Sekian
lama berada dalam hubungan persahabatan, aku jadi bertanya-tanya tentang isi
hatimu. Apalagi, kau memang tak suka mengumbar isyarat untuk menggambarkan
bentuk perasaanmu selama ini. Entah padaku yang pengecut, atau pada lelaki lain
yang suka menggodamu, kau senantiasa bersikap tak acuh. Sungguh, kau sosok
perempuan yang sulit ditebak.
Aku
tak tahu persis, kapan aku mulai berhasrat mencampuri urusan hatimu. Semua
terjadi begitu saja. Terjadi saat kedekatan kita begitu erat, hingga aku takut
seseorang merenggutmu dan kau pun pergi meninggalkanku begitu saja. Ya, kurasa semua
itu terjadi karena aku telah melalui waktu yang panjang bersamamu, hingga kenangan
pun mengikat hatiku sendiri, padamu.
Sejak
perasaan tak keruan itu muncul, bayang-bayangmu selalu hadir menghias
imajinasiku setiap malam. Bergentayangan di khayalku saat terjaga, dan bermain
di mimpiku saat terlelap. Kau tak pernah jauh, apalagi lenyap, meski ragamu tak
pernah benar-benar kudekap, kecuali pada momen yang mungkin kau anggap biasa
saja. Itu sungguh ironis.
Nuansa
kelabu, akhirnya kujalani dalam waktu-waktu yang panjang. Menyendiri di kamar
sepi, sambil menerka-nerka isi hatimu. Mengharapkanmu hadir di sampingku, sedang
aku tak berani memintamu secara langsung. Hanya menginginkanmu dalam diam. Hanya
bisa mengirimkan sejuta pesan batin yang tak akan sampai padamu seumur dunia.
Tapi
sekarang, keadaannya berbeda. Malam ini, deru hatiku semakin mengencang. Perasaan
yang kupendam, berubah jadi hantu yang begitu menyeramkan. Seketika, aku jadi
takut membuka pintu kamar. Takut jika kau tiba-tiba datang menghampiriku. Aku
juga takut mengecek telepon genggam. Takut jika kau mengirikanku pesan yang tak
terkira.
Serangan
batin ini, terjadi karena kelancanganku sendiri. Sore tadi, aku nekat
menyisipkan pesan di sela-sela buku bacaanmu. Pesan di secarik kertas itu,
berisi curahan hatiku. Kutuliskan kalau aku menginginkammu lebih dari sekadar
sahabat, sejak lama. Dan aku yakin, malam ini, kala kau tengah membaca bukumu
lagi, kau akan menemukan pesan itu.
Jelas,
kelancangan itu kulakukan karena aku tak ingin dipecundangi lelaki lain. Tak
ingin jadi pemendam selamanya, dengan nasib yang memprihatinkan. Meski sekarang
kusadari, rasa galau di antara dua jawaban yang belum pasti, lebih menyiksa
dibanding memendam. Jika dahulu perasaan yang kupendam menjadi urusanku sendiri,
kini perasaanku jadi urusanmu juga, setelah aku mengungkapkannya.
Atas
kelancanganku yang terlajur, aku pun harus melewati malam yang panjang dengan harap-harap
cemas. Berharap kau segera mengirimkan respons seperti yang kuinginkan. Tapi di
sela ketegangan itu, timbul juga rasa cemasku, jika kau mengirimiku jawaban
yang kutakutkan, sebuah jawaban bahwa kau tak membalas perasaanku dengan setimpal.
Tapi
sepanjang malam yang kulalui dengan pertempuran batin, hingga aku terlelap
dalam penantian, berlalu saja tanpa jawabanmu. Pagi-pagi, kala aku terjaga, tak
ada satu pun pesan darimu. Maka, sesi waktu yang menegangkan pun berlanjut. Aku
harus menghadapimu hari ini dengan perasaan yang tak sewajarnya lagi.
Siang
hari menjelang, kita pun bertemu dan saling berhadapan di kantin kampus. Perasaanku
sungguh berkecamuk. Tapi sebagaimana baiknya, aku tak ingin terlihat bermasalah.
Apalagi, aku yakin, kau juga merasakan kekalutan yang sama. Kuduga, kau
hanya menyembunyikannya. Bahkan bisa
jadi, kau hanya pura-pura tak tahu tentang pesan itu, dan berharap aku mengungkapkannya
secara langsung.
“Kamu
kok hanya diam? Ada masalah apa? Biasanya kau tak sekalem ini,” tanyamu lebih
dulu.
Aku
menoleh padamu dengan segan. “Tak ada apa-apa.”
Kau
mengelak. “Kau jangan bohong. Pasti ada apa-apa. Aku mengenalmu sejak lama. Dan
aku tahu, kau tak pernah menghadapiku dengan sikap dan mimik yang kaku seperti
itu,” tegasmu. “Ceritalah kalau ada masalah.”
Aku
menggeleng dengan kebodohanku, meski kutebak, kau mencoba mengarahkanku pada
pembahasan inti. Kau coba menggiringku, memojokkanku, agar aku jujur saja
tentang perasaanku padamu. Tapi, lagi-lagi, mentalku belum siap. “Kau tak usah
khawatir secara berlebihan. Aku baik-baik saja.”
Kau
pun terlihat kecewa melihat tingkahku yang mungkin penuh rahasia di matamu.
Akhirnya,
aku coba mengurai rahasia hatimu secara perlahan. “Oh iya, buku yang kau baca kemarin
sepertinya bagus, apa kau sudah selesai membacanya?”
Dahimu
mengernyit. Entah karena mencoba mengingat-ingat, atau heran karena aku
tiba-tiba bertanya tentang buku itu. “Buku yang mana maksudmu?”
“Buku
yang sampulnya merah. Sepertinya, itu novel,” terangku, pura-pura terkesan
menebak.
“Oh,
itu. Itu bukan punyaku, itu punya temanku,” katamu. “Aku memang sudah
membacanya. Dan kemarin sore, aku telah mengembalikannya. Memangnya, kenapa kau
bertanya tentang itu?”
Perasaanku
jelas tersentak mendengar penjelasanmu. Nalarku bekerja dengan cepat. Dan kini,
mulai kuterka, kalau pertempuran hatiku sepanjang malam tadi, mungkin hanyalah
tentang diriku sendiri. “Tak apa-apa. Aku hanya bertanya,” jawabku, dengan
kebohongan yang kesekian kalinya.
Tak
lama kemudian, seorang perempuan, teman dekatmu, menghampiri kita dengan
senyuman yang aneh ke arahku. Seketika, kuyakini sudah kalau aku harus kembali
memendam perasaan padamu. Selain itu, aku juga harus segera menyelesaikan
kesalahpahamanku dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar