Aku hanya terus duduk membeku di sofa ruang tamu sembari memikirkan cara untuk membuktikan ketidakbersalahanku.

Seolah habis kesabaran, Kardi lantas berdiri dan memungkaskan, "Baiklah. Karena tidak ada di antara kalian yang mau mengaku, aku akan mencari tahu dan mengambil keputusan sendiri,” katanya, kemudian melangkah pergi.

Sesaat berselang, Gari pun beranjak, entah ke mana. 

Detik demi detik, aku terus menerka-nerka siapa yang telah mencuri uang di dalam lemari yang berada di kamar Om Kardi dan istrinya itu, yang merupakan uang hasil urunannya sekantor yang akan digunakan untuk bakti sosial. Awalnya, aku menuduh Gari. Tetapi setelah melihat sikapnya yang cukup tenang, aku mulai ragu. Kupikir, kalau ia memang pelakunya, sebagai anak berusia 9 tahun, sedari tadi ia akan menangis ketakutan dan mengakuinya. 

Karena itu, aku mulai menerka kemungkinan yang lain. Jikalau penyebab hilangnya seamplop uang di bawah lipatan pakaian itu bukan akibat pencurian oleh orang dari luar, bisa jadi biang masalahnya adalah Om Kardi sendiri, atau Tante Sumi, istrinya. Bisa jadi, salah satu dari mereka telah memindahkan posisi uang itu, atau bahkan telah membelanjakannya. Bisa jadi, mereka lupa. 

Aku sungguh berharap segera ada kejelasan. Kalau tidak, keberadaanku terancam. Bagaimanapun, aku hanya menumpang di rumah pamanku itu. Aku sadar, aku adalah orang luar dan wajar untuk tidak dipercayai di dalam rumah ini. Apalagi, Om Kardi mengatakan kalau sebelum-sebelumnya, tidak pernah terjadi pencurian uang di dalam kediamannya, seolah-olah ia menyindir kehadiranku. 

Baru dua bulan lebih aku menumpang di rumah Om Kardi. Sebelumnya, aku indekos. Tetapi biaya hidup untuk kuliah di kota, ternyata tidak sedikit. Jangankan untuk membayar sewa kos-kosan, untuk makan saja, aku mesti perhitungan. Apalagi, aku bukan orang berkecukupan. Ibuku hanya penjual sayur di pasar, sedang ayahku tukang bangunan yang telah meninggal dua tahun yang lalu. 

Atas ketidakberdayaan ekonomi itulah, ibuku lalu memintaku untuk tinggal dan membantu-bantu di rumah Om Kardi yang merupakan sepupu almarhum ayahku. Karena paham keadaan dan tak ingin membebani ibu, aku pun pasrah. Aku lalu bertandang dan menyampaikan keinginanku untuk menumpang. Beruntung, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja di pabrik garmen itu, menerimaku dengan baik.

"Kami sungguh senang kalau kau mau tinggal di rumah ini, Nak Nita. Hitung-hitung, Gari jadi punya teman," kata Om Kardi, saat kedatanganku waktu itu. 

Aku tersenyum dan bersyukur atas penerimaannya.

"Tetapi, ya, tentu, aku berharap kau menjadi teman yang baik dan memberi pengaruh positif untuknya. Karena kau sudah dewasa dan kuliah di jurusan keguruan, aku harapan kau turut mendidiknya," sambung Kardi, dengan raut penuh harap. "Terus terang, aku dan tantemu mencemaskan perkembangannya. Dia sudah kelas III SD, tetapi masih belum mahir membaca dan berhitung."

Tante Sumi pun mendengkus kalut. "Ya, itu terjadi karena ponsel pintar. Dua tahun lalu, ia merengek minta dibelikan ponsel yang canggih seperti milik teman-temannya. Akhirnya, karena kasihan, kami turuti. Terlebih, kami bepikir, ponsel itu akan menjadi penghiburan baginya agar tidak kesepian dan kelayapan ketika kami sedang tidak di rumah. Tetapi ternyata, ia malah jadi kecanduan main ponsel dan malas belajar."

Aku sontak tersenyum miris. "Begitulah anak-anak zaman sekarang, Tante. Hobinya main ponsel," tanggapku, sekenanya, dengan pemahaman atas kepelikan yang mereka hadapi.

"Tetapi, kau bisa mengatasi persoalan anak kami itu, kan? Maksudku, kau bisa membuatnya berhenti kecanduan main ponsel dan jadi giat belajar?" tanya Om Kardi, meminta kesanggupanku. 

Dengan kayakinan, aku pun mengangguk. "Akan kuupayakan, Om. Apalagi, itu memang terkait dengan keilmuan yang aku pelajari."

Mereka sontak tersenyum senang, seolah telah menemukan cara penyelesaian terkait permasalahan putra mereka itu. 

Demikianlah, sampai akhirnya aku menjadi bagian di dalam keluarga Om Kardi. Hari-hari, setiap kali tak ada jadwal kuliah, aku akan berada di rumah untuk menemani Gari belajar dan bermain. Aku memosisikan diri sebagai kakak yang perhatian untuknya. Aku senang melakukan itu sebagai balasan untuk Om Kardi dan istrinya yang telah bermurah hati merumahkanku.

Namun ternyata, mendidik anak-anak memang tidak gampang. Tidak semudah teori pendidikan yang kupelajari di bangku kuliah. Apalagi, Gari jelas anak yang liar. Aku bahkan harus menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahami sifatnya. Aku tidak mungkin sekonyong-konyong menyita ponselnya dan memaksanya belajar. Kalau begitu, dia pasti akan mengamuk. 

Sampai akhirnya, pada minggu kedua kebersamaan kami, aku mulai mampu mengambil hatinya dan mengendalikan emosinya. Aku perlahan berkawan dengannya. Aku sudah bisa membuatnya mengesampingkan ponselnya dan memerhatikan pelajarannya. Tetapi sayang, itu sering kali hanya berlangsung sebentar, hingga ia kembali larut dalam permainan layarnya. 

Setelah sekian lama berikutnya aku mengupayakan berbagai cara untuk membebaskannya dari godaan ponsel dan memikatnya untuk belajar, aku pun menyerah. Aku merasa itu hal yang mustahil. Ia sudah kecanduan. Karena itu, aku mulai berpikir untuk mengombinasikan hal tersebut, yaitu dengan mengajarinya lewat sarana ponsel. Kupikir, zaman memang telah berubah, dan sudah semestinya anak-anak dididik dengan teknologi, bukan dengan buku teks semata. 

Akhirnya, setelah perundingan demi perundingan, kami pun mencapai kompromi perihal pembelajaran dan permainan ponselnya. Hasilnya, ia mesti belajar dengan memainkan aplikasi membaca dan berhitung yang kupasangkan di ponselnya. Ia baru boleh memainkan gim pilihannya sendiri setelah ia berhasil menyelesaikan soal yang kuberikan sesuai target pembelajaran. 

Di luar itu, demi kebaikan bersama, kami juga menyepakati aturan lain, bahwa setelah permainan belajarnya selesai, tidak berarti ia bebas memainkan gim kesukaannya. Kami bersepakat bahwa selama ayah dan ibunya berada di rumah sepulang bekerja, ia harus bersikap baik dengan lebih banyak berurusan dengan buku-bukunya, dan hanya sesekali memainkan ponselnya.

"Ini kesepakatan, dan kita harus menjalankannya, demi kebaikan kita berdua di mata ayah dan ibumu," tuturku, setelah memahamkannya. 

"Baiklah. Percayalah padaku," tanggapnya, menyanggupi. 

"Baguslah kalau begitu. Kadang-kadang, kita memang perlu berdusta demi kebaikan bersama, dan itu tak mengapa," ujarku, meneguhkannya.

Ia lantas mengangguk-angguk sepakat.

Hari demi hari, kami pun melaksanakan kesepakatan itu dengan baik. Kami menjaganya sebagai rahasia dengan banyak berpura-pura. Kurasa, itu bukanlah cara yang buruk. Setidaknya, biarpun ia masih menggandrungi permainan ponselnya, tetapi tujuan pembelajaran untuk membuatnya mahir membaca dan berhitung, tetap tercapai.  

Kukira, membuat Gari mampu mengimbangi atau bahkan mengungguli kepintaran teman-temannya, juga merupakan target utama bagi Om Kardi dan istrinya. Kupikir, mereka berdua tak akan terlalu mempermasalahkan kalau Gari bermain-main ponsel, selama Gari bisa unggul di kelasnya. Dan itu tampaknya benar, sebab aku dan Gari akhirnya mendapatkan pujian atas keberhasilan kerja sama kami: 

"Kau memang jago menaklukkan kebandelan dan mengajari jagoanku ini. Aku melihat ia makin mahir membaca, menulis, dan berhitung. Nilai untuk tugas-tugas sekolahnya pun, makin bagus," puji Om Kardi, satu sore, sepulang kerja, ketika aku tengah menemani Gari mengerjakan PR-nya. 

"Itu karena Gari memang punya kemauan untuk belajar, Om," sangkalku, merendah diri.

Kulihat, Gari yang tengah menuliskan jawaban tugasnya, tampak senang. 

"Ah, kau memang andal. Kau calon guru yang berkualitas," tangkis Om Kardi.

Aku hanya tersenyum dengan perasaan bangga. 

Om Kardi lantas mengusap-usap kepala Gari. "Hebatnya lagi, aku lihat, jagoanku ini tak lagi kecanduan ponsel. Hanya sekali-kali saja ia memain-mainkan ponselnya."

"Itu karena sekarang, ia memang lebih suka belajar, Om," responsku, sekenanya. 

Gari lantas tergelak pendek. Ia lalu menatapku dengan menyuratkan pertanda kesenangan atas keberhasilan kami mengelabui ayahnya perihal aktivitas permainan ponselnya ketika sang ayah atau sang ibu sedang tidak di rumah.

"Syukurlah kalau begitu. Semoga adikmu ini menjadi anak yang cerdas dan berbudi luhur," tutur Om Kardi, semringah.

Aku mengangguk-angguk saja. 

Om Kardi kemudian berlalu. 

Dengan raut girang, Gari menggodaku dengan kedipan-kedipan matanya. 

Aku pun menghus agar ia berhenti menunjukkan gelagat yang bisa membongkar taktik rahasia kami. 

Diam-diam, atas kenyataan itu, aku merasa senang telah berhasil membuat Gari menjadi lebih pintar, serta membuat Om Kardi dan istrinya tidak lagi merisaukan aktivitas permainan ponselnya. Aku pun merasa berguna dan makin nyaman menumpang di rumah mereka. 

Namun hari ini, setelah peristiwa hilangnya seamplop uang di dalam lemari, aku khawatir kalau-kalau aku kehilangan kepercayaan sekaligus tempat tinggal. 

Hingga akhirnya, sekian lama berlalu, saat aku masih duduk di sofa dengan perasaan kacau, Om Kardi kembali menghampiriku, sembari memanggil Gari. Sejenak berselang, Gari pun datang dan duduk di sampingku. 

"Ini punya siapa?" tanya Om Kardi, sambil menunjukkan struk belanjaan dari sebuah minimarket. 

"Itu punyaku, Om," kataku, jujur, tanpa pikiran apa-apa.

Om Kardi mendengkus. "Ya, sudah, kau pelakunya. Aku menemukan ini di samping lemari penyimpanan uang itu. 

Seketika, perasaanku tersentak. Aku tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi. Pun, itu jelas mengada-ada dan tidak bisa menjadi bukti bahwa aku adalah pelakunya. Tetapi aku memang tidak bisa apa-apa. Aku hanya menumpang di rumahnya.

"Aku tidak mau tahu, sekarang, kau harus pergi dari rumah ini," vonis Om Kardi, dengan wajah memerah-marah. "Lebih baik anakku bodoh daripada nantinya menjadi seorang pencuri juga."

Tiba-tiba, air mataku menetes. Aku lalu melangkah menuju ke dalam kamarku untuk mengemas barang-barangku sebelum pergi. 

Tak lama kemudian, Gari datang menyusulku. Ia pun menangis.

"Tak usah menangis. Aku tidak apa-apa," kataku, menenangkannya.

Tetapi ia terus saja terisak. "Maafkan aku, Kak," tuturnya kemudian, lirih. 

Aku jadi bingung. "Maaf untuk apa? Kau tak punya salah kepadaku."

"Maaf, karena sebenarnya, akulah yang mengambil uang di lemari itu," terangnya. 

Sontak saja, aku terkejut hebat. 

"Kenapa kau lakukan itu?" sidikku, dengan suara berbisik tegas. “Katakan, untuk apa?”

"Tetapi Kakak janji jangan bilang kepada Ayah, ya. Aku takut Ayah marah besar," pintanya. 

Aku menggangguk saja.

"Ponselku hilang di sekolah. Jadi, aku mengambil uang itu untuk membeli ponsel baru dengan model yang sama," jelasnya, dengan tetap berurai air mata.

Aku seketika memahami persoalan uang itu, dan jadi sedikit tenang. Tetapi aku tidak bisa apa-apa selain menunaikan putusan Om Kardi. Mau tak mau, aku harus pergi. Kukira, Gari tak akan sanggup berkata jujur dan menerima hukuman dari ayahnya. 

Akhirnya, atas apa yang telah terjadi, aku tak akan menyesalkan apa-apa, kecuali bahwa aku telah mengajari Gari berdusta di hadapan orang tuanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar