“Lukisanmu
bagus. Terlihat utuh. Apa itu ungkapan perasaanmu?” tanya seorang gadis yang tengah
mengunjungi galeri lukisanku. Belakangan, aku tahu namanya, Tami. Sudah hampir sebulan
ia datang ke galeriku untuk belajar melukis.
“Terima
kasih,” balasku sembari melemparkan senyuman. “Ini hasil imajinasiku, bukan
gambaran perasaan pribadiku. Aku tak ingin unsur subjektif merusak hasil karyaku.”
“Oh
begitu. Nanti kalau aku telah mahir melukis, aku juga akan menggambarkan sebuah
keutuhan, tapi mungkin lahir dari perasaanku,” tuturnya. Aku tak mengerti jelas
apa maknanya. “Eh, aku ingin bertanya, kenapa di setiap lukisan alam, selalu
tampak bumi dan langit secara proporsional?”
“Aku
tak tahu. Mungkin karena memang seharusnya begitu. Tuhan kan menciptakan langit
dan bumi sebagai dua hal terpisah. Tapi indah jika disatukan,” balasku.
“Ada
benarnya. Tapi kalau menurutku, bumi tak sempurna, sebagaimana juga langit.
Penyatuan merekalah yang membuatnya menjadi sempurna,” jelasnya.
Setelah
percakapan itu, semua berjalan sebagaimana adanya. Hari-hari berlalu dalam
ketidakpastian pengharapan padanya. Aku tak tahu akan sampai berapa jumlahnya
jika aku tetap tak acuh seperti ini. Entah dimulai dari kapan, aku juga tak
tahu. Perasaan kagum ini muncul sedikit demi sedikit, hingga menumpuk. Yang
pasti, hari demi hari, waktu berjalan semakin lambat. Setiap detik berlalu
bersamanya, semakin menyiksa batin. Aku merasa seperti sebuah balon yang terus
ditiup, yang menunggu waktunya meledak, pecah berserakan, menjadi tak berharga,
dan kembali hampa. Aku sengaja terkurung perasaanku sendiri. Pilihan hidup yang
tentu tak menyenangkan.
Hampir
sebulan aku mengenalnya. Bukan waktu yang singkat pastinya. Tapi tentang kekaguman
mendalamku padanya, baru memuncak belakangan ini. Masalahnya, aku tak tahu
kapan pengharapanku ini sampai pada klimaks, apalagi ending. Mungkin berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi,
ataukah seumur hidupku. Aku seakan tak berdaya mengakhirinya. Terus saja aku
meniupkan angin pada balon pengharapanku. Menunggun ia memecahkannya dengan
cara apa pun.
Bukan
tanpa alasan aku memilih mendiamkan perasaanku. Ini demi mereka. Aku tahu,
sejak dahulu, bukan aku yang pertama kali mendambakannya menjadi separuh jiwa. Perasaanku
memang salah, datang terlambat. Ada lelaki yang lebih dahulu mengharapkannya,
yang lebih pantas tentunya. Dialah yang sejak awal kedatangannya menyampaikan
kainginan kepadaku untuk merengkuh perasaan terdalam wanita manis itu. Dia adalah teman
baikku sendiri. Sungguh tak mungkin aku menghianati temanku sendiri, apalagi
terang-terangan menjadi pesaingnya dalam mendapatkan perhatian Tami.
Tidak
sampai di situ saja alasanku memendam perasaan. Lagi, aku memang tak layak
untuknya. Dia bak bidadari yang datang dari kayangan. Tak pantaslah wanita
sepertinya berbalut dengan hiasan yang serba seadanya. Sedangkan jelas, aku tak
punya apa-apa selain perasaanku padanya.
Juga,
tak pantaslah sosok sepertiku bersanding dengannya. Kami bak langit dan bumi,
sangat berbeda. Aku tak mungkin tega melihat orang-orang memandang rendah padanya
kala dia yang cantik berdampingan denganku yang serba pas-pasan dalam segala
hal. Semua orang tahu, kategori pria idaman tak melekat padaku. Luaran yang
serba mewah dan mahal, tak kumiliki. Postur badan dan konstruksi wajahku jauh
dari nilai rata-rata yang dianggap ideal zaman sekarang.
Keadaanku,
sebaliknya dengannya. Tak berlebihan jika aku menilainya sempurna. Dan kurasa
bagi semua mata yang pernah melihatnya, sepandapat denganku. Tampakannya seakan
menegaskan bahwa kecantikan itu objektif. Dia memenuhi kategori kecantikan yang
semestinya. Postur badan, warna kulit, bentuk hidung, mata,
bulu mata, kening, bibir, sampai ukiran-ukiran kecil di wajahnya seperti tahi lalat,
penuh dengan harmoni. Kombinasi yang apik. Jadi, aku tak mungkin mengatakan
matanya jelek karena kurang bulat. Dia jelas indah karena kombinasi semua itu.
Jika
saja kutahu saat ini ada seseorang yang dia idamkan, aku akan meminta pada
Tuhan, jangan aku! Aku tak akan tega
menggengam, atau setidaknya memancing perasaannya yang terdalam, lalu tanpa rasa
bersalah meninggalkannya dalam ruang dan waktu. Dia sendiri tahu, esok aku akan
ke luar negeri, melanjutkan studiku di bidang seni lukis. Tapi adakah
kemungkinan dia mendambakanku?
“Arlan,
kau tahu, hari ini Tami jatuh sakit. Kau tak mau menjenguknya?” tanya Aris,
teman baikku yang kumaksud sedari dulu mengaguminya. Dia pantas menaruh perhatian padanya.
“Kau
bertanya lagi. Tak mungkinlah aku menjenguknya. Tapi kalau menemanimu, aku tak
mungkin menolak,” jawabku, sambil merapikan lukisan sehabis pameran.
“Alah!
Memangnya kau siapa? Temannya kan! Siapa juga aku? Aku bukan siapa-siapanya!”
tegasnya. “Jadi, kau tak perlu permisi kepadaku jika kau ingin apa-apa
padanya.”
“Sudahlah.
Aku tahu semuanya. Tentang kau dan Tami. Di mana lagi kau menumpahkan
kegalauanku kalau bukan kepadaku. Kau pernah cerita kawan!” balasku, mencoba
meledeknya.
Aris
lalu memalingkan wajahnya dari layar handphone, kemudian menoleh kepadaku. “Kau tak tahu apa-apa kawan!”
Kami
pun saling menatap, terdiam untuk beberapa detik.
“Kalau
kau masih menganggap aku sahabatmu, aku mohon jenguk dia hari ini. Sampaikan
kalau aku tak sempat ikut menjenguk. Aku ada kesibukan penting. Kalau pun kau
masih merasa sungkan, setidaknya lakukanlah untuk sahabatmu ini,” tuturnya,
seperti sangat memohon.
Jawabannya
membuatku tak berselera menyanggah. Tapi bukan berarti aku menganggap apa yang
dikatakannya benar. Aku tahu jelas kepribadiannya. Dia memang selalu mencoba
mengaburkan perasaannya. Tapi untuk persoalan memendam, aku tentu lebih lihai.
Hari
ini juga, aku mengunjungi Tami di rumah sakit seorang diri. Jika bukan karena
Aris, aku tak akan berani menghampirinya, terutama jika melakukan tindakan yang
dapat dikategorikan sebuah perhatian. Aku selalu jatuh mental jika bersetatap
dengannya. Aku tak bisa tampil biasa, apalagi sok apalah. Terlebih kalau ia
melebarkan senyuman manisnya seperti biasa, tanpa ada rasa berdosa bahwa itu
membuatku semakin tersiksa.
Sesampainya aku di sampingnya, aku sedikit gugup, sedangkan ia hanya merekahkan senyuman padaku.
“Bagaimana keadaanmu?” Aku terpaksa mendahulinya bertanya.
“Bagaimana keadaanmu?” Aku terpaksa mendahulinya bertanya.
Tanyaku itu hampir bersamaan ketika ia juga menanyaiku, “Bagaimana kabarmu?”
“Aku
baik-baik saja,” tuturku.
“Aku
juga baik-baik saja,” tuturnya dengan tenaga seadanya. Penyakit maag akutnya
kambuh akibat pola makannya yang tak teratur. “Untung kau datang. Aku ingin
menyerahkan sesuatu untukmu.”
Ia
lalu mengambil sebuah bingkisan dan menyerahkannya padaku. Aku benar-benar
tak bisa menebak isinya. Jelas, ini sebuah kejutan untukku.
“Ini
untuk Aris. Tolong berikan padanya,” tuturnya.
Ucapannya
itu membuatku seperti balon yang kehilangan udara sedikit demi sedikit. Ciut!
Aku merasa diciptakan di dunia sebagai pecundang sejati. Betapa dilemanya
menjadi perantara sosok pujaan untuk menyampaikan perasaannya pada sosok lain.
Sungguh! Tapi, setidaknya, aku dapat menyenangkannya kali ini. Aku harus
mengiyakan pintanya.
Setelah
itu, beberapa menit kami lalui untuk berbagi cerita. Aku lebih banyak menjawab
ketimbang bertanya. Aku pun menggambarkan kepadanya tentang pameran lukisan
yang baru saja diselenggarakan. Hanya itu bahan perbincangan yang baik. Bukan
berarti tak banyak tanya untuknya di benakku. Tapi rasa canggung membuatku lebih
suka menahan pertanyaan tentang “aku dan kamu”. Akhirnya, setelah puas tersiksa
memenjarakan diri sendiri, aku pun pamit.
Hari
itu juga, aku langsung menyampaikan bingkisan persegi panjang itu pada Aris.
Aku ingin segera mengetahui apa isi bingkisan yang diberikan seorang wanita
kepada lelaki pujaannya itu.
“Aris,
ini bingkisan dari gadismu. Ambillah tuan,” tuturku, mencoba menggelitiknya.
“Oh,
aku sudah tahu,” tuturnya. Ia tak sedikit pun menampakkan kesan bahwa itu
semacam kejutan. “Kau buka saja langsung!”
Aku
pun menyobek kartas kado yang membungkusnya secara berlapis-lapis. Berusaha
selekas mungkin menghilangkan rasa penasaranku. “Sepertinya sebuah foto berbingkai,” tebakku.
“Bukan.
Jangan bicara dulu sebelum kau tahu,” ajarnya.
“Memangnya
kau tahu?” tantangku. Berselang dua detik, “Ris, ini lukisan. Tapi kok wajah di
lukisannya mirip aku. Apa benar kata orang-orang kalau kita punya wajah yang
mirip?” tanyaku penasaran, sambil meneliti lukisan yang menampilkan sosok mirip aku dan Tami itu. Latar belakang lukisan menampakkan hutan hijau dan langit yang cerah.
Di pojok kanan bawah lukisan, judulnya tertera: Bumi dan Langit.
Aris
tetap terlihat santai menanggapinya. “Aku tahu. Lukisan itu memang untukmu.
Tami sengaja menghabiskan seminggu waktunya hanya untuk melukis wajahmu dan
wajahnya. Ia sengaja memberimu kejutan sekaligus kenang-kenangan, sebelum
kepergianmu besok kuliah ke luar negeri. Kau tahu, mungkin gara-gara itu juga
ia jatuh sakit,” jelasnya.
“Apa?
Bagaimana bisa dia melakukan ini? Dia kan…!” tanyaku.
“Ah,
sudahlah. Kau memang tak tahu apa-apa. Kami tak ada hubungan macam-macam. Kalau
dia mau sih, aku tak mungkin menolak. Tapi dari dulu dia malah lebih
menyukaimu. Kau saja yang tak peka-peka,” sergahnya, sambil menatapku
sejenak dengan mimik datar. “Aku bisa apa sebagai sahabatmu. Haram bagiku memakan
teman sendiri.”
“Jadi?”
tanyaku lagi, seperti butuh diyakinkan lagi atas semua kejutan beruntun ini.
“Iya,
benar! Sudahlah. Tak usah percaya kalau kau tak mau,” solotnya.
Aku
masih tak habis pikir.
“Eh,
satu lagi, jangan pernah katakan lagi bahwa kita mirip. Jelas bahwa aku lebih
tampan darimu. Kecuali di mata Tami, kau mungkin mengalahkan ketampananku,”
tegasnya dengan cara biasa, yang menjengkelkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar