Kita
bertemu tanpa rencana. Satu kemungkinan di antara berjuta ketidakmungkinan kita
bertemu, tapi satu kemungkinan itulah yang terwujud. Entah bagaimana deretan
sebab-akibat itu, sampai akhirnya kau dan aku dipertemukan dalam satu ruang dan
waktu. Menjebak kita untuk saling mengindrai dan berbagi kesan. Dan pada titik
itulah, cerita panjang tentang kita, bermula.
Tepatnya,
di satu kelas, kita dipersatukan. Di satu ruang yang akhirnya menjadi ladang
kita untuk menanam dan menumbuhkan perasaan yang sama. Bertemu untuk satu
alasan yang masuk akal dan wajar, tapi di baliknya, kita punya alasan yang tak
bisa diperhitungkan dengan logika: tentang perasaan. Sebuah keanehan yang
selalu kita tutup-tutupi dengan tampilan sewajarnya.
Seiring
waktu, kita pun gemar mencari-cari alasan untuk berbagi pesan dan kesan. Hal-hal
kecil, sering kali kita besar-besarkan. Mengarang masalah sebagai bekal bertutur-sapa.
Dan persoalan kuliahlah yang paling sering kita bicarakan. Entah karena tak
tahu atau cuma pura-pura lupa, kita selalu suka saling menanyai tentang jadwal
dan tugas perkuliahan.
Aku
tak akan pernah lupa, pada malam yang terlewati, saat kita mengobrol di balik
layar masing-masing. Kala obrolan tentang perkuliahan sudah terlalu basi, kita
pun berkirim pesan yang tak penting. Hanya berkirim tanda-tanda baca atau
ikon-ikon tanpa henti. Seakan-akan tak tega mengakhiri pesan, meski jelas tak
ada lagi yang perlu kita obrolkan.
Tanda-tanda
bahwa kita memendam perasaan yang sama, tak lantas mempertegas hubungan kita
dalam istilah apa-apa, selain pertemanan dengan makna yang lebih dalam.
Apalagi, kau hanya kuasa menunjukkan kepedulian dan kebutuhanmu padaku.
Sedangkan aku, hanya bisa melakukan apa yang kau minta, tanpa tujuan lebih
jauh. Hanya begitu.
Dan,
dalam aksi kita menyembunyikan perasaan, kurasa, aku lebih tahan banting
dibanding dirimu. Jika kuhitung-hitung, kaulah yang lebih menampakkan
perasaanmu padaku. Setidaknya, itu dapat kubaca dari seringnya kau memohon
bantuan padaku. Memintaku mengantarmu ke sana-sini. Atau setidaknya, kaulah
yang lebih sering memancing percakapan di antara kita.
Sikap
rapuh dan manjamu sebagai wanita, jelas tak pernah kupermasalahkan. Sebagai
seorang lelaki, aku malah merasa berarti tiap kali kau butuh padaku. Aku merasa
bangga jadi seorang pengayom yang mampu mendamaikanmu. Sungguh, atas kegilaan
itu, aku rela menjadi pesuruh bagimu. Apa pun akan kulakukan, meski penghambaanku,
tak pernah terucap di hadapanmu.
Sampai
datanglah waktu, saat kau merasa perlu menumpahkan emosimu padaku untuk alasan
yang sepele. Kala itu, aku tak hadir di kampus sehari sebelumnya, tanpa
mengabarimu tentang sebabnya. Kurasa, kau tak perlu tahu. Namun bagimu, tidak. Itu
penting. Seketika, kau pun menghampiriku di pelataran kampus dengan raut wajah
muram, saat kita harusnya beranjak ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas
kuliah.
“Aku
tak paham denganmu, Rayi!” katamu, terlihat sangat kecewa. “Setidaknya, kalau
pun kau masih menganggapku sebagai teman, sampaikanlah jika kau ada masalah!”
“Aku
hanya tak ingin membuatmu khawatir,” balasku, tenang.
Kau
malah terihat kesal. “Tapi aku butuh tahu, Ray.”
“Kurasa
kau tak perlu tahu. Itu hanya masalah kecil,” kataku.
Sorot
matamu, tiba-tiba senyap. “Kau tahu, selama ini, aku selalu menyampaikan
keperluanku padamu. Segala sesuatu, selalu kubicarakan denganmu. Itu karena aku
ingin memosisikan dirimu sebagai teman baik.”
Aku
hanya terdiam. Mematung. Tak menyangka kalau kau akan seemosional itu.
“Dan
kau…? Aku tahu sekarang, kau tak benar-benar membutuhkanku. Kau tak
menganggapku siapa-siapa. Dan harusnya, aku tahu itu sejak dulu!” katamu,
kemudian lekas membelakangiku, pergi bersama rasa kecewamu yang mendalam,
meniggalkanku bersama sebuah pulpen yang jatuh dari sela-sela bukumu.
Seketika,
setelah kejadian itu, aku pun sadar tentang satu hal, bahwa aku salah telah
membuat dirimu merasa tak berharga di sampingku. Aku salah telah berlaku egois
selama ini. Aku salah, sebab merasa bisa mengatasi masalah seorang diri, lalu mengabaikan
arti penting kehadiranmu. Aku salah.
Tak
lama berselang setelah kau meluruhkan semua kekesalanmu padaku, pada seorang
lelaki hanya bisa diam menunggu waktu yang entah kapan untuk menyatakan
perasaan, kudengarlah kabar yang membuatku terenyuh: kau telah terikat dalam
hubungan yang lebih dari persahabatan dengan seseorang lelaki.
Aku
benar-benar tak menduga, semua akan berlalu secepat itu. Bahkan sampai kini,
aku masih belum percaya bahwa kau telah menghapus tentangku di memorimu. Dengan
segenap kepercayaan diriku yang buta, aku selalu merasa kau hanya berusaha
membuatku cemburu. Kau hanya berusaha membuatku menyesal, agar aku bertindak
untuk merenggutmu kembali.
Tapi
semua telah terjadi. Aku terlambat. Dan keterlambatan itulah yang paling menyakitkan.
Sakit bukan karena rasa yang terabaikan. Bukan pula karena rasa yang tertolak.
Lebih dari itu. Sakit ini, karena aku harus menyimpan harapan yang tak
tersampaikan. Ada sesal yang kusimpan sendiri, sebab tak sempat jujur padamu, sedangkan
kau tak akan pernah memintaku lagi.
Dan
kala masih berada di sela-sela waktu menyembuhkan lukaku, kutemukan dirimu
tengah duduk sendiri di sebuah bangku, di perpustakaan kampus. Aku pun
pasrah untuk benar-benar mengakhiri segalanya. Kuhampirilah dirimu untuk
mengadakan obrolan perpisahan. Kuharap dengan begitu, kita bisa saling
merelakan.
‘Hai,
bagaimana kabarmu?” tanyaku, berusaha tampil sebiasa mungkin.
Kau
lalu menoleh padaku, kemudian melemparkan senyuman sepintas. “Baik,” balasmu,
tanpa bertanya kembali.
Suasana
di antara kita pun, menjadi dingin. Menit-menit berlalu, sedangkan kita hanya
saling mendiamkan dengan membaca buku masing-masing. Kita sepertinya bingung
menemukan bahan perbincangan yang pantas.
Kau
hanya menunduk.
Di
hadapanmu, aku hanya berani sesekali menengadah. Bermaksud menemukan isyarat di
raut wajahmu, bahwa hubungan kita masih bisa dirajut kembali.
“Hai,
ayo. Sudah waktunya kita pulang. Aku ada urusan sore nanti,” tutur seorang
lelaki di yang tiba-tiba muncul di samping kita. Seorang lelaki yang kumaksud telah merenggut hatimu dariku.
Melihat
cara kalian saling bercakap, benar-benar membuatku cemburu. Seketika, hasratku
pun meninggi untuk segera menjebak diriku sendiri pada diri yang lain juga, agar aku
tak terperangkap pada kenangan bersamamu sepanjang waktu.
Dengan lirikan sepintas ke arahku, kau pun bergegas mengiringi dia yang telah menjauh beberapa langkah.
“Reni,
tunggu. Ada sesuatu yang ingin kukembalikan padamu,” tuturku, kemudian menyibak
seisi tasku. “Ini pulpenmu. Suatu hari, kau meninggalkannya di depanku,”
tuturku, segan, tanpa kuasa menjelaskan kapan tepatnya aku menemukan pulpen
itu.
Dengan
sikap yang kaku, kau pun menyambut sodoranku. “Terima kasih,” balasmu dengan mimik
yang asing, seakan-akan keputusanku itu adalah sebuah keanehan. Kau tersenyum
lagi, kemudian menunduk dengan dua sisi hidungmu yang kembang-kempis. Kau tampak
berusaha mengalihkan bola matamu di balik kacamata, yang tiba-tiba jadi pemalu.
Dalam hitungan detik, kau pun pergi, meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya
tentang perasaanmu yang sesungguhnya padaku.
Dan
kurasa, wajar jika kau merasa aneh dengan sikapku mengembalikan pulpen itu,
sebuah benda kecil yang tidak terlalu berharga. Tapi bagiku itu penting. Jelas,
aku tak ingin menulis luka-lukaku tentangmu, tentang kisah kita yang memilukan, dengan segala sesuatu yang telah kau tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar