Kamis, 13 April 2017

Segitiga

Masih pagi sekali, Sugiro berjalan-jalan di sekeliling kompleks, di sekitar rumah sederhannya berdiri. Ia berlari-lari kecil sembari meregangkan ototnya. Menunggu matahari sedikit meninggi, saat ia harus berangkat ke pasar, menjual sayur-mayur dari ladang sempit miliknya sendiri. Begitulah rutinitasnya setiap hari, termasuk di hari libur.
 
Setelah keringatnya berjatuhan, Sugiro pun menghentikan olahraganya. Ia lalu duduk di sebuah kursi, di depan rumahnya, sembari menghangatkan badan di bawah terpaan sinar matahari pagi. Dan kembali lagi, ia menyaksikan Doni Sumarjan, lelaki yang kaya raya, seorang pengusaha tambang, juga menyendiri di teras rumahnya.

Dari jarak 15 meter, di selang rumah mereka yang berhadap-hadapan, Sugiro hanya memandangi Doni di sela-sela terali pagar dengan pikiran yang aneh.  Beberapa bulan yang lalu, entah kenapa, tetangganya itu berubah jadi pendiam. Padahal bertahun-tahun hidup sebagai tetangga, Sugiro tahu betul watak Doni sangat tenang, murah senyum, dan gemar menyapa lebih dahulu.

Dan kini, keadaan berubah. Sekitar sepuluh menit berlalu, mereka tak juga saling menyapa. Doni tak kunjung menunjukkan raut wajah bersahabat. Ia hanya memandang kosong, ke sisi yang berbeda dengan Sugiro. Di sisi lain, Sugiro merasa segan jika harus memulai percakapan terlebih dahulu. Ia khawatir menggangu ketenangan tetangganya itu. 

Sugiro memang sangat menghormati sosok Doni. Pasalnya, Doni sering berlaku derma padanya. Mungkin karena itulah, komunikasi mereka, tak terlalu mencair. Masih ada keseganan di hati Sugiro. Ditambah lagi, mereka tak selalu berjumpa setiap hari, sebab Doni keseringan menghabiskan waktunya di luar kota. Namun di luar kekakuan itu, mereka tak pernah ada masalah sedikit pun.

Setelah merasa yakin bahwa pagi ini akan berlalu tanpa obrolan yang hangat lagi, Sugiro  pun berdiri. Ia berencana untuk mandi, sarapan, dan mempersiapkan diri menuju pasar. Tapi sebelum Sugiro benar-benar pergi, Doni menyahut, mengajaknya untuk duduk bersama, menikmati hidangan pagi yang mewah.

Sugiro menurut.

“Usahamu baik-baik saja, Sugi?” tanya Doni.

“Ya, seperti biasa, Pak. Hasilnya cukuplah untuk kebutuhan saya dan istri,” jawabnya, tanpa bertanya balik. Ia takut menuturkan pertanyaan yang tak sopan, dan malah membuat tetangganya itu tersinggung, terutama tentang perubahan sikap Doni.

“Syukurlah kalau begitu. Tapi ini, ada sedikit uang untuk kebutuhan Bapak. Ambillah. Aku mohon, jangan ditolak. Apalagi, Bapak membutuhkan uang lebih untuk kebutuhan istri Bapak yang sedang hamil,” tawarnya, terkesan menekan.

Dengan perasaan sungkan, Sugiro pun menyambut sebuah amplop berisi uang, yang ketebalannya melebihi yang biasa. Ia tak kuasa menolak. Apalagi, ia sadar sendiri akan kebutuhannya menjaga kesehatan sang istri, demi keselamatan jabang bayinya kelak, yang telah ia nanti selama sepuluh tahun. “Terima kasih, Pak,” tuturnya. 

“Iya, sama-sama,” balas Doni, sembari tersenyum singkat. “Oh, iya, bilang ke istri Bapak, tak usah lagi datang kerja ke sini untuk sementara waktu. Sampai nanti selesai melahirkan. Istriku sudah setuju.”

Mulut Sugiro seperti tersekat menyaksikan kebaikan Doni yang beruntun. “Baiklah kalau begitu, Pak. Terima kasih. Nanti aku sampaikan padanya.”

Doni mengangguk-angguk lagi. Setelah berlalu beberapa detik, ia pun menuturkan sesuatu yang aneh. “Maafkan kalau selama ini, aku ada salah pada Bapak, baik yang kasat mata atau pun tidak.”

Sugiro tersenyum. “Kenapa berkata seperti itu, Pak? Jelas saja, Bapak tak punya salah apa-apa padaku. Sebaliknya, akulah yang banyak salah sama Bapak, yang suka merepotkan.”

Doni kembali melayangkan senyuman singkat. “Aku ini, sebenarnya orang kotor, Pak. Bahkan, aku malu pada diriku sendiri. Bapak tak tahu saja apa kesalahanku.”

Sugiro tertawa. “Bapak bisa saja.”

Doni turut melepaskan tawanya yang singkat. Tak berselang lama, ia kembali menuturkan sesuatu yang aneh, “Oh iya, aku punya pertanyaan penting untuk Bapak,” suaranya tertahan sejenak, “Kira-kira, apa yang sebaiknya kulakukan pada seorang lelaki yang bermain serong dengan istriku?” tanya Doni dengan raut wajah yang serius.

“Apa istri Bapak…?” Sugiro tak kuasa memperjelas pertanyaannya.

“Tidak. Aku percaya padanya. Aku hanya ingin bertanya,” jelas Doni.

Sugiro butuh beberapa detik untuk menuturkan jawabanya. “Kalau menurutku, siapa pun lelaki yang menyayangi istrinya, tak akan rela melihat selingkuhan istrinya hidup,” kata Sugiro, sebuah jawaban yang muncul dari lubuk hatinya.

Lagi-lagi, Doni hanya melayangkan senyuman singkatnya, dengan tatapan yang menyimpan beribu tanya.

Setelah melalui sedikit basa-basi, obrolan mereka, kemudian berakhir.

Waktu pun, berjalan cepat. Menjelang tengah malam, Sugiro mendengar jeritan dari rumah Doni. Jeritan keras yang diikuti isak tangis. Sugiro menebak, itu berasal dari istri Doni.
 
“Tolong…” seru suara perempuan itu. 

Dengan sigap, Sugiro pun bergegas memberi pertolongan. Hingga sesampainya di sana, Sugiro pun menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Doni terbujur kaku dengan leher yang terikat dan menggantung pada seutas tali.

Sugiro sungguh heran dan terkejut. Rasa-rasa berkecamuk dalam batinnya. Ia jelas tak pernah menduga tentang apa yang disaksikannya. Ia tak akan pernah tahu bagaimana itu bisa terjadi. Tapi sedikit kesadarannya menduga kalau peristiwa tragis itu, berhubungan dengan obrolan mereka pagi tadi.

Tak berselang lama, istri Sugiro pun datang menyusul. Ia tiba dengan raut wajah yang maknanya sulit ditafsir. Ia datang bersama perutnya yang mulai membusung, yang berhasil mengandung bakal anak setelah Sugiro dicap mandul, tak subur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar