Dalam
hidup, tentu selalu ada sosok yang dikagumi. Mereka mungkin dinilai mampu
memberikan motivasi, serta patut untuk dicontoh. Bagi pengagum, sisi baik dari sosok
yang dikagumi tentu lebih diutamakan. Di sisi lain, sisi buruknya tak diperhatikan
atau sengaja tak dihiraukan. Padahal, sebagai sesama manusia, tak ada jaminan
bahwa sosok yang dikagumi tersebut, benar-benar lepas dari keburukan. Mereka
juga, layaknya kita, manusia biasa yang tak sempurna dan tak luput dari
kesalahan.
Memuja
seorang manusia, serta memandangnya sebagai sosok yang sempurna secara jasmani
dan rohani, bukanlah sikap yang bijak. Bahkan sikap semacam itu, bisa
dipastikan akan menimbulkan bumerang. Pada satu waktu, seseorang yang dielu-elukan
dahulu, akan terkuak juga sisi buruknya, baik karena kekhilafan sendiri maupun karena
kesengajaannya. Akhirnya, sikap militan kita untuk selalu mempertahankan image baik sang idola, bahkan
menggembar-gemborkannya, berujung memalukan bagi diri kita sendiri.
Akibat
pemujaan atau kekaguman yang berlebih-lebihan juga, berpotensi menimbulkan
kekecewaan yang mendalam. Jika saja kita mengagumi seseorang karena sifatnya
yang alim, tetapi suatu waktu ia melakukan perbuatan zalim, maka kegalauan akan
datang melanda. Ataukah jika kita mengagumi seseorang karena keelokan wajahnya,
lalu suatu waktu ia menjadi buruk rupa, maka runtuhlah semua kekaguman, bahkan
sampai turut menghina. Perubahan sikap itu bak peribahasa panas setahun dihapuskan dengan hujan sehari.
Dampak
negatif lanjutan dari sikap mengagumi secara berlebihan, bukan saja berupa kekecewaan pada
sosok yang dikagumi, tetapi juga pada alasan ia dikagumi, baik yang bentuknya
fisik maupun kejiwaan. Apalagi jika sang pengagum, masih terbiasa berpikir bahwa
seperangkat nilai, hanya melekat pada sosok tertentu. Implikasi sikap latah itu, dapat berujung pada anggapan bahwa segala sesuatu yang sebelumnya
melekat pada sosok yang dikagumi, juga menjadi buruk. Keadaannya semakin
gawat lagi jika pola pikir menyesatkan, berupa sikap gemar menggeneralisasi atas
dasar secuil sampel, masih dianut.
Semisal,
mengagumi seeorang karena kemampuan dalam memimpinnya yang baik. Itu dilihat sejalan
dengan perangai santunnya dan tindak-tanduknya yang saleh. Tapi akhirnya, pemimpin
yang dikagumi itu melakukan sebuah berbuatan yang sangat memamalukan, semisal
korupsi. Akhinya, bukan saja kekecewaan yang muncul terhadap sosok tersebut, tetapi
dapat juga berujung pada pengambilan kesimpulan bahwa jika orang soleh jadi
pemimpin, pasti ujung-ujungnya korupsi, atau tak amanah.
Bisa
dibayangkan, betapa fatalnya jika mengagumi secara membabi buta, tanpa dibarengi
kesadaran bahwa ia tetaplah manusia yang tak luput dari salah. Sikap kolot itu
dapat memasung seseorang dalam penjara keputusasaaan, hingga berhenti meneguhkan
keyakinannya untuk mengikuti contoh baik dari yang dikagumi, jika borok-boroknya
telah terkuak. Hanya karena sang idola melakukan perbuatan yang buruk, nilai kebaikan
yang sebelumnya menjadi alasan kekaguman pun, dianggap buruk pula. Akibatnya,
si pengagum akan berubah 180 derajat, menjadi pembenci kebaikan yang notabene
tetaplah kebaikan.
Akhirnya,
mangagumi seseorang dalam batas-batas yang wajar karena ia mampu memberikan
contoh yang baik, tentu merupakan sikap yang baik. Kebaikan seseorang, entah ia
siapa, memang patut diteladani. Apalagi, pesan kebaikan dapat datang dari mana
saja. Dan jelas bahwa nilai kebaikan maupun keburukan dapat melekat pada
siapa pun. Untuk itu, kekaguman selayaknya tidak melekat pada sosok, tetapi
pada kebaikan apa yang dipancarkan olehnya. Itu sebab mengagumi seseorang secara
berlebihan, hingga memuja, rentan berujung pada kesesatan. Perlu dicamkan bahwa
manusia tetaplah makhluk yang tak luput dari kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar