Pada
satu titik di masa lalu, pernah ada keinginan agar waktu berjalan cepat, untuk
segera menikmati momen di satu waktu mendatang. Tapi ketika momen itu telah
dilalui, masa depan akan menciptakan bunga-bunga rindu untuk kembali menikmatinya.
Momen terbaik itu, niscaya akan dijalani, lalu menjadi sebuah kenangan. Mengurung
rasa di satu waktu yang tak bisa dikendalikan.
Rena
Mandalika, kini merasakannya. Di satu masa yang lampau, ia pernah berharap
segera dipertemukan dengan lelaki yang ditakdirkan Tuhan menjadi belahan
jiwanya. Ia senantiasa mengadu, sambil berharap-harap cemas. Hasratnya menggebu-gebu.
Hingga dipertemukanlah ia dengan Sigi Prayoga, pemuda yang dalam sekejap meluluhkan
hatinya, menikahnya.
Hidup
di masa itu, benar-benar membuat Rena merasa beruntung. Bagaimana tidak, Sigi
adalah lelaki yang tampan dan mapan. Sosok yang menjadi dambaan bagi setiap
wanita. Tapi di luar semua keunggulan itu, yang membuat Rena semakin luluh
adalah keromantisan Sigi. Suaminya itu suka menghadiahinya bunga, cokelat,
boneka, disertai sanjungan yang membuai.
Tak
akan pernah Rena lupakan, kala suatu hari di masa bersama, tepat di hari ulang tahun
pernikahan mereka yang kedua, Sigi pulang dengan serangkaian kejutan. Suaminya
itu datang mengendap-endap. Begitu senyap. Ia lalu mendekati Rena di depan
cermin, kemudian menutup mata sang istri dengan dua telapak tangannya.
“Sigi.
Itu kau kan sayang?” Rena pura-pura menebak, sambil berharap perlakuan romantis
selanjutnya.
“Aku
tahu, kau tak akan salah menebak,” kata Sigi, tanpa menarik sekapan tangannya
di mata sang istri. “Tapi apa kau tahu perempuan tercantik yang pernah kulihat,
yang membuatku tak akan bosan-bosan memandanginya?”
Rena
menggeleng, meski ia yakin, tak ada perempuan lain yang pernah dipuji oleh sang
suami selain dirinya.
“Itu,
kau!” tutur Sigi, sembari perlahan mengurai sekapan tangannya. “Lihatlah lengkungan bibirmu yang manis itu,
hidungmu yang mancung, mata jernihmu yang dinaungi alis yang sempurna alami,
gigi rapimu yang diselingi taring yang unik, pipi tembammu yang menyembunyikan
sepasang lesung pipi. Kau sungguh cantik!” sambungnya, sambil menyodorkan
serangkai bunga di depan sang istri.
Rena
menyambut bunga dari sang suami, kemudian menunduk. Ia merasa malu sendiri kala
memandang dirinya di dalam cermin. Meski nilai sanjungan itu sungguh tak
terkira, ia masih saja tak percaya diri di depan suaminya. Ia khawatir itu
hanya pujian buta. “Apa kau mencintaiku hanya karena kau melihatku cantik?”
“Ya!”
tegas Sigi, singkat.
“Bagaimana
jika suatu saat aku menua dan tak cantik lagi di matamu?” telisik Rena lagi.
“Aku
yakin, kecantikanmu tak akan pernah luntur dimakan waktu!” pungkas Sigi,
bermaksud memudi.
Rena
pun tersenyum, sambil bergelayut di tangan sang suami.
Dan
kini, apa yang dikhawatirkan Rena, benar-benar terjadi. Di tahun ke 15
pernikahan mereka, Sigi pergi meninggalkannya setelah melalui serangkaian
cekcok yang tak jelas sebabnya. Sigi pergi setelah watak romantisnya
perlahan-lahan menyusut, kemudian benar-benar lenyap. Sigi pergi setelah
keramahannya menghilang, seiring dengan menumpuknya rahasia yang ia
tutup-tutupi.
Rena
hanya bisa merenungi perubahan nasibnya. Ia tak menyangka, rangkaian kata-kata
manis suaminya, dikalahkan juga oleh waktu. Padahal, cintanya masihlah seperti
dulu. Tak ada yang berubah. Isi hatinya masih terserah penuh kepada sang suami.
Jelas, tak ada yang bisa disalahkan, kecuali bahwa rupa-fisiknya sudah termakan
waktu. Ia semakin menua, hingga kecantikannya pun luntur.
Kesimpulannya,
Sigi pergi meninggalkannya untuk wanita lain yang lebih muda.
Atas
semua kenangan itu, kini, Rena masih hidup dengan kepiluan yang mendalam. Tapi
sedikit demi sedikit, perhatiannya mulai teralihkan pada Juwita, anak semata
wayangnya, hasil penikahan dengan Sigi.
“Kau
sungguh cantik, Nak!” puji Rena, setelah menyadari anaknya itu murung sepanjang
hari.
“Ibu
bohong! Jangan bilang aku cantik!” tegas Juwita yang kini duduk kelas II SMP.
Rena
yang tengah menyisiri rambut sang anak di depan cermin, sedikit tersentak
mendengar balasan itu. “Ibu tidak bohong, Nak. Kau memang cantik!”
Juwita
tampak bersungut-sungut. “Ibu bohong! Tadi di sekolah, para lelaki, teman
sekelasku, bilang kalau aku jelek!” keluhnya.
Seketika,
Rena tahu, perasaan anaknya mulai terguncang oleh komenter-komerntar dari lawan
jenis. Sebuah keadaan yang juga pernah dialaminya di masa puber. “Kau jangan
hiraukan kata-kata para lelaki, Nak. Kalau mereka bilang kau jelek, bisa jadi
mereka hanya mempermainkanmu. Begitu pun kalau mereka mengatakan kau cantik.”
“Tapi
sepertinya mereka berkata jujur, Bu. Aku memang jelek,” sanggah Juwita.
“Tidak,
Nak. Para lelaki selalu punya alasan tersembunyi untuk mengatakan seorang
perempuan jelek atau cantik,” jelas Rena.
Juwita
masih belum puas atas penjelasan ibunya. “Terus, bagaimana aku bisa yakin, Bu, kalau
aku cantik, sedangkan para lelaki mengataiku jelek!”
“Percayalah
padaku, Nak, kau itu cantik. Aku lebih jujur. Aku lebih tahu, karena aku ibumu,
aku seorang perempuan!” tegas Rena.
Juwita
tak lagi bernafsu membalas. Hanya terdiam, meresapi nasihat ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar