Semua
hal akan terasa sangat berharga di akhir-akhir waktu. Perjumpaan terasa
berharga menjelang perpisahan, kebersamaan terasa bermakna menjelang
perceraian, dan kesempatan terasa berarti menjelang terlewatkan. Begitu selalu.
Serupa itu pula yang dirasakan Andra, lelaki pemalu yang tak kuasa
mengungkapkan perasaannya pada sang pujaan hati.
Diamnya
Andra, bukan tanpa sebab. Sedari awal, ia memang sudah bertekad memendam
perasaan hingga datang waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Waktu di kala
cinta bukan lagi permainan. Tapi belakangan, ketenangannya sebagai pengagum
rahasia, sedikit terusik oleh teman baiknya sendiri, Gibran.
“Apa
kau menyukai Tiara?” tanya Gibran.
Andra
menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa?”
“Tak
apa-apa. Aku hanya ingin tahu. Selama ini, aku lihat, kau punya ketertatikan
padanya. Dan sebaliknya, dia juga tertarik padamu. Kalian cocok,” puji Gibran.
Lagi-lagi,
Andra menggeleng. “Itu tak penting.”
Beberapa
saat kemudian, Gibran mengungkapkan rencanya, “Oke, baiklah. Jadi kau tak akan
keberatan jika aku mendekatinya kan?”
Andra
tak menolak, tak juga mengiyakan. “Aku yakin, kau tak akan berhasil. Dia itu
wanita baik-baik. Dia tak seperti wanita-wanita yang selama ini mudah kau
permainkan,” katanya, terkesan meremehkan.
Jelas
saja, Gibran merasa tertantang. “Baiklah, akan kubuktikan.”
“Lagi
pula, kau sudah punya wanita yang kau sebut pacar ketujuhmu itu! Mana mungkin
wanita mau jadi yang kedua?” timpal Andra.
“Dasar
kuper. Di mana-mana, wanita suka dianggap
istimewa, dianggap terbaik. Kau harusnya tahu, seorang wanita akan suka jika
seorang lelaki meninggalkan kekasihnya demi dia. Itu akan membuatnya merasa tak
tertandingi!” tegas Gibran. “Apalagi, jika kau yang melakukannya. Wanita mana
yang rela menolak bunga dariku?”
Andra
berdecak. “Kurasa memang tak aka nada, kecuali dia!”
Setelah
kesepakatan tak formal terjadi di antara mereka, sebenarnya, Andra merasa
sedikit khawatir. Apalagi, ia telah menyaksikan sendiri, betapa tangkasnya Gibran
dalam meluluhkan perasaan seorang wanita. Tapi ia tak ingin menyesali apa-apa.
Setidaknya, hasil akhir permainan itu akan jadi bukti, apakah Tiara adalah
wanita berhati tangguh sepeti yang diidam-idamkannya selama ini, atau tidak.
Seiring
waktu, sesi-sesi pengujian pun berlangsung. Gibran memulai pendekatan secara
perlahan. Prosesnya tak terlalu sulit. Apalagi, wanita itu memang teman
sekampusnya sendiri. Langkah awal ia mulai dengan menelusuri kontak Tiara di
dunia maya. Melalui saluran privat itulah, mereka saling mengobrol tentang
banyak hal, lalu dipamerkan pada Andra.
Jelas
saja, emosi Andra jadi tak terkendali. Tanda-tanda bahwa ia harus kembali menerima
pahitnya hidup sebagai pemendam, semakin menguat. Apalagi, kedekatan Gibran dan
Tiara, tidak hanya terjadi di dunia maya yang multitafsir. Beberpa kali sudah,
Andra harus menahan perihnya hati melihat sang wanita pujaan, berjalan seiring
dengan sehabatnya itu.
Dan
pagi ini, kala Andra tak kuasa lagi menahan kemelut perasaannya, ia pun mencoba
mengakhiri semua teka-teki. Segera saja ia menghampiri Gibran yang tengah
berjalan di samping Tiara. Tanpa aba-aba, bogem mentah pun dipelesatkannya ke
perut Gibran. “Dasar lelaki berengsek! Aku mohon, jangan dekati Tiara lagi!”
Gibran
yang masih menahan perih di ulu hatinya, benar-benar dibuat heran. Ia tak
menyangka sahabat baiknya yang culun itu, berani juga bermain fisik. “Kalau
kalah, jangan emosi begitu dong!”
Andra
mendekati ke Gibran, bermaksud mendaratkan pukulan lagi.
“Hentikan!
Ada apa denganmu Andra? Gibran itu sahabatmu sendiri!” seru Tiara, mencoba
melerai.
Andra
membatalkan niatnya. Menarik napas dalam-dalam. Perlahan menenangkan diri. “Baiklah,
ini yang terakhir kalinya aku melihatmu dekat-dekat dengan Tiara. Besok-besok,
jangan lagi. Kalau dengan perempuan lain, aku tak peduli. Tapi jangan dia!”
bentak Andra, sambil menyolot ke arah wajah Gibran.
“Memangnya
kenapa, Dra? Gibran kan temanku juga. Apa salahnya?” tanya Tiara. Masih belum
mengerti tentang sebab pertengkaran dua sahabat itu.
“Itu
karena aku peduli padamu. Aku tak ingin dia mempermainkanmu,” kata Andra,
sembari menatap ke arah Tiara “Aku menyukaimu!” tegasnya, kemudian berlalu
dengan rasa malu. Ia tak menduga akan berani bertutur selancang itu.
Di
tengah kekalutannya atas apa yang telah terjadi, Andra kembali ke rumahnya. Ia
bermaksud menenangkan diri dan tak ingin berjumpa dengan Gibran ataupun Tiara
untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Mungkin sampai ia bisa menerima
kenyataan bahwa persahabatannya telah berakhir, sembali pasrah menyaksikan
pernikahan Gibran dan Tiara, kelak.
Tapi
hari ini juga, kala menjelang sore hari, Gibran segera menyusul Andra. Datang
dengan raut wajah yang biasa saja. Seakan-akan, tak ada masalah yang terjadi di
antara mereka. “Kau tak usah minta maaf atas kejadian tadi. Aku paham bagaimana
perasaanmu,” kata Gibran sambil terkekeh.
Andra
heran menyaksikan sikap sahabatnya itu. Ia pun bingung, harus bersikap
bagaimana.
“Oh,
iya, setelah kau mengutarakan isi hatimu pada Tiara siang tadi, sepertinya dia
memperi respon yang baik. Setelah aku jelaskan, ia bisa paham,” kata Gibran.
“Segera hubungi dia.”
Andra
terlihat bengong.
“Aku
serius!” tegas Gibran, lalu terkekah. “Kali ini, percuma jika kau bilang tak
suka padanya. Lanjutkan, kawan!”
Andra
pun mulai paham, misinya dan misi Gibran, kini sudah tercapai secara bersamaan.
Satu tujuan yang telah direncanakan sahabatnya sedari awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar