Kemarin,
kala hari sudah sore, Malik dirundung kegalauan yang sangat. Ia merasa begitu
bosan setelah hampir seharian mengurung diri di kamar. Sejak pagi, ia hanya tidur,
bangun, dan tidur lagi. Karena itu, ia memutuskan berkunjung ke sebuah toko
buku. Niatnya mencari bahan bacaan bernuansa baru, untuk menyelingi tumpukan
bukunya dengan materi yang berat dan membosankan.
Untuk
perburuannya itu, Malik tak ingin melanglang ke tengah kota, menerobos
kemacetan yang parah. Pilihannya jatuh pada toko buku yang tak jauh dari
rumahnya. Hanya berjarak sekitar setengah kilo meter. Apalagi, ia memang telah
menargetkan sebuah buku terbitan baru, sebuah novel, yang terpampang di beranda
akun media sosial toko buku itu.
Setiba
pada lokasi yang dimaksud, tampaklah keadaan yang senantiasa membuatnya gugup. Kala
baru saja memarkirkan sepeda motor, dari balik jendela toko, ia melihat pengunjung
seorang diri saja, sesosok perempuan berkacamata, yang juga tengah
memilih-milih buku. Dan entah bagaimana, paras perempuan itu, tiba-tiba membuatnya
grogi. Malik pun jadi takut salah tingkah.
Dengan
perasaan deg-degan, Malik menegarkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam toko. Dan
seketika, perempuan itu, menoleh padanya. Menyorot tajam, sembari melayangkan
satu senyuman manis. Mau tak mau, Malik balas tersenyum, meski terkesan
dipaksakan. Hingga setelahnya, dari jarak yang berdekatan, mereka sibuk dengan
urusan masing-masing.
Pertama
kali bertemu dan tak saling bercakap, tak lantas membuat keadaan itu, jadi
biasa saja bagi Malik. Lagi-lagi, sebagai pemendam, ia terperangkap ilusinya
sendiri. Hanya menebak-nebak isi pikiran gadis itu terhadapnya, tanpa nyali
untuk menyapa. Keadaan yang membuat keringatnya mengucur deras, sampai ia
bergegas pergi, setelah mendapatkan sebuah buku yang ia target.
Di
sela-sela rasa penasarannya yang menggebu, Malik tak ingin bertemu lagi dengan
gadis itu. Ia takut terjebak dalam ilusi yang menyesatkan. Bahkan, ia berharap kejadian
itu berlalu begitu saja, seperti biasa. Namun, takdir berkata lain. Pada momen
itulah, bermula sebuah cerita yang kelak dianggapnya sebuah kebetulan. Kebetulan,
sebab ia tak pernah merencanakan awal dan akhir ceritanya, hingga ia
persangkakanlah itu pada kehendak Tuhan.
Di
antara berjuta kemungkinan, Tepat di malam ini, sehari setelahnya, Malik
kembali berjumpa dengan gadis itu. Tepat di sebuah pentas musiklah, kejutan
itu terjadi. Di tengah ingar-bingar, di antara kerumunan penonton, pandangan
mereka, tiba-tiba bertabrakan. Mereka pun berbagi senyuman dan seakan saling menebak-nebak,
tanpa bertutur sapa.
Aku
melihat kejadian itu, dan aku tahu ada kecanggungan di antara mereka.
“Doni,
aku harus bagaimana?” tanya Malik padaku, setelah menjelaskan panjang lebar
tentang kronologi pertemuan mereka sehari sebelumnya, yang ia anggap sebagai
kebetulan.
Jelas
saja, aku tak bisa memberikan saran yang berarti. Jujur, aku sama sepertinya, seorang
lelaki yang tak bernyali dan tak mahir mendekati seorang wanita. “Mungkin
sebaiknya kau berkenalan dan meminta nomor teleponnya,” saranku, dengan
keyakinan bahwa ia tak mungkin melakukannya.
“Aku
tak berani!” Ia tampak kesal pada dirinya sendiri. “Padahal, kukira, ia sudah
memberikan tanda-tanda agar aku mulai mendekat, kan? Tapi aku tak berani, Don!”
Kurasa,
dugaan Malik memang benar. Sedari tadi, aku pun menyaksikan perempuan itu berlalu-lalang
di depan kami, tanpa alasan yang jelas. Bahkan ia duduk di posisi yang dekat
dengan kami. Seakan mengirimkan isyarat kepada lelaki yang ia maksud agar
segera melakukan pendekatan. Tapi Malik tak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk
membisu, memandang siluet wajah perempuan itu dari samping.
Mungkin
karena merasa tak ditanggapi, perempuan itu pun menjauh, menuju dekat panggung,
menanti penampilan sebuah band yang akan segera dimulai. Lalu, dengan tanpa memedulikan
lagi keberadaan kami, ia pun larut dalam alunan musik bersama dua orang
temannya. Sedangkan kami, masih di posisi yang sama, hanya memandang gadis itu
di sela-sela kerumunan.
Dalam
menungan kami masing-masing, mengalunlah lagu Laki-Laki Pemalu, milik Efek Rumah
Kaca. Sebuah lagu yang mewakili jati diri kami berdua.
Hampir
sejam berlalu, pementasan pun berakhir. Selama itu pula, sikap Malik tak juga
berubah. Ia hanya mengintip gadis itu dari kejauhan. Sampai akhirnya, ia kembali
menggerutu atas kebodohannya sendiri. Ia merasa menyesal sebab tak melakukan
apa-apa, hingga akhirnya perempuan itu pergi, menghilang di balik kerumunan
orang yang pulang entah ke mana.
Dan
kini, kami pun kembali dalam kegalauan yangs sama. Kami, yang sama-sama
pemendam. Dua lelaki yang menjadikan buku dan musik sebagai pelarian atas
kekosongan yang mendalam.
“Kau
percaya pada kebetulan?” tanya Malik, saat kami berjalan beriringan, hendak pulang
ke rumah masing-masing.
Aku
menggeleng. “Tidak. Sepanjang yang aku tahu, kebetulan itu hanyalah hasil akhir
yang tidak kita duga, padahal sebenarnya, kita telah menempuh serangkaian
sebab-akibat hingga sampai pada akhir yang kita sebut kebetulan itu. Maksudku,
kebetulan itu logis.”
Raut
wajah Malik tampak tak setuju. “Tapi bagaimana bisa, dari tak terhingga
kemungkinan, aku bisa dipertemukan kembali dengannya malam ini?” katanya, dengan
nada penekanan. Ia terkesan ngotot memaksakan pendapatnya bahwa pertemuan ia
dengan gadis itu, terjadi atas campur tangan Tuhan, karena kebetulan.
Otakku
cepat berpikir untuk mencari argumentasi yang ampuh. “Ya, itu karena kalian
sama-sama suka musik. Yang kemarin juga begitu, karena kalian sama-sama suka
buku. Intinya, semua itu terjadi karena alasan yang logis,” jelasku.
“Tapi
kan, tadi, aku sama sekali tak berencana datang ke pentas musik ini. Jika saja
kau tak mengajakku, mungkin kami tak akan bertemu. Nah, kenapa bisa kebetulan begitu,
bahwa kau akan mengajak dan aku turut saja,” katanya lagi, masih bertahan pada
kesimpulan yang sama.
“Itu
karena aku suka musik. Dan aku tahu, kau pun suka musik. Dan bodohnya, kita
menempuh jalan hingga sampai di sini, berdiam diri di sini, hingga bertemu
dengannya. Kita telah menempuh jalan untuk itu. Apa lagi?” tegasku.
Ia
berusaha mencerna maksud penjelasanku beberapa saat, kemudian mengelak dengan menuturkan
harapannya yang mendalam pada gadis itu. “Ya, sudahlah. Aku tak peduli lagi itu
kebetulan atau kebenaran. Yang pasti, aku tahu sekarang kalau ia suka buku dan musik,
sama sepertiku. Dan karena alasan itulah, aku harap kami bertemu lagi suatu
saat nanti, entah kerena kebetulan atau tidak, terserah.”
Aku
hanya mengangguk, seakan mengaminkan harapannya yang kian melangit.
Tak
lama berselang, ia kembali meminta solusi padaku atas kerisauan hatinya. “Apa
kau ada saran, bagaimana aku bisa berjumpa lagi dengannya?”
Aku
berdeham. “Ya, tergantung, kalau kau tetap percaya pada kebetulan-kebetulan,
besok-besok, datanglah lagi ke toko buku atau di pementasan musik. Bisa jadi,
di tempat-tempat itu, kalian akan bertemu lagi, secara kebetulan,” kataku,
bermaksud mengolok-olok jalan pikirannya.
Ia
terlihat kesal dengan jawabanku. “Baiklah. Aku memang tak akan menyerah bahwa
pertemuanku dengannya adalah sebuah kebetulan. Tapi untuk hari-hari selanjutnya,
aku ingin perjumpaan yang lebih pasti.”
“Kenapa
tanya ke saya kalau begitu? Mana aku tahu?” sanggahku. “Sudahlah, kau jangan
meninggikan khayal terus-menerus. Kalau berkenalan dengannya saja kau tak
bernyali, mana bisa kau dapat kontaknya, mengobrol dengannya, menyatakan
perasaan padanya?” kataku, terkesan seperti menasihati diri sendiri.
Ia
pun menggangguk-angguk pasrah. Seperti berharap Yang Maha Kuasa kembali merangkai
kebetulan untuknya esok hari.
Dan
sambil melangkah pulang, kembali kubuka obrolan singkatku dengan seorang
perempuan kemarin malam. Seseorang gadis yang kukagumi sejak lama, meski kami tak
pernah sekali pun mengobrol. Seorang gadis yang kini membuat Malik terobsesi. Aku
tahu tentangnya dan berhasil mendapatkan nomor teleponnya dari seorang teman
baikku yang lain, yang sedang memadu kasih dengan teman baik gadis itu.
Aku: Besok malam, kamu ke pentas musik kan?
Dia: Ini dengan siapa, ya?
Aku: Kau tak perlu tahu. Sampai jumpa di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar