Masih
pagi sekali, Sugiro berjalan-jalan di sekeliling kompleks, di sekitar rumah
sederhannya berdiri. Ia berlari-lari kecil sembari meregangkan ototnya.
Menunggu matahari sedikit meninggi, saat ia harus berangkat ke pasar, menjual
sayur-mayur dari ladang sempit miliknya sendiri. Begitulah rutinitasnya setiap
hari, termasuk di hari libur.
Setelah
keringatnya berjatuhan, Sugiro pun menghentikan olahraganya. Ia lalu duduk di
sebuah kursi, di depan rumahnya, sembari menghangatkan badan di bawah terpaan
sinar matahari pagi. Dan kembali lagi, ia menyaksikan Doni Sumarjan, lelaki yang
kaya raya, seorang pengusaha tambang, juga menyendiri di teras rumahnya.
Dari
jarak 15 meter, di selang rumah mereka yang berhadap-hadapan, Sugiro hanya memandangi
Doni di sela-sela terali pagar dengan pikiran yang aneh. Beberapa bulan yang lalu, entah kenapa,
tetangganya itu berubah jadi pendiam. Padahal bertahun-tahun hidup sebagai
tetangga, Sugiro tahu betul watak Doni sangat tenang, murah senyum, dan gemar
menyapa lebih dahulu.
Dan
kini, keadaan berubah. Sekitar sepuluh menit berlalu, mereka tak juga saling
menyapa. Doni tak kunjung menunjukkan raut wajah bersahabat. Ia hanya memandang
kosong, ke sisi yang berbeda dengan Sugiro. Di sisi lain, Sugiro merasa segan
jika harus memulai percakapan terlebih dahulu. Ia khawatir menggangu ketenangan
tetangganya itu.
Sugiro
memang sangat menghormati sosok Doni. Pasalnya, Doni sering berlaku derma
padanya. Mungkin karena itulah, komunikasi mereka, tak terlalu mencair. Masih ada
keseganan di hati Sugiro. Ditambah lagi, mereka tak selalu berjumpa setiap
hari, sebab Doni keseringan menghabiskan waktunya di luar kota. Namun di luar
kekakuan itu, mereka tak pernah ada masalah sedikit pun.
Setelah
merasa yakin bahwa pagi ini akan berlalu tanpa obrolan yang hangat lagi,
Sugiro pun berdiri. Ia berencana untuk mandi,
sarapan, dan mempersiapkan diri menuju pasar. Tapi sebelum Sugiro benar-benar
pergi, Doni menyahut, mengajaknya untuk duduk bersama, menikmati hidangan pagi
yang mewah.
Sugiro
menurut.
“Usahamu
baik-baik saja, Sugi?” tanya Doni.
“Ya,
seperti biasa, Pak. Hasilnya cukuplah untuk kebutuhan saya dan istri,”
jawabnya, tanpa bertanya balik. Ia takut menuturkan pertanyaan yang tak sopan,
dan malah membuat tetangganya itu tersinggung, terutama tentang perubahan sikap
Doni.
“Syukurlah
kalau begitu. Tapi ini, ada sedikit uang untuk kebutuhan Bapak. Ambillah. Aku
mohon, jangan ditolak. Apalagi, Bapak membutuhkan uang lebih untuk kebutuhan
istri Bapak yang sedang hamil,” tawarnya, terkesan menekan.
Dengan
perasaan sungkan, Sugiro pun menyambut sebuah amplop berisi uang, yang
ketebalannya melebihi yang biasa. Ia tak kuasa menolak. Apalagi, ia sadar sendiri
akan kebutuhannya menjaga kesehatan sang istri, demi keselamatan jabang bayinya
kelak, yang telah ia nanti selama sepuluh tahun. “Terima kasih, Pak,” tuturnya.
“Iya,
sama-sama,” balas Doni, sembari tersenyum singkat. “Oh, iya, bilang ke istri
Bapak, tak usah lagi datang kerja ke sini untuk sementara waktu. Sampai nanti
selesai melahirkan. Istriku sudah setuju.”
Mulut
Sugiro seperti tersekat menyaksikan kebaikan Doni yang beruntun. “Baiklah kalau
begitu, Pak. Terima kasih. Nanti aku sampaikan padanya.”
Doni
mengangguk-angguk lagi. Setelah berlalu beberapa detik, ia pun menuturkan
sesuatu yang aneh. “Maafkan kalau selama ini, aku ada salah pada Bapak, baik
yang kasat mata atau pun tidak.”
Sugiro
tersenyum. “Kenapa berkata seperti itu, Pak? Jelas saja, Bapak tak punya salah
apa-apa padaku. Sebaliknya, akulah yang banyak salah sama Bapak, yang suka
merepotkan.”
Doni
kembali melayangkan senyuman singkat. “Aku ini, sebenarnya orang kotor, Pak. Bahkan,
aku malu pada diriku sendiri. Bapak tak tahu saja apa kesalahanku.”
Sugiro
tertawa. “Bapak bisa saja.”
Doni
turut melepaskan tawanya yang singkat. Tak berselang lama, ia kembali
menuturkan sesuatu yang aneh, “Oh iya, aku punya pertanyaan penting untuk
Bapak,” suaranya tertahan sejenak, “Kira-kira, apa yang sebaiknya kulakukan
pada seorang lelaki yang bermain serong dengan istriku?” tanya Doni dengan raut
wajah yang serius.
“Apa
istri Bapak…?” Sugiro tak kuasa memperjelas pertanyaannya.
“Tidak.
Aku percaya padanya. Aku hanya ingin bertanya,” jelas Doni.
Sugiro
butuh beberapa detik untuk menuturkan jawabanya. “Kalau menurutku, siapa pun
lelaki yang menyayangi istrinya, tak akan rela melihat selingkuhan istrinya
hidup,” kata Sugiro, sebuah jawaban yang muncul dari lubuk hatinya.
Lagi-lagi,
Doni hanya melayangkan senyuman singkatnya, dengan tatapan yang menyimpan
beribu tanya.
Setelah
melalui sedikit basa-basi, obrolan mereka, kemudian berakhir.
Waktu
pun, berjalan cepat. Menjelang tengah malam, Sugiro mendengar jeritan dari
rumah Doni. Jeritan keras yang diikuti isak tangis. Sugiro menebak, itu berasal
dari istri Doni.
“Tolong…”
seru suara perempuan itu.
Dengan
sigap, Sugiro pun bergegas memberi pertolongan. Hingga sesampainya di sana,
Sugiro pun menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Doni terbujur kaku dengan
leher yang terikat dan menggantung pada seutas tali.
Sugiro
sungguh heran dan terkejut. Rasa-rasa berkecamuk dalam batinnya. Ia jelas tak
pernah menduga tentang apa yang disaksikannya. Ia tak akan pernah tahu bagaimana
itu bisa terjadi. Tapi sedikit kesadarannya menduga kalau peristiwa tragis itu,
berhubungan dengan obrolan mereka pagi tadi.
Tak
berselang lama, istri Sugiro pun datang menyusul. Ia tiba dengan raut wajah
yang maknanya sulit ditafsir. Ia datang bersama perutnya yang mulai
membusung, yang berhasil mengandung bakal anak setelah Sugiro dicap mandul, tak
subur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar