Selasa, 26 April 2016

Perempuan dalam Arus Emansipasi

Tanggal 21 April adalah hari yang spesial untuk kaum perempuan. Di waktu itulah, pada tahun 1879, Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Hari itu lalu diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini, sebuah moementum untuk mengenang jasa pahlawan emansipasi wanita itu. Warga seantero Nusantara senantiasa marayakannya melalui perefleksian jasa Kartini pada keadaan perempuan Indonesia kekinian. Sejumlah obrolan di media cetak maupun elektronik, berlomba-lomba mengulas kembali kontribusi perempuan dalam kehidupan bernegara dari masa ke masa. 

Jasa Kartini memang sulit dilupakan, terutama dalam upayanya mewujudkan kesetaraan gender. Kartini seakan jadi lilin kecil dalam ruang gelap gulita kaum perempuan Indonesia. Meski lahir di masa tradisi paternalistis mendominasi, bahkan dalam keluarganya sendiri yang tergolongan priyayi, ia tetap teguh berjuang demi mengangkat derajat dan martabat perempuan. Ia berani berpikir dan bersikap untuk melawan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan. “Perberontakan” Kartini itu terabadikan dalam tulisannya lewat aksi surat-menyurat dengan kawan penanya di Belanda. Tulisannya itu kini selalu menjadi rujukan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan dengan kaum lelaki. 

Atas jasanya, di Indonesia, kata emansipasi kini lekat dengan Kartin. Ia adalah “peletak batu pertama” dalam upaya mendobrak stigma bahwa perempuan hanyalah pelengkap kaum lelaki. Kejernihan pemikirannya telah menawar sistem kultural kuno yang mendudukkan perempuan sebatas dalam urusan domestik rumah tangga. Ia menjadi cermin untuk melawan diktum adat istiadat yang mengerangkeng kaum perempuan. Lewat gagasannya tentang emansipasi, perempuan di masa kini telah bisa mengecap kehidupan bernuansa kesetaraan, sebagaimana kaum lelaki, dalam segala persoalan.

Mungkin saja Kartini tak pernah menyangka bahwa gagasannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Ia mungkin juga tak pernah meyakini bahwa perempuan zaman sekarang, telah hidup secara merdeka di samping kaum lelaki. Mungkin ia tak pernah membayangkan bahwa suatu saat, akan ada perempuan yang menjadi hakim, bos perusahaan, bahkan presiden. Apalagi jika mengingat bahwa pemikirannya sangatlah sederhana. Ia hanya ingin perempuan mendapatkan hak-hak sosialnya sebagai manusia. Bisa dikatakan, perkembangan emansipasi melampauai dugaan Kartini di zamannya.

Perlindungan Hukum bagi Perempuan

Menilik upaya perlindungan terhadap perempuan saat ini, tampak bahwa pemenuhan hak-hak perempuan telah terjamin dengan baik. Sudah banyak aturan hukum yang diciptakan khusus untuk melindungi perempuan sebagai kaum yang rentan terhadap tindak diskriminasi dari kaum lelaki. 

Di tataran internasional, pada tahun 1979, Majelis Umum PBB telah melahirkan Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang alih bahasannya berarti Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia pun telah meratifikasinya  sejak tahun 1984 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Konvensi itu menjadi instrumen hukum internasional yang menekankan kepada setiap negara anggota yang telah meratifikasinya, untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Bahkan, konvensi ini juga melindungi hak istimewa kaum perempuan sebagaimana kodratnya, misalnya hak-hak perempuan karena hamil dan melahirkan.

Dalam lingkup nasional, juga telah banyak instrumen hukum yang dibuat untuk melindungi kaum perempuan dari tindak diskriminasi dan kekerasan. Misalnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang jelas ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan. Dalam upaya melindungi dan menjamin terpenuhinya hak perempuan, juga dibentuk sejumlah kelembagaan negara, semisal Kemanterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Tidak berhenti sampai pemberian perlindungan, aturan hukum nasional pun telah banyak yang dirancang khusus mewujudkan kesetingkatan kaum perempuan dengan laki-laki. Di bidang politik, misalnya, diamanatkan pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai politik, sebagaimana amanah UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU. No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 

Ketentuan di atas diikuti oleh UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU tersebut menetapkan bahwa daftar bakal calon anggota legislatif yang disusun partai politik harus memenuhi sedikitnya 30% keterwakilan perempuan. Tujuan aturan tersebut adalah untuk memberikan jaminan terakomodirnya keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, agar nantinya, mampu mewakili aspirasi kaumnya yang selama ini dianggap terabaikan.

Keberhasilan Emansipasi

Pada dasarnya emansipasi tiada lain adalah persamaan hak di berbagai aspek kehidupan. Persamaan berarti memberi hak yang setara, tanpa ada diskriminasi. Dalam konteks emansipasi wanita, berarti perempuan harus diberikan peluang yang sama dengan kaum lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Oleh karena itu, tujuan gerakan emansipasi wanita adalah mewujudkan kesetaraan akses bagi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan secara adil.

Tingkat keberhasilan perjuangan emansipasi wanita, harus dilihat dari tingkat keterbukaan ruang publik untuk keterlibatan kaum perempuan, bukan dengan melihat data kuntitatif tentang jumlah kaum perempuan dalam bidang tertentu. Emansipasi sudah dianggap tercapai bila dalam segala aspek kehidupan, perempuan tidak lagi ditempatkan sebagai pihak yang dinomorduakan. Untuk itu, jika secara nyata, perempuan diberikan kebebasan untuk berpartisipasi dalam ruang publik, tanpa adanya diskriminasi, maka kesetaraan atau emansipasi sejatinya telah tercapai.

Kesetaraan dalam konteks emanspasi wanita, bukan berarti sama secara kuantitatif dengan laki-laki. Kesetaraan dalam konteks itu harus diartikan sebagai terwujudnya keadilan untuk terlibat dalam ruang publik. Ini berarti bahwa kesetaraan perempuan dengan lelaki, tidak boleh dihitung secara matematis, semisal membandingkan jumlah perempuan dengan laki-laki dalam jabatan publik. Kesetaraan dalam emansipasi berarti memberi peluang yang sama, dengan tetap menghormati kekhususan kaum perempuan menurut kodratnya sebagai kaum perempuan.

Penjatahan kuota perempuan dalam urusan publik, semisal dalam kepengurusan partai politik, bukanlah konsep yang bijak. Penjatahan yang bahkan dipaksakan untuk terpenuhi itu, pada dasarnya telah melenceng dari semangat emansipasi. Hal itu karena secara tidak sadar, kedudukan perempuan telah dikultuskan di atas kaum lelaki. Selain itu, emansipasi dalam tafsiran itu, juga bukan lagi terkait kerelaan untuk berpartisipasi, tetapi dupayakan dengan paksaan melalui aturan formal.

Pengkhususan kaum perempuan dalam berbagai produk hukum, seyogianya tidak perlu terjadi. Pengkhususan malah menimbulkan stigma laten bahwa perempuan memang makhluk yang lemah tak berdaya. Selayaknya, aturan hukum cukup jika menjamin bahwa semua proses dalam segala aspek kehidupan berbangsa, tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Masalah apakah perempuan masih minoritas dalam jabatan publik atau tidak, itu seharusnya tak perlu dipersoalkan.

Dilansir di www.beritasatu.com, proporsi keterwakilan perempuan di badan legislatif tidak mencapai 30%. Bahkan jumlahnya mengalami penurunan dari 18,2% pada tahun 2009 menjadi 17,3% di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6% tahun 2009 menjadi 37% pada 2014. Pemilu Legislatif tahun 2014 hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.

Tidak tercapainya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di bidang publik, khususnya di badan legislatif menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih perlu ditingkatkan. Meski demikian, kenyataan itu tidak berarti bahwa emansipasi belum berarti apa-apa, sebab secara nyata, akses untuk keterlibatan perempuan telah terbuka lebar, bahkan dilindungi secara hukum. Kendala tidak terpenuhinya kuota tersebut tidak lain karena pemilih secara nyata tidak melihat jenis kelamin dalam memilih, tetapi melihat pada kapabelitas dan integritas calon. Untuk itu, perbaikan kualitas pemimpin lebih baik daripada meributkan soal perbandingan kuantitas berdasarkan jenis kelamin.

Sudah seharusnya perempuan Indonesia dewasa ini, keluar dari stigma ketidaksetaraan gender. Peluang dalam segala aspek kehidupan, telah terbuka bagi perempuan untuk pengembangan dirinya dalam semua lingkup kehidupan. Sisa bagaimana perempuan memanfaatkan kondisi itu secara baik. Upaya mencapai kesetaraan dalam artian kesamaan kuantitatif antarjenis kelamin, sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih secara kodrati, perempuan dan laki-laki, memang tak bisa dipersamakan. Untuk itu, perjuangan emansipasi juga tak boleh melenceng dari kodrat keperempuanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar