Dua
hari yang lalu, aku masih sempat menemuinya di bangku taman kampus, tepat di
hari wisudanya.
“Selamat,”
ucapku, sambil menyalami tangannya.
Dia
tersenyum bahagia. “Terima kasih. Cepatlah menyusul.”
Aku
balas tersenyum. “Iya. Akan kusegerakan,” kataku, lalu menyodorkan sebuah
boneka kucing berukuran kecil padanya. Benda itu kumaksudkan sebagai
kenang-kenangan, sebelum ia benar-benar pergi. “Terimalah,” pintaku.
Seketika,
ia tampak keheranan. Dengan sikap segan, tangannya perlahan menyambut
pemberianku. “Oh, aku tahu maksudmu,” tuturnya, sembari tertawa pendek. Ia pun pergi,
berlalu dengan tingkah yang menggemaskan.
Aku
yang sebenarnya bermaksud memperjelas sesuatu yang sangat serius, hanya berdiri
mematung. Nyaris saja kututurkan isi hati yang telah kupendam selama dua tahun
lebih. Tapi lagi-lagi, lidahku kelu waktu itu. Hingga sore harinya, ia pun pergi ke kota seberang, di tempat yang jauh, tanpa
mengabariku.
Seharusnya,
semua telah berakhir sejak kepergiannya tanpa pamit. Sudah semestinya aku tak
bertanya-tanya lagi tentang bagaimana perasaannya padaku. Tak perlu lagi aku
mencemaskan atau merindukannya. Apalagi, nanti, di rentang waktu yang panjang sejak
kami berpisah, aku yakin ia akan dipertemukan dengan lelaki lain, yang lebih
baik untuknya.
Tapi
melupakan, jelas tak semudah mengingat. Aku masih ragu, akan bisa melepaskan
diri dari bayang-bayangnya. Tentang caranya terdiam dan bertingkah, semua masih
membekas di memoriku. Bahkan aku masih mengingat jelas tentang empat buah tahu
lalat di wajahnya. Semua terukir begitu dalam, dan mungkin akan kubawa sampai
mati.
Kini,
aku benar-benar hidup dalam kebodohan. Mengenang kisah yang tak pernah
disepakati sebagai cerita bersama. Mungkin, aku saja yang menganggap
kebersamaan kami berdua begitu penting. Aku saja yang terlalu melebih-lebihkan
kenyataan. Sedangkan dia, mungkin menganggap semuanya biasa saja, hingga
kenangan itu, menyaru di benaknya, kelak.
Atas
kenangan yang masih memerangkapku, dia jelas tak pantas disalahkan. Semua
kesalahan, ada pada diriku. Akulah lelaki pengecut yang menggantung perasaan di
antara waktu-waktu yang tak menentu. Akulah lelaki pendusta yang tak berani mengakui
isi hati di hadapan wanita yang terpuja. Hingga semua berubah menjadi bumerang
bagiku.
Entah
sampai kapan aku harus begini. Mungkin sepanjang waktu, selama aku masih memendam rasa yang
tak terucap. Sebuah rasa yang membuat kisahku dengannya, tak pernah benar-benar
dimulai, juga tak pernah benar-benar berakhir. Mengambang di antara tanda
tanya, hingga nanti kami berjumpa lagi, lalu memperjelas kisah yang tertunda.
Dan
sore ini, kala aku masih merenungi nasibku, kau, salah satu teman baikku selain
dirinya, datang menghampiri. Wajahmu terlihat sangat ceria, sebagaimana
dirinya, mahasiswa yang baru saja menanggalkan status sebagai mahasiswa. “Hai,”
sapamu dengan suara manja. “Lagi bikin apa? Kok bengong sendiri?”
Aku
menoleh padamu. Dan sebagai teman baik, sebisa mungkin aku tampil antusias.
“Tak lagi apa-apa. Aku hanya memikirkan kapan aku akan diwisuda juga.”
Kau
pun tertawa. “Kau semangat saja. Selama tekun mengurus, semua akan berjalan
dengan baik,” katamu, tampak berusaha menyemangatiku. “Oh, iya, kau belum
secara langsung memberiku selamat.”
Lagi-lagi,
aku harus pura-pura memampang wajah cerah. “Baiklah, selamat!”
“Itu saja?” tanyamu.
“Memangnya, harus apalagi?” Aku balik
bertanya.
“Malam
ini, aku akan pergi ke kota seberang. Artinya, kita akan berpisah. Kau tak
ingin mengucapkan kata-kata yang lebih berarti daripada itu?” tanyamu lagi. Kau
pun tampak sangat serius menunggu jawaban dariku.
Jelas,
aku tak paham arah pembicaraanmu. “Maksudmu?”
“Maksudku…,”
suaramu tertahan sejenak. “Maksudku, setelah sekian lama kita bersama, apakah
perasaanmu… Apakah kau tak merindukanku saat aku jauh di sana?”
“Jelas
saja aku merindukanmu. Sebagai teman baik, aku tak akan melupakanmu,” balasku.
“Hanya
itu?” Sikapmu tampak semakin aneh.
“Ya,
memang harusnya seperti itu. Memangnya, kau ingin aku bagaimana?” tanyaku kembali.
Tanpa
berkata-kata lagi, kau pun pergi, meninggalkan aku seorang diri, bersama sebuah
boneka yang keberikan padanya kemarin, pada dia, teman baik kita.
Perlahan,
aku pun tahu bagaimana rumitnya persahabatan di antara kita bertiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar