Matahari
nyaris tenggelam di balik bukit. Sisa cahaya temaram yang tampak membias di
lembah-lembah. Menerpa pemukiman warga dan tumbuh-tumbuhan yang terhampar
sampai jauh. Maka kuputuskanlah untuk menyudahi pekerjaanku sore ini. Bergegas
menyusuri semak belukar, hingga sampai di rumah sebelum gelap. Meninggalkan kebun
kopi milikku yang sempit, sampai esok hari.
Di
persimpangan jalan, mataku kembali terpaku pada sebuah rumah tua yang agak menjauh
dari pemukiman ramai. Rumah yang tampak reyot dan lapuk. Di sana, kulihat lagi
sosok Darun yang hidup tanpa anak dan istri. Lelaki renta yang bertahan hidup
dari hasil kerja serabutan. Kadang jadi buruh pemetik kopi, penjual kayu bakar
dan sayur-mayur, hingga menjadi seorang tukang penggali kubur.
Rasa
prihatin melihat Darun termenung sendiri, menuntunku singgah sejenak. Niatku
hendak bercakap-cakap dengannya, agar ia merasa tak sendirian hidup di dunia.
Aku tak lupa memberinya dua sisir pisang yang kupanen dari kebun. Setidaknya,
itu bisa jadi tambahan pengganjal perutnya, setelah sekian lama ia hidup dengan
pangan seadanya, dengan hanya mengandalkan buah nangka di depan rumahnya. Tanpa
istri, jelas tak ada makanan yang layak.
Sebelum
kepergian istrinya, hidup Darun sebenarnya tak terlalu melarat. Istrinya adalah
sosok yang cerdas dalam urusan dapur. Tak perlu bahan-bahan mahal untuk meracik
makanan enak. Cukup memanfaatkan tanaman sayur-mayur di halaman rumahnya saja,
hidangan yang lezat, sudah bisa dihidangkan. Aku tahu itu, sebab dahulu, aku
sesekali mampir kala dipaksa mereka untuk singgah bersantap ria bersama.
Kini,
Darun yang hidup seorang diri di rumah sederhananya, benar-benar kesepian.
Apalagi, selama beristri, ia tak sekali pun dikaruniai anak. Padahal, kehadiran
sosok anak adalah harapan terbesarnya. Hingga pada sebelas tahun yang lalu,
istrinya pun menghilang entah ke mana. Meski segala upaya telah dilakukan untuk
menemukan sang istri, tetap saja tak ada tanda-tanda untuk menelusuri keberadaannya.
Dan,
semenjak kepergian istrinya, Darun sungguh banyak berubah. Fisiknya semakin tak
keruan. Kurus dan dekil. Tampak tak terurus. Begitu pun dengan perilakunya. Setelah
sang istri tak ada, perlahan-lahan, sifat emosionalnya mulai redam. Bahkan, ia
tak lagi berselera menyentuh tuak, keluyuran entah ke mana, berjudi, hingga
bermain-main dengan perempuan murahan di kota. Tapi itu bukan pertanda yang
baik, sebab ia malah jadi pemurung dan pendiam.
Berubahnya
kehidupan dan sikap Darun atas segala yang menimpanya, sontak mengubah reaksi
orang-orang terhadapnya. Warga desa tak dibuat risau lagi atas tingkahnya yang
beringas. Tak terdengar lagi suara bentakannya seperti dahulu, kala menghardik
istrinya yang hanya bisa mengangis dan menjerit kesakitan. Rumahnya benar-benar
senyap.
Kini,
Darun lebih sering terlihat merenung di depan rumahnya. Duduk di bawah pohon
nangka yang katanya, dahulu, ditaman oleh sang istri.
“Sepertinya,
hidupku tak lama lagi, Nak,” tutur Darun, sambil terbatuk-batuk, melepaskan
dahaknya. Wajahnya tampak kuyu dan penuh kepasrahan.
“Kenapa
bilang begitu, Pak?” tanyaku, penasaran.
“Aku
sudah siap menyusul istriku. Aku ingin meminta maaf padanya atas semua yang
telah kulakukan,” katanya, seakan-akan ia bisa memastikan bahwa istrinya telah meninggal.
Aku
pun berusaha membesarkan hatinya. “Jangan berpikiran begitu, Pak. Bapak harus
jaga diri, biar panjang umur. Berdoalah, agar suatu saat, istri Bapak datang
kembali.”
Ia
hanya terdiam. Seperti menganggap saranku seperti tak akan membuahkan hasil
apa-apa.
Beberapa
detik berselang, ia pun mengungkapkan permintaan anehnya. “Nak, aku pesan, kalau
aku sudah meninggal, kuburkanlah aku tepat di bawah pohon nangka ini, di
samping batu ini,” pintanya, sambil menunjuk pada sebongka batu berukuran
kepala manusia.
Aku
menoleh padanya, menyiratkan tanya yang terpendam atas permintaannya itu.
“Aku
ingin dekat dengan istriku,” sambungnya. “Tolong, laksanakanlah pesanku ini
ketika ajalku sampai.”
Aku
mengguk saja, dengan dugaan bahwa alasan permintaannya itu karena ia ingin jasadnya
dinaungi oleh sebuah pohon nangka peninggalan istrinya, yang ia anggap sangat
berarti dalam hidupnya.
Tak
lama berselang aku pun pamit, bergegas pulang ke rumah. Hingga esok paginya,
kusaksikanlah bukti bahwa kata-katanya, memang tak mengada-ada. Setelah aku hendak
menitipkan sarapan pagi untuknya, di tengah perjalanan menuju kebun, kutemukan
ia tergeletak di tengah rumahnya sendiri, tak bernyawa.
Dan,
untuk prosesi penguburan sebelum tengah hari, kusampaikanlah pesannya kepada
para warga, agar ditunaikan dengan baik. Liang kuburnya pun dibuat tepat di
titik yang ia tunjukkan padaku sehari sebelumnya. Dan betapa kagetnya aku, juga
segenap warga, sebab di balik tanah yang dipintanya, ditemukan tulang-belulang
sesosok manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar