Selasa, 12 April 2016

Bumi dan Langit

“Lukisanmu bagus. Terlihat utuh. Apa itu ungkapan perasaanmu?” tanya seorang gadis yang tengah mengunjungi galeri lukisanku. Belakangan, aku tahu namanya, Tami. Sudah hampir sebulan ia datang ke galeriku untuk belajar melukis.
 
“Terima kasih,” balasku sembari melemparkan senyuman. “Ini hasil imajinasiku, bukan gambaran perasaan pribadiku. Aku tak ingin unsur subjektif merusak hasil karyaku.”

“Oh begitu. Nanti kalau aku telah mahir melukis, aku juga akan menggambarkan sebuah keutuhan, tapi mungkin lahir dari perasaanku,” tuturnya. Aku tak mengerti jelas apa maknanya. “Eh, aku ingin bertanya, kenapa di setiap lukisan alam, selalu tampak bumi dan langit secara proporsional?”

“Aku tak tahu. Mungkin karena memang seharusnya begitu. Tuhan kan menciptakan langit dan bumi sebagai dua hal terpisah. Tapi indah jika disatukan,” balasku.

“Ada benarnya. Tapi kalau menurutku, bumi tak sempurna, sebagaimana juga langit. Penyatuan merekalah yang membuatnya menjadi sempurna,” jelasnya.

Setelah percakapan itu, semua berjalan sebagaimana adanya. Hari-hari berlalu dalam ketidakpastian pengharapan padanya. Aku tak tahu akan sampai berapa jumlahnya jika aku tetap tak acuh seperti ini. Entah dimulai dari kapan, aku juga tak tahu. Perasaan kagum ini muncul sedikit demi sedikit, hingga menumpuk. Yang pasti, hari demi hari, waktu berjalan semakin lambat. Setiap detik berlalu bersamanya, semakin menyiksa batin. Aku merasa seperti sebuah balon yang terus ditiup, yang menunggu waktunya meledak, pecah berserakan, menjadi tak berharga, dan kembali hampa. Aku sengaja terkurung perasaanku sendiri. Pilihan hidup yang tentu tak menyenangkan.

Hampir sebulan aku mengenalnya. Bukan waktu yang singkat pastinya. Tapi tentang kekaguman mendalamku padanya, baru memuncak belakangan ini. Masalahnya, aku tak tahu kapan pengharapanku ini sampai pada klimaks, apalagi ending. Mungkin berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, ataukah seumur hidupku. Aku seakan tak berdaya mengakhirinya. Terus saja aku meniupkan angin pada balon pengharapanku. Menunggun ia memecahkannya dengan cara apa pun.

Bukan tanpa alasan aku memilih mendiamkan perasaanku. Ini demi mereka. Aku tahu, sejak dahulu, bukan aku yang pertama kali mendambakannya menjadi separuh jiwa. Perasaanku memang salah, datang terlambat. Ada lelaki yang lebih dahulu mengharapkannya, yang lebih pantas tentunya. Dialah yang sejak awal kedatangannya menyampaikan kainginan kepadaku untuk merengkuh perasaan terdalam wanita manis itu. Dia adalah teman baikku sendiri. Sungguh tak mungkin aku menghianati temanku sendiri, apalagi terang-terangan menjadi pesaingnya dalam mendapatkan perhatian Tami

Tidak sampai di situ saja alasanku memendam perasaan. Lagi, aku memang tak layak untuknya. Dia bak bidadari yang datang dari kayangan. Tak pantaslah wanita sepertinya berbalut dengan hiasan yang serba seadanya. Sedangkan jelas, aku tak punya apa-apa selain perasaanku padanya

Juga, tak pantaslah sosok sepertiku bersanding dengannya. Kami bak langit dan bumi, sangat berbeda. Aku tak mungkin tega melihat orang-orang memandang rendah padanya kala dia yang cantik berdampingan denganku yang serba pas-pasan dalam segala hal. Semua orang tahu, kategori pria idaman tak melekat padaku. Luaran yang serba mewah dan mahal, tak kumiliki. Postur badan dan konstruksi wajahku jauh dari nilai rata-rata yang dianggap ideal zaman sekarang. 

Keadaanku, sebaliknya dengannya. Tak berlebihan jika aku menilainya sempurna. Dan kurasa bagi semua mata yang pernah melihatnya, sepandapat denganku. Tampakannya seakan menegaskan bahwa kecantikan itu objektif. Dia memenuhi kategori kecantikan yang semestinya. Postur badan, warna kulit, bentuk hidung, mata, bulu mata, kening, bibir, sampai ukiran-ukiran kecil di wajahnya seperti tahi lalat, penuh dengan harmoni. Kombinasi yang apik. Jadi, aku tak mungkin mengatakan matanya jelek karena kurang bulat. Dia jelas indah karena kombinasi semua itu.

Jika saja kutahu saat ini ada seseorang yang dia idamkan, aku akan meminta pada Tuhan, jangan aku! Aku tak akan tega menggengam, atau setidaknya memancing perasaannya yang terdalam, lalu tanpa rasa bersalah meninggalkannya dalam ruang dan waktu. Dia sendiri tahu, esok aku akan ke luar negeri, melanjutkan studiku di bidang seni lukis. Tapi adakah kemungkinan dia mendambakanku?

“Arlan, kau tahu, hari ini Tami jatuh sakit. Kau tak mau menjenguknya?” tanya Aris, teman baikku yang kumaksud sedari dulu mengaguminya. Dia pantas menaruh perhatian padanya.

“Kau bertanya lagi. Tak mungkinlah aku menjenguknya. Tapi kalau menemanimu, aku tak mungkin menolak,” jawabku, sambil merapikan lukisan sehabis pameran.

“Alah! Memangnya kau siapa? Temannya kan! Siapa juga aku? Aku bukan siapa-siapanya!” tegasnya. “Jadi, kau tak perlu permisi kepadaku jika kau ingin apa-apa padanya.”

“Sudahlah. Aku tahu semuanya. Tentang kau dan Tami. Di mana lagi kau menumpahkan kegalauanku kalau bukan kepadaku. Kau pernah cerita kawan!” balasku, mencoba meledeknya.

Aris lalu memalingkan wajahnya dari layar handphone, kemudian menoleh kepadaku. “Kau tak tahu apa-apa kawan!”

Kami pun saling menatap, terdiam untuk beberapa detik.

“Kalau kau masih menganggap aku sahabatmu, aku mohon jenguk dia hari ini. Sampaikan kalau aku tak sempat ikut menjenguk. Aku ada kesibukan penting. Kalau pun kau masih merasa sungkan, setidaknya lakukanlah untuk sahabatmu ini,” tuturnya, seperti sangat memohon.

Jawabannya membuatku tak berselera menyanggah. Tapi bukan berarti aku menganggap apa yang dikatakannya benar. Aku tahu jelas kepribadiannya. Dia memang selalu mencoba mengaburkan perasaannya. Tapi untuk persoalan memendam, aku tentu lebih lihai.

Hari ini juga, aku mengunjungi Tami di rumah sakit seorang diri. Jika bukan karena Aris, aku tak akan berani menghampirinya, terutama jika melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebuah perhatian. Aku selalu jatuh mental jika bersetatap dengannya. Aku tak bisa tampil biasa, apalagi sok apalah. Terlebih kalau ia melebarkan senyuman manisnya seperti biasa, tanpa ada rasa berdosa bahwa itu membuatku semakin tersiksa.

Sesampainya aku di sampingnya, aku sedikit gugup, sedangkan ia hanya merekahkan senyuman padaku.

“Bagaimana keadaanmu?” Aku terpaksa mendahulinya bertanya.

Tanyaku itu hampir bersamaan ketika ia juga menanyaiku, “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik-baik saja,” tuturku.

“Aku juga baik-baik saja,” tuturnya dengan tenaga seadanya. Penyakit maag akutnya kambuh akibat pola makannya yang tak teratur. “Untung kau datang. Aku ingin menyerahkan sesuatu untukmu.”
Ia lalu mengambil sebuah bingkisan dan menyerahkannya padaku. Aku benar-benar tak bisa menebak isinya. Jelas, ini sebuah kejutan untukku.

“Ini untuk Aris. Tolong berikan padanya,” tuturnya. 

Ucapannya itu membuatku seperti balon yang kehilangan udara sedikit demi sedikit. Ciut! Aku merasa diciptakan di dunia sebagai pecundang sejati. Betapa dilemanya menjadi perantara sosok pujaan untuk menyampaikan perasaannya pada sosok lain. Sungguh! Tapi, setidaknya, aku dapat menyenangkannya kali ini. Aku harus mengiyakan pintanya.  

Setelah itu, beberapa menit kami lalui untuk berbagi cerita. Aku lebih banyak menjawab ketimbang bertanya. Aku pun menggambarkan kepadanya tentang pameran lukisan yang baru saja diselenggarakan. Hanya itu bahan perbincangan yang baik. Bukan berarti tak banyak tanya untuknya di benakku. Tapi rasa canggung membuatku lebih suka menahan pertanyaan tentang “aku dan kamu”. Akhirnya, setelah puas tersiksa memenjarakan diri sendiri, aku pun pamit.

Hari itu juga, aku langsung menyampaikan bingkisan persegi panjang itu pada Aris. Aku ingin segera mengetahui apa isi bingkisan yang diberikan seorang wanita kepada lelaki pujaannya itu. 

“Aris, ini bingkisan dari gadismu. Ambillah tuan,” tuturku, mencoba menggelitiknya.

“Oh, aku sudah tahu,” tuturnya. Ia tak sedikit pun menampakkan kesan bahwa itu semacam kejutan. “Kau buka saja langsung!”

Aku pun menyobek kartas kado yang membungkusnya secara berlapis-lapis. Berusaha selekas mungkin menghilangkan rasa penasaranku.  “Sepertinya sebuah foto berbingkai,” tebakku.

“Bukan. Jangan bicara dulu sebelum kau tahu,” ajarnya.

“Memangnya kau tahu?” tantangku. Berselang dua detik, “Ris, ini lukisan. Tapi kok wajah di lukisannya mirip aku. Apa benar kata orang-orang kalau kita punya wajah yang mirip?” tanyaku penasaran, sambil meneliti lukisan yang menampilkan sosok mirip aku dan Tami itu. Latar belakang lukisan menampakkan hutan hijau dan langit yang cerah. Di pojok kanan bawah lukisan, judulnya tertera: Bumi dan Langit.

Aris tetap terlihat santai menanggapinya. “Aku tahu. Lukisan itu memang untukmu. Tami sengaja menghabiskan seminggu waktunya hanya untuk melukis wajahmu dan wajahnya. Ia sengaja memberimu kejutan sekaligus kenang-kenangan, sebelum kepergianmu besok kuliah ke luar negeri. Kau tahu, mungkin gara-gara itu juga ia jatuh sakit,” jelasnya. 

“Apa? Bagaimana bisa dia melakukan ini? Dia kan…!” tanyaku.

“Ah, sudahlah. Kau memang tak tahu apa-apa. Kami tak ada hubungan macam-macam. Kalau dia mau sih, aku tak mungkin menolak. Tapi dari dulu dia malah lebih menyukaimu. Kau saja yang tak peka-peka,” sergahnya, sambil menatapku sejenak dengan mimik datar. “Aku bisa apa sebagai sahabatmu. Haram bagiku memakan teman sendiri.”

“Jadi?” tanyaku lagi, seperti butuh diyakinkan lagi atas semua kejutan beruntun ini.

“Iya, benar! Sudahlah. Tak usah percaya kalau kau tak mau,” solotnya. 

Aku masih tak habis pikir.

“Eh, satu lagi, jangan pernah katakan lagi bahwa kita mirip. Jelas bahwa aku lebih tampan darimu. Kecuali di mata Tami, kau mungkin mengalahkan ketampananku,” tegasnya dengan cara biasa, yang menjengkelkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar