Tanggal 22 April lalu, kembali diperingati Hari Bumi secara internasional. Merunut sejarah, peringatannya dimulai pertama
kali pada tahun 1970. Pencetusnya adalah seorang pengajar lingkungan hidup dari
Negeri Paman Sam, Gaylord Nelson. Keprihatinannya melihat dampak negatif eksploitasi
bumi oleh aktivitas penambangan, membuatnya berinisiatif untuk melakukan unjuk rasa secara damai.
Akhirnya, sampai sekarang, tanggal 22 April menjadi momentum umat manusia untuk
merefleksikan kondisi bumi.
Bumi secara harfiah adalah planet ketiga,
tempat manusia dan beragam makhluk hidup lain menggantungkan hidup dan
kehidupannya. Bumi adalah rumah semua makhluk. Tempat yang nyaman dan damai pada awalnya. Ketika mulanya, bumi
diciptakan dalam keharmonisan. Tapi lambat-laun, bumi mulai kehilangan
keseimbangannya akibat tindak eksploitatif makhluk berakal yang egois:
manusia.
Sudah 46 tahun sudah Hari Bumi diperingati.
Tanpa lelah, para pemerhati dan aktivis lingkungan hidup senantiasa memperingatkan
betapa mengkhawatirkannya keadaan bumi. Tindakan peduli itu terwujud dalam aksi
kampanye, hingga aksi nyata semacam penanaman pohon. Tapi di sisi lain, masih
banyak juga orang yang “ego kemanusiaan” terlalu tinggi, sehingga mengabaikan
kondisi bumi. Demi memuaskan hasrat keduniaannya, kekayaan bumi diperas tanpa
ampun.
Bumi sebagai ekosistem segenap makhluk hidup,
kini semakin tak berdaya. Bumi seakan letih menghidupi semua makhluk bernyawa. Keadaan itu tidak lain akibat ketidakbijakan manusia dalam memanfaatkan
kekayaan bumi. Takdir Rahmadi dalam bukunya Hukum Lingkungan di Indonesia
(2012:6) menuliskan bahwa faktor penyebab masalah lingkungan hidup adalah perkembangan
teknologi, petumbuhan penduduk, motif ekonomi dan tata nilai. Kesemua faktor
itu, tentu menjadi tanggung jawab segenap umat manusia.
Bumi
Menangis
Pemanasan global menjadi ancaman serius bagi
bumi. Peningkatan suhu bumi menyebabkan mencairnya es di daerah kutub. Permukaan
air laut pun semakin meninggi, hingga terjadi banjir di mana-mana. Musim menjadi
tak menentu, sampai berpengaruh terhadap perkembangbiakan makhluk hidup. Pangan dari unsur hewani dan nabati, menjad langka. Akhirnya
terjadi kelaparan anak manusia di mana-mana. Itulah gambaran sekilas yang nanti terjadi jika kelestarian alam bumi tak dijaga. Bumi akan “mengamuk” akibat tindakan tak bersahabat manusia.
Dilansir
dari www.wwf.or.id, laman website World Wildlife Fund for Nature (WWF) indonesia, dilaporkan bahwa
lembaga panel ilmuan seluruh dunia untuk menganalisis perubahan iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
memprediksikan bahwa jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat
hingga 5,8◦C, terhitung dari tahun 1990. Para ahli
perubahan iklim dunia percaya bahwa jika kenaikan temperatur rata-rata pada
tahun 2100 melebihi 2◦C dari suhu rata-rata tahun 1900, maka akan terjadi
kepunahan banyak spesies dan ekosistem. Lebh lanjut, laporan WWF, Habitat
at Risk (2002), menyimpulkan bahwa lebih dari 80% spesies tanaman dan
binatang akan punah bila emisi karbon meningkat dua kali lipat dalam 100 tahun
mendatang.
Serangkaian keadaan bumi yang begitu
memprihatinkan adalah buah dari perilaku manusia. Manusia tak peduli bahwa
keserakahan akan menyebabkan kehancuran bumi yang juga berarti kehancuran umat
manusia. Tanpa rasa kasihan, manusia yang egois, memerah isi bumi secara berlebih-lebihan.
Pembalakan liar, penggunaan bahan fosil secara boros, pencemaran air dan udara,
adalah segelintir tindakan yang jelas merusak bumi sebagai ekosistem seluruh
makhluk.
Terganggunya keseimbangan bumi adalah awal
sebuah malapetaka besar. Ketidakseimbangan kondisi bumi akan menimbulkan
guncangan di sana-sini. Banjir dan longsor adalah bentuk kecil dari pengingatan
bumi. Kejadian semacam itu adalah pertanda bahwa bumi sedang menangis karena
derita. Tangisan itu tak akan berhenti sampai bumi mencapai titik
keseimbangannya. Tak ada daya mencegahnya, sebab secara alami, bumi akan berupaya memulihkan keadaannya sendiri.
Tak pelak, tingkat bencana alam akan selalu berbanding lurus dengan tingkat kerusakan bumi. Jika bumi telah rusak, hanya masalah waktu, ia akan menimbulkan goncangan sekadar untuk mengembalikan keseimbangannya dengan cara yang tentu tak diinginkan manusia. Oleh karena itu, sebelum semuanya menjadi sangat terlambat, sudah saatnya mereflekskan keadaan bumi, lalu berhenti membuat bumi menangis.
Manusia
untuk Bumi
Tak bisa dimungkiri, keserakahan manusia
adalah penyebab utama timbulnya kerusakan di muka bumi. Manusia dengan ego
individualnya, sering lupa dan merasa diri satu-satunya makhluk hidup yang
berhak atas kenyamanan dan kekayaan bumi. Manusia lupa akan kebutuhan intragenerasi maupun antargenerasinya terhadap bumi, apalagi untuk makhluk hidup lainnya. Sikap
tak acuh itu nyata dalam tindak pengerusakan ekosistem yang semakin menjadi-jadi. Padahal, secara tidak
langsung, tindakan itu berarti merusak hidup dan kehidupan umat manusia sendiri.
Manusia untuk bumi bukan berarti manusia sebebas-bebasnya
menggunakan sumber daya bumi. Pemanfaatan bumi tetaplah harus dalam batas
kewajaran untuk kehidupan manusia, sekadar memenuhi kebutuhan, bukan keinginan yang
tak terbatas. Di sisi lain, manusia untuk bumi mengandung makna amanah. Bumi
adalah rumah bagi manusia dan mahkluk hidup lain untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya, sehingga manusia sebagai mahkluk berakal budi, bertanggung jawab
untuk terus menjaga kelestarinnya.
Menjaga bumi harus dianggap sebagai tanggung
jawab manusia secara keseluruhan, bukan individu atau kelompok tertentu. Sebab selama
manusia hidup, ia akan tetap bergantung pada sumber daya bumi demi kehidupannya.
Setiap manusia punya andil dalam
goyahnya keseimbangan bumi. Karena itu, semua manusia pun berkewajiaban
untuk menyeimbangkan antara tindakan pemanfaatan dan upaya pelestarian bumi.
Gerakan penyelamatan bumi, harus menjadi
gerakan global. Hubungan manusia dengan bumi, harus dipandang secara universal. Setiap
manusia di belahan bumi manapun, harus menyadari bahwa sikapnya berpengaruh
terhadap belahan bumi lain. Kesadaran ini harus mampu menggerus pandangan yang
menganggap gerakan penyelamatan bumi bersifat spasial, terbelah-belah atas dasar
ruang dan waktu.
Sudah saatnya prinsip pendekatan terhadap bumi
yang sifatnya kedaerahan, nasional, maupun kawasan tertentu, ditinggalkan. Bukan zamannya
lagi mengkritik atau menuntut sekumpulan manusia di satu wilayah untuk
bertanggung jawab terhadap bumi, tapi di sisi lain, sang pengkritik malah
mengeksploitasi bumi di wilayahnya. Tidak zamannya lagi mengecam atau memaksa sebuah
wilayah menjadi paru-paru dunia, jika pada saat yang sama, para pengecam itu
malah mengepulkan asap beracunnya untuk bumi.
Gerakan penyelamatan bumi saatnya diangkat ke
lingkup global, sebagaimana semangat lahirnya Hari Bumi sedunia. Untuk itu, penting
dilakukan kembali koreksi terhadap aturan hukum nasional maupun internasional
yang masih menganut prinsip “ego kewilayahan” dalam penyelamatan bumi. Langkah
taktisnya adalah mengadakan kerjasama dalam lingkup global, baik digagas oleh pemerintah,
maupun lembaga swadaya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar