Kehidupan
penuh dengan persaingan. Dunia tak mampu untuk memenuhi keinginan
setiap individu yang tak terbatas. Keadaan itu membuat setiap orang berebut untuk memenangkan alat
pemenuhan hidup dan kehidupan. Dorongan untuk memenuhi keinginan akhirnya membuat
setiap orang cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri. Jika tak
pintar-pintar berbagi bagi yang menang, dan tak sabar bagi yang kalah, persaingan
dalam berbagai bentuk akan selalu berujung pada kepahitan.
Jika
motivasi persaingan adalah pemenuhan kebutuhan, tentu hal yang manusiawi.
Setiap orang memang memiliki fitrah dan dibekali potensi yang tak terbatas
untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya secara wajar. Di samping itu, alam
raya juga tak akan pernah kehabisan daya untuk memenuhi kebutuhan manusia,
kecuali jika memang manusia memanfaatkannya dengan keserakahan.
Keinginan yang tak terbatas, dengan dorongan nafsu duniawi, cenderung menimbulkan pertempuran-pertempuran. Padahal, keadaan itu seharusnya tidak perlu terjadi, andaikan setiap orang mampu mengontrol keinginannya demi kebutuhan orang lain. Demi keharmonisan, titik keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan setiap orang, harus menjadi acuan. Setiap orang yang beruntung harusnya merasa cukup, lalu ikhlas untuk memberi kepada yang menderita kekurangan. Di sisi lain, pihak yang nasibnya kurang beruntung dalam satu waktu, harus rela bersabar menunggu rezekinya dikucurkan dari pintu yang tak diduga-duga.
Kondisi
yang penuh dengan sikap saling pengertian akan membuat persaingan tak berujung
pada pertempuran "mematikan". Tak akan ada pemenang dan pecundang. Semuanya merasa menang karena
berhasil memberi makna bagi kehdupannya. Hasil akhir dari sebuah persaingan
bukan prioritas mutlak, melainkan sebuah momentum untuk peningkatan kemampuan
diri serta pendidikan jiwa.
Akar
masalah paling utama dari timbulnya banyak pertempuran dewasa ini adalah hasrat untuk dianggap pemenang yang berhasil mengalahkan para
pesaing lainnya. Turut dalam persaingan bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan
semata, tetapi keinginan untuk mendapatkan “gelar”. Banyak fenomena yang menunjukkan bahwa anak
manusia telah dibutakan keinginannya sendiri.
Seperti
terjadi tanpa sadar, keinginan manusia untuk dianggap kini menjadi landasan utama dalam menggapai kemewahan duniawi. Banyak keputusan-keputusan yang tak didasarkan
pertimbangan akal sehat dan hati nurani, tetapi didorong nafsu untuk mendapatkan
penghargaan diri yang tak terbatas.
Buktinya, kini orang tak lagi bekerja untuk sejahtera, tetapi untuk menjadi kaya raya, bahkan demi dilebeli predikat "orang terkaya" di dunia. Misalnya juga, kini orang tak lagi belajar untuk berilmu, apalagi beramal baik, tetapi untuk mengumpulkan sederet gelar yang membuatnya dieluhkan bak raja. Kemenangan dalam memenuhi hasrat duniawi itu, lalu dibarengi dengan sikap pamer. Padahal di sisi lain, masih banyak orang yang menderita kemiskinan, sampai tak mampu mengecap bangku pendidikan.
Buktinya, kini orang tak lagi bekerja untuk sejahtera, tetapi untuk menjadi kaya raya, bahkan demi dilebeli predikat "orang terkaya" di dunia. Misalnya juga, kini orang tak lagi belajar untuk berilmu, apalagi beramal baik, tetapi untuk mengumpulkan sederet gelar yang membuatnya dieluhkan bak raja. Kemenangan dalam memenuhi hasrat duniawi itu, lalu dibarengi dengan sikap pamer. Padahal di sisi lain, masih banyak orang yang menderita kemiskinan, sampai tak mampu mengecap bangku pendidikan.
Sudah
selayaknya, manusia menggunakan akal sehat dan hati nuraninya dalam menghadapi
kehidupan yang penuh persaingan. Bahkan kadang kala, lebih baik menarik diri
dari sebuah persaingan apabila condong pada konotasi pertempuran. Kebutuhan
selayaknya menjadi acuan, bukannya keinginan. Sudah tak perlu merelakan waktu dan tenaga habis sia-sia hanya untuk turut
dalam pertempuran yang sejatinya tak bermanfaat untuk dirinya sendiri, apalagi
untuk orang lain.
Percuma bertempur jika bukan demi
kedamaian, tapi hanya untuk dijuluki “sang penakluk”. Pemenang sejati tak harus
mengalahkan. Cukup jadi diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar