Setiap
pagi, Taslim tak sempat lagi duduk di taman sambil menyeruput kopi hitam. Tak ada
lagi waktu untuk mengamati detail berita di koran harian. Damainya sinar
matahari pagi dan kicau burung liar yang bertandang di pepohonan sekitar rumahnya, juga tak lagi ia nikmati. Setiap pagi, ia harus bangun lebih
cepat. Sejumlah pekerjaan kecil nan rumit, menanti. Mulai dari membersihkan
rumah, memasak, menyetrika baju, sampai mempersiapkan perlengkapan sekolah
untuk anak semata wayangnya, Dila.
Taslim
kini adalah seorang kepala keluarga, merangkap jadi ibu rumah tangga. Ia
berpisah dengan istrinya dua tahun lalu, saat umur Dila masih setahun. Hidupnya
jelas tak akan serepot sekarang jika saja istrinya masih ada. Sang istri,
adalah sosok yang bertanggung jawab. Ia tak pernah sekali pun mengeluhkan
urusan pekerjaan rumah. Ia jelas istri sekaligus ibu yang baik.
Kini,
Dila, buah cinta Taslim bersama sang istri, mulai kesepian dan merundukan sosok
ibu. Berjalan setahun di taman kanak-kanak, membuatnya mengerti bahwa seorang
gadis kecil sepertinya, seharusnya punya sosok yang bisa dipanggil ibu di mana
pun. Ia jelas iri melihat teman-temannya yang selalu diantar-jemput ibu mereka
ke tempat belajar setiap hari.
“Ayah,
apakah aku memang tak punya ibu?” tanya Dila pada ayahnya.
Pertanyaan
itu mengejutkan Taslim yang tengah membersihkan rerumputan halaman rumah. Dila
tak pernah mempertanyakan persoalan ibu selama ini. Taslim pun jadi kelabakan
menyusun kalimat yang tepat untuk memberikan penjelasan sederhana kepada anak
kecilnya. Ia tak mungkin menjelaskan panjang lebar tentang kisah cintanya
bersama sang istri. Itu dapat membuat Dila kebingungan, atau malah sedih tak
berujung.
Taslim
mendekati anaknya yang tengah duduk di anak tangga rumah panggung mereka. “Ibu
kamu sudah tidak ada Nak. Dia sudah pergi. Tapi kau jangan khawatir, Ayah masih
ada kok,” balasnya, sambil membelai rambut Dila yang sedikit berombak.
Dila
yang dasarnya periang, hanya murung sedari tadi. Ia terlihat lesu, menunduk,
sambil mengelus-elus kucing kesayangan yang di pangkunya. Jawaban ayahnya
seperti tak berhasil melenyapkan kegalauannya.
“Yang
pasti, dulu, Ibumu sangat sayang padamu. Ia juga sangat cantik. Sangat mirip
denganmu Anak manis…!” seru Taslim, sambil menjewer pipi tembem Dila. Ia
mencoba menghibur anaknya.
Cara
Taslim sepertinya berpengaruh. Dila mulai tersipu. Senyumnya lalu merekah,
sampai tampak dua gigi seri atasnya tanggal.
“Tapi,
aku ingin ibu Ayah. Aku malu-malu ke sekolah tanpa seorang ibu. Teman-temanku
semua punya ibu, sedangkan aku hanya punya Ayah,” tutur Dila dengan setengah
risau. “Apa suatu saat Ibu akan kembali?”
Dila
akhirnya melontarkan pertanyaan yang dielakkan Taslim selama ini. Itu sulit dijawabnya.
Jika ia bercerita sejujurnya, si anak pasti akan merengek agar ibunya segera
kembali. Tapi jika ia berbohong, ia takut anaknya itu tidak akan memercayainya
lagi, sekali pun. Dan akhirnya, ia menutupi kebenaran untuk saat ini. Ia takut
Dila terlalu berharap ibunya akan kembali suatu saat, padahal kemungkinan itu
terasa mustahil.
“Ayah
kan sudah bilang, Ibumu telah pergi,” tutur Taslim sambil memandangi bola mata Dila
yang tampak berair. “Kau mungkin tak bertemu Ibumu di dunia, tapi semoga Tuhan
mempertemukanmu di surga. Sudah, kamu tak usah sedih.”
Di
balik tutur Taslim, sebenarnya, tak ada yang benar-benar pergi untuk
meninggalkan. Dia dan istrinya masih sedunia. Perpisahan bukanlah keinginan
Taslim ataupun istrinya. Mereka saling mencintai. Restu ibu mertuanyalah yang
menjadi akar masalah. Kehidupan Taslim dalam keterbatasan daya ekonomi, menjadi
alasannya. Padalah untuk kategori lain, Taslim jelas sosok suami dan ayah
idaman. Ia punya perilaku terpuji, soleh pula. Tapi itu tak pernah dianggap
cukup.
Demi
cinta, mereka akhirnya pergi sejauh mungkin, ke sebuah desa di pulau lain,
tempat Taslim dan Dila sekarang. Mereka pun menikah di bawah tangan. Kehidupan
mereka setelah itu, berjalan baik-baik saja dan membahagiakan. Sampai tahun
kedua pernikahan, mereka akhirnya dikaruniai seorang anak. Tapi kehadiran cucu itu,
tak juga membuat hati ibu mertunya luluh.
Setahun
kemudian, ibu mertua Taslim sakit parah. Sang istri pun harus memilih di antara
dua pilihan yang berat: tinggal demi anak dan suaminya, atau pergi demi ibu
kandungnya sendiri. Dan akhirnya, ia memilih pulang ke kampung halaman
orangtuanya. Pergi jauh, meninggalkan Taslim dan buah hati mereka. Sampai saat
ini, ia pun tak pernah kembali lagi.
Di
tengah kalut perasaan mereka berdua, sirine penjual es krim terdengar. Taslim
mencoba mengalihkan perhatian anaknya. Ia mengajak Dila untuk membeli sekerucut
es krim coklat favoritnya. Jika cara itu mujur, ia akan lupa masalah tentang
ibu.
Mereka
bedua lalu duduk pada kursi deret taman, di bawah pepohonan rindang. Taslim yakin
Dila tak akan lagi membahas tentang ibu.
“Ayah,
aku punya guru perempuan yang sangat baik. Aku selalu menganggap ia seperti ibu
kandungku sendiri. Ia juga tak keberatan kalau aku memanggilnya mama. Aku rasa,
jika saja Ibu masih ada, dia pasti sesayang itu padaku,” tutur Dila dengan raut
wajah cerianya.
Pernyataan
itu membuat Taslim terperangah. Ia tak menyangka perhatian anaknya masih
tergantung di pembahasan sebelumnya. Tapi ia bersyukur, Dila tak lagi tampak
sedih.
“Dia
juga memiliki nama yang mirip dengan namaku. Kalau aku Adila Mariska, dia Akila
Mariska Ruz,” tutur Dila, lagi.
“Apa?
Siapa namanya, Nak?” tanya Taslim terbata-bata. Matanya terbelalak. Tangannya
kaku dan bergetar memegang cangkang es krim.
“Akila
Mariska Ruz, ayah,” tegas Dila. “Memangnya kenapa? Ayah mengenalnya?”
Nama
itu jelas terpahat di memori Taslim. Ia jadi tak bisa menampik untuk
menduga-duga. Nama yang terdiri dari tiga kata dengan dua belas huruf, tentu punya
beragam kemungkinan kombinasi suku kata. Tapi, Dila terang mengeja kata A-ki-la
Ma-ris-ka Ruz. Itu persis dengan sebuah nama yang dikenalnya sejak lama. Nama seorang
wanita yang pernah sehidup dengannya. Wanita itu jugalah yang memberikan nama
untuk gadis kecilnya.
“Ayah
kok diam saja?” Dila mulai heran, tapi tak benar-benar tahu apa yang terjadi.
Taslim
memaksa diri merespons sewajarnya. Ia tak ingin pertanyaan mendetail meluncur
bertubi-tubi dari mulut mungil sang anak. “Di daerah sini kan cuma ada beberapa
orang Nak. Mungkin saja aku mengenalnya. Tapi entahlah,” balasnya.
“Eh,
Ayah, katanya, dia juga tidak punya suami,” tutur Dila dengan raut wajahnya
yang mengemaskan. “Kapan-kapan, aku ingin memperkenalkan ayah padanya. Bisa kan
Ayah?”
Ajakan
itu sangat menantang Taslim. Tapi untuk sementara, agar anaknya tak cemberut
lagi, Taslim pun menganggukkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar