Tiap
sore hari, Rosmini akan tiba di rumahnya. Dari pagi, hingga jam pulang kerja
para pegawai perusahaan negara tiba, ia tak akan berada di rumahnya. Begitulah
selalu, selama lima hari dalam seminggu. Karena itu, ia pantas dicap sebagai seorang
pegawai bertanggung jawab. Ia tak mau meniru perilaku abdi negara yang datang
terlambat dan pulang sebelum waktunya.
Selain
urusan pekerjaan, perhatian Rosmini, juga tertuju pada anak semata wayangnya,
Rani, yang masih duduk di kelas II SD. Apalagi, Alian, suaminya, juga berstatus
sebagai pegawai negeri di salah satu instansi pemerintahan. Sang suami pun keseringan
tiba di rumah kala sore hari, seperti dirinya. Tak pelak, anaknya banyak
mengisi waktu di rumah seorang diri. Keadaan itulah yang sering kali membuat
Rosmini, khawatir.
Urusan
pekerjaan yang menyita waktu, akhirnya memaksa Rosmini berpikir cerdas. Sebagai
seorang ibu rumah tangga, ia tetap berusaha menjadi pelayan yang baik untuk
anak dan suaminya. Karena itu, subuh-subuh, ia mulai menyiapkan sarapan untuk
keluarga kecilnya. Pagi-pagi itu juga, ia akan memasak untuk makan siang bagi anaknya.
Tapi
sore ini, setibanya di rumah, kekhawatiran Rosmini memuncak. Entah bagaimana
ceritanya, hidangan makan siang untuk anaknya di dalam kulkas, sama sekali tak
terjamah. Padahal, sebelum berangkat kerja pagi tadi, ia telah menitip pesan
kepada sang anak untuk makan siang sebelum melakukan aktivitas yang lain.
Rosmini
yang kelimpungan, akhirnya bergegas memeriksa kertas-kertas yang ditindik pada sebuah bentangan styrofoam di dinding. Di sanalah anggota keluarga kecilnya sering
menulis catatan kala mereka tak bisa berkomunikasi secara langsung. Tapi anak
yang masih tak diperbolehkan memiliki telepon genggam, sama sekali tak menulis
pesan apa-apa. Padahal sebagaimana wajibnya, sang anak selalu menulis pesan
tentang aktivitas yang akan dilakoninya sebelum meninggalkan rumah.
Kini,
kekhawatiran terbesar Rosmini pun mencuat, tentang aksi penculikan anak yang
belakangan ini, marak diberitakan. Ia cemas, kalau-kalau kejadian menakutkan
itu, menimpa anaknya. Apalagi, ia tak menemukan seragam sekolah anaknya di
rumah. Tapi untuk sementara waktu, ia tak ingin berprasangka buruk. Masih
mungkin jika anaknya pergi bermain dan lupa menulis pesan, ataukah suaminya
pulang lebih awal dan membawa sang anak berjalan-jalan.
Setelah
hampir sejam menunggu, suaminya pun tiba, datang hanya seorang diri.
Kekhawatiran Rosmini, pun semakin melonjak. “Bapak tak tahu keberadaan Rani?”
tanyanya kepada sang suami.
Mata
Alian menyorot tajam. Wajahnya turut menyiratkan kekhawatiran. “Memangnya
kenapa? Bukankah seharusnya dia ada di rumah?”
“Tapi
dia tak ada di rumah, Pak!” kata Rosmini.
Alian
pun beregas memeriksa setiap sudut isi dan halaman rumah. Berharap menemukan
anaknya tengah tertidur pulas di satu titik tanpa ia sadari. Tapi hasilnya
nihil. Rani tak juga di temukan. Ia pun bergegas menanyai para tetangga. Tapi
hasilnya sama saja. Tak ada yang tahu di mana keberadaan anaknya.
Setelah
kebingungan mencari tanda-tanda, Alian pun pulang ke rumahnya. Berencana
menenangkan diri dan memikirkan baik-baik, bagaimana cara menemukan sang anak.
Dan tiba-tiba, langkahnya tertahan di gerbang pintu. Ia menemukan secarik
kertas tanpa nama. Di situ tertulis pesan: Jika
kalian pulang, hubungi aku di nomor ini: 082389022211.
Segera
saja, Alian menghubungi nomor yang tertera di kertas. Tiga kali mencoba, tiga
kali pula panggilannya tak bersambung. Seketika, dugaan terburuk pun, muncul di
benaknya. Ia menduga, seseorang sedang menawan anaknya untuk memeras harta
benda keluarga kecilnya. Maka, tanpa pikir panjang lagi, ia pun bergegas
menghubungi pihak kepolisian.
Belum
sempat menunaikan maksudnya, sebuah mobil, tiba di depan rumah mereka.
Rosmini dan Alian, dibuat menduga-duga. Mereka lalu bergegas memastikan siapa
gerangan yang datang. Dan, tak lama berselang, tampaklah Rani di balik jendela
mobil, masih dengan seragam sekolahnya. Di sisi kanannya, tampak seorang lelaki
berpakaian rapi melemparkan senyuman hangat.
Alian
menduga-duga sambil merangkai sebuah wajah di benaknya, wajah sahabat baiknya
di kampus dahulu. “Rulan?”
Lelaki
itu mengangguk-angguk. “Ya, aku Rulan. Syukurlah kau masih mengenalku kawan!”
katanya, lalu menjabat tangan Alian.
Mulut
Alian tersekat. Rosmini pun begitu. Mereka seakan akan bigung, harus
mengungkapkan kegembiraan atau kekesalan atas apa yang baru saja mereka
saksikan.
Di
sisi lain, Rulan merasa kerinduanlah yang membuat sahabatnya itu terkesima dan
tak bisa berkata-kata. “Sudah lama kita tak berjumpa kawan. Kau tampak awet
muda saja.”
“Ya,
kau juga,” balas singkat Alian.
Rosmini
hanya bisa berdiri dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
“Maaf,
aku membawa Rani jalan-jalan sementara menunggu kalian pulang,” katanya, tanpa
merasa itu adalah sebuah masalah besar. “Maaf juga, HP-ku lobet. Kalian mungkin telah menghubungiku sedari tadi?”
Alian
mengangguk-angguk saja, sambil perlahan meredam kekesalannya dengan perasaan
gembira atas sebuah perjumpaan yang tak terduga, yang telah lama dirindukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar