Sabtu, 09 April 2016

Trauma Mengagumi


Dalam hidup, tentu selalu ada sosok yang dikagumi. Mereka mungkin dinilai mampu memberikan motivasi, serta patut untuk dicontoh. Bagi pengagum, sisi baik dari sosok yang dikagumi tentu lebih diutamakan. Di sisi lain, sisi buruknya tak diperhatikan atau sengaja tak dihiraukan. Padahal, sebagai sesama manusia, tak ada jaminan bahwa sosok yang dikagumi tersebut, benar-benar lepas dari keburukan. Mereka juga, layaknya kita, manusia biasa yang tak sempurna dan tak luput dari kesalahan.

Memuja seorang manusia, serta memandangnya sebagai sosok yang sempurna secara jasmani dan rohani, bukanlah sikap yang bijak. Bahkan sikap semacam itu, bisa dipastikan akan menimbulkan bumerang. Pada satu waktu, seseorang yang dielu-elukan dahulu, akan terkuak juga sisi buruknya, baik karena kekhilafan sendiri maupun karena kesengajaannya. Akhirnya, sikap militan kita untuk selalu mempertahankan image baik sang idola, bahkan menggembar-gemborkannya, berujung memalukan bagi diri kita sendiri.

Akibat pemujaan atau kekaguman yang berlebih-lebihan juga, berpotensi menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Jika saja kita mengagumi seseorang karena sifatnya yang alim, tetapi suatu waktu ia melakukan perbuatan zalim, maka kegalauan akan datang melanda. Ataukah jika kita mengagumi seseorang karena keelokan wajahnya, lalu suatu waktu ia menjadi buruk rupa, maka runtuhlah semua kekaguman, bahkan sampai turut menghina. Perubahan sikap itu bak peribahasa panas setahun dihapuskan dengan hujan sehari.

Dampak negatif lanjutan dari sikap mengagumi secara berlebihan, bukan saja berupa kekecewaan pada sosok yang dikagumi, tetapi juga pada alasan ia dikagumi, baik yang bentuknya fisik maupun kejiwaan. Apalagi jika sang pengagum, masih terbiasa berpikir bahwa seperangkat nilai, hanya melekat pada sosok tertentu. Implikasi sikap latah itu, dapat berujung pada anggapan bahwa segala sesuatu yang sebelumnya melekat pada sosok yang dikagumi, juga menjadi buruk. Keadaannya semakin gawat lagi jika pola pikir menyesatkan, berupa sikap gemar menggeneralisasi atas dasar secuil sampel, masih dianut. 

Semisal, mengagumi seeorang karena kemampuan dalam memimpinnya yang baik. Itu dilihat sejalan dengan perangai santunnya dan tindak-tanduknya yang saleh. Tapi akhirnya, pemimpin yang dikagumi itu melakukan sebuah berbuatan yang sangat memamalukan, semisal korupsi. Akhinya, bukan saja kekecewaan yang muncul terhadap sosok tersebut, tetapi dapat juga berujung pada pengambilan kesimpulan bahwa jika orang soleh jadi pemimpin, pasti ujung-ujungnya korupsi, atau tak amanah.

Bisa dibayangkan, betapa fatalnya jika mengagumi secara membabi buta, tanpa dibarengi kesadaran bahwa ia tetaplah manusia yang tak luput dari salah. Sikap kolot itu dapat memasung seseorang dalam penjara keputusasaaan, hingga berhenti meneguhkan keyakinannya untuk mengikuti contoh baik dari yang dikagumi, jika borok-boroknya telah terkuak. Hanya karena sang idola melakukan perbuatan yang buruk, nilai kebaikan yang sebelumnya menjadi alasan kekaguman pun, dianggap buruk pula. Akibatnya, si pengagum akan berubah 180 derajat, menjadi pembenci kebaikan yang notabene tetaplah kebaikan.

Akhirnya, mangagumi seseorang dalam batas-batas yang wajar karena ia mampu memberikan contoh yang baik, tentu merupakan sikap yang baik. Kebaikan seseorang, entah ia siapa, memang patut diteladani. Apalagi, pesan kebaikan dapat datang dari mana saja. Dan jelas bahwa nilai kebaikan maupun keburukan dapat melekat pada siapa pun. Untuk itu, kekaguman selayaknya tidak melekat pada sosok, tetapi pada kebaikan apa yang dipancarkan olehnya. Itu sebab mengagumi seseorang secara berlebihan, hingga memuja, rentan berujung pada kesesatan. Perlu dicamkan bahwa manusia tetaplah makhluk yang tak luput dari kesalahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar