Kamis, 28 April 2016

Perempuan untuk Ayah

Setiap pagi, Taslim tak sempat lagi duduk di taman sambil menyeruput kopi hitam. Tak ada lagi waktu untuk mengamati detail berita di koran harian. Damainya sinar matahari pagi dan kicau burung liar yang bertandang di pepohonan sekitar rumahnya, juga tak lagi ia nikmati. Setiap pagi, ia harus bangun lebih cepat. Sejumlah pekerjaan kecil nan rumit, menanti. Mulai dari membersihkan rumah, memasak, menyetrika baju, sampai mempersiapkan perlengkapan sekolah untuk anak semata wayangnya, Dila.
 
Taslim kini adalah seorang kepala keluarga, merangkap jadi ibu rumah tangga. Ia berpisah dengan istrinya dua tahun lalu, saat umur Dila masih setahun. Hidupnya jelas tak akan serepot sekarang jika saja istrinya masih ada. Sang istri, adalah sosok yang bertanggung jawab. Ia tak pernah sekali pun mengeluhkan urusan pekerjaan rumah. Ia jelas istri sekaligus ibu yang baik.

Kini, Dila, buah cinta Taslim bersama sang istri, mulai kesepian dan merundukan sosok ibu. Berjalan setahun di taman kanak-kanak, membuatnya mengerti bahwa seorang gadis kecil sepertinya, seharusnya punya sosok yang bisa dipanggil ibu di mana pun. Ia jelas iri melihat teman-temannya yang selalu diantar-jemput ibu mereka ke tempat belajar setiap hari. 

“Ayah, apakah aku memang tak punya ibu?” tanya Dila pada ayahnya.

Pertanyaan itu mengejutkan Taslim yang tengah membersihkan rerumputan halaman rumah. Dila tak pernah mempertanyakan persoalan ibu selama ini. Taslim pun jadi kelabakan menyusun kalimat yang tepat untuk memberikan penjelasan sederhana kepada anak kecilnya. Ia tak mungkin menjelaskan panjang lebar tentang kisah cintanya bersama sang istri. Itu dapat membuat Dila kebingungan, atau malah sedih tak berujung.

Taslim mendekati anaknya yang tengah duduk di anak tangga rumah panggung mereka. “Ibu kamu sudah tidak ada Nak. Dia sudah pergi. Tapi kau jangan khawatir, Ayah masih ada kok,” balasnya, sambil membelai rambut Dila yang sedikit berombak. 

Dila yang dasarnya periang, hanya murung sedari tadi. Ia terlihat lesu, menunduk, sambil mengelus-elus kucing kesayangan yang di pangkunya. Jawaban ayahnya seperti tak berhasil melenyapkan kegalauannya. 

“Yang pasti, dulu, Ibumu sangat sayang padamu. Ia juga sangat cantik. Sangat mirip denganmu Anak manis…!” seru Taslim, sambil menjewer pipi tembem Dila. Ia mencoba menghibur anaknya.

Cara Taslim sepertinya berpengaruh. Dila mulai tersipu. Senyumnya lalu merekah, sampai tampak dua gigi seri atasnya tanggal. 

“Tapi, aku ingin ibu Ayah. Aku malu-malu ke sekolah tanpa seorang ibu. Teman-temanku semua punya ibu, sedangkan aku hanya punya Ayah,” tutur Dila dengan setengah risau. “Apa suatu saat Ibu akan kembali?”

Dila akhirnya melontarkan pertanyaan yang dielakkan Taslim selama ini. Itu sulit dijawabnya. Jika ia bercerita sejujurnya, si anak pasti akan merengek agar ibunya segera kembali. Tapi jika ia berbohong, ia takut anaknya itu tidak akan memercayainya lagi, sekali pun. Dan akhirnya, ia menutupi kebenaran untuk saat ini. Ia takut Dila terlalu berharap ibunya akan kembali suatu saat, padahal kemungkinan itu terasa mustahil.

“Ayah kan sudah bilang, Ibumu telah pergi,” tutur Taslim sambil memandangi bola mata Dila yang tampak berair. “Kau mungkin tak bertemu Ibumu di dunia, tapi semoga Tuhan mempertemukanmu di surga. Sudah, kamu tak usah sedih.”

Di balik tutur Taslim, sebenarnya, tak ada yang benar-benar pergi untuk meninggalkan. Dia dan istrinya masih sedunia. Perpisahan bukanlah keinginan Taslim ataupun istrinya. Mereka saling mencintai. Restu ibu mertuanyalah yang menjadi akar masalah. Kehidupan Taslim dalam keterbatasan daya ekonomi, menjadi alasannya. Padalah untuk kategori lain, Taslim jelas sosok suami dan ayah idaman. Ia punya perilaku terpuji, soleh pula. Tapi itu tak pernah dianggap cukup.

Demi cinta, mereka akhirnya pergi sejauh mungkin, ke sebuah desa di pulau lain, tempat Taslim dan Dila sekarang. Mereka pun menikah di bawah tangan. Kehidupan mereka setelah itu, berjalan baik-baik saja dan membahagiakan. Sampai tahun kedua pernikahan, mereka akhirnya dikaruniai seorang anak. Tapi kehadiran cucu itu, tak juga membuat hati ibu mertunya luluh. 

Setahun kemudian, ibu mertua Taslim sakit parah. Sang istri pun harus memilih di antara dua pilihan yang berat: tinggal demi anak dan suaminya, atau pergi demi ibu kandungnya sendiri. Dan akhirnya, ia memilih pulang ke kampung halaman orangtuanya. Pergi jauh, meninggalkan Taslim dan buah hati mereka. Sampai saat ini, ia pun tak pernah kembali lagi.

Di tengah kalut perasaan mereka berdua, sirine penjual es krim terdengar. Taslim mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia mengajak Dila untuk membeli sekerucut es krim coklat favoritnya. Jika cara itu mujur, ia akan lupa masalah tentang ibu.

Mereka bedua lalu duduk pada kursi deret taman, di bawah pepohonan rindang. Taslim yakin Dila tak akan lagi membahas tentang ibu.

“Ayah, aku punya guru perempuan yang sangat baik. Aku selalu menganggap ia seperti ibu kandungku sendiri. Ia juga tak keberatan kalau aku memanggilnya mama. Aku rasa, jika saja Ibu masih ada, dia pasti sesayang itu padaku,” tutur Dila dengan raut wajah cerianya.

Pernyataan itu membuat Taslim terperangah. Ia tak menyangka perhatian anaknya masih tergantung di pembahasan sebelumnya. Tapi ia bersyukur, Dila tak lagi tampak sedih. 

“Dia juga memiliki nama yang mirip dengan namaku. Kalau aku Adila Mariska, dia Akila Mariska Ruz,” tutur Dila, lagi.

“Apa? Siapa namanya, Nak?” tanya Taslim terbata-bata. Matanya terbelalak. Tangannya kaku dan bergetar memegang cangkang es krim.

“Akila Mariska Ruz, ayah,” tegas Dila. “Memangnya kenapa? Ayah mengenalnya?”

Nama itu jelas terpahat di memori Taslim. Ia jadi tak bisa menampik untuk menduga-duga. Nama yang terdiri dari tiga kata dengan dua belas huruf, tentu punya beragam kemungkinan kombinasi suku kata. Tapi, Dila terang mengeja kata A-ki-la Ma-ris-ka Ruz. Itu persis dengan sebuah nama yang dikenalnya sejak lama. Nama seorang wanita yang pernah sehidup dengannya. Wanita itu jugalah yang memberikan nama untuk gadis kecilnya.

“Ayah kok diam saja?” Dila mulai heran, tapi tak benar-benar tahu apa yang terjadi.

Taslim memaksa diri merespons sewajarnya. Ia tak ingin pertanyaan mendetail meluncur bertubi-tubi dari mulut mungil sang anak. “Di daerah sini kan cuma ada beberapa orang Nak. Mungkin saja aku mengenalnya. Tapi entahlah,” balasnya.

“Eh, Ayah, katanya, dia juga tidak punya suami,” tutur Dila dengan raut wajahnya yang mengemaskan. “Kapan-kapan, aku ingin memperkenalkan ayah padanya. Bisa kan Ayah?” 

Ajakan itu sangat menantang Taslim. Tapi untuk sementara, agar anaknya tak cemberut lagi, Taslim pun menganggukkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar