Kamis, 14 April 2016

Belajar dari Kasus Depari

Kata-kata Depari mencuat di sejumlah media sejak dua minggu lalu, tepat pada tanggal 6 April 2016. Kejadiannya bermula dari ulah seorang siswi bernama Sonya Depari. Selepas melaksanakan prosesi Ujian Nasional (UN) tingkat SMA, ia bersama enam orang temannya melakukan konvoi menggunakan Mobil merek Honda Brio. Ketika melintas di jalan raya dengan pintu belakang mobil yang terbuka, seorang Polwan, Ipda Perida Panjaitan, menahan mobil tersebut.
 
Bukannya legowo menerima bahwa tindakannya salah, Sonya Depari bersama teman-temannya malah berang atas sikap Sang Polwan. Ia pun mengaku-aku sebagai anak dari Irjen Pol Arman Depari, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika (BNN) Nasional. Dengan alasan itu, ia mengancam akan mengadukan kejadian tersebut kepada “ayahnya”. Ucapan Sonya dibarengi dengan wanti-wanti bahwa Sang Polwan akan turun jabatan akibat menahan mobilnya. Ipda Perida tak gentar. Ia tetap memberikan nasihat kepada Sonya dkk. agar tidak melanjutkan konvoi mereka, lalu pulang.

Mengetahui namanya dicatut, Arman Depari lekas memberikan konfirmasi bahwa Sonya bukanlah anaknya. Bahkan sempat tersiar kabar kalau ia tak mengenal Sonya. Belakangan, Ia menyatakan bahwa Sonya adalah keponakannya, anak dari saudaranya sendiri, Makmur Depari. Atas kejadian tersebut, Arman Depari pun meminta maaf atas kelakuan keponakannya, serta memuji tindakan Ipda Perida yang telah melakukan tugasnya dengan baik. 

Menilik dari rangkaian kejadian yang dialami keluarga Depari, ada beberapa pelajaran yang perlu direnungi secara bersama-sama, untuk memperoleh pelajaran hidup yang bermanfaat:

Berhentilah Menghujat di Media Sosial

Video Sonya yang membentak dan mengancam Ipda Perida akhirnya menjadi viral di media sosial. Akibatnya, bully dengan maksud memberikan “pelajaran pahit” kepadanya pun, menjadi-jadi. Keadaan itu lalu dinilai sebagai penyebab meninggalnya ayah Sonya, Makmur Depari, akibat serangan jantung. Mirisnya, meski kedua hal itu diduga kuat berkaitan, kata-kata hujatan tetap saja mengalir di media sosial. 

Adanya dampak negatif dari aksi mem-bully seseorang di media sosial, harusnya menjadi pelajaran berharga. Cukuplah kepergian Makmur Depari –kalau pun itu ternyata benar terkait langsung dengan aksi bully- menjadi bukti pentingnya pengendalian diri dalam meramu aksara di media sosial. Mudahnya akses untuk turut berkomentar, serta lemahnya penegakan aturan terkait aksi penghujatan di media sosial, harusnya tak menjadi alasan untuk lupa etika di dunia maya. Tindakan buruk menurut persespsi pribadi, tak seharusnya disikapi dengan cara yang buruk pula, semisal menghujat lewat media sosial. Tak ada jaminan bahwa tindakan orang lain di dunia nyata, lebih baik dari Sonya.

Perlu diingat bahwa dunia maya tak jauh beda dengan dunia nyata. Di zaman modern ini, bisa dikatakan, interaksi manusia di dunia nyata beralih ke dunia maya, terutama pada akun-akun media sosial. Untuk itu, setiap pengguna media sosial, mau tak mau, menjadi anggota dari masyarakat dunia maya. Implikasinya, arus komunikasi yang cepat, akan bertaburan dengan sikap saling nilai-menilai satu sama lain. Maka, tinggal menunggu waktu kapan seseorang menjadi pusat “komentar” dari anggota lain. Jika celanya telah ter-publish di media sosial, otomatis seseorang akan menjadi objek hujatan atau olok-olokan “manusia-manusia tak berperasaan”.

Perkembangan aplikasi media sosial dengan tingkat pengguna yang terus bertambah, kini telah menggerus pola komunikasi face to face. Imbasnya, manusia pun jadi tak mampu mengetahui respon fisik-alamiah dari lawan komunikasi di media sosial. Keadaan itu membuat orang dengan mudah melemparkan tulisan kata-kata, tanpa mau mempertimbangkan dampak yang timbul terhadap objek komentar. Untuk itu, selayaknyalah setiap orang merefleksikan komunikasi di media sosial sebagaimana dalam dunia nyata. Kita tak boleh kehilangan sisi kemanusiaan kala berinteraksi di dunia maya.

Nama Baik adalah Segalanya

Seberusaha apa pun seseorang mengubah dirinya menjadi lebih baik, tapi tatkala nama baiknya telah ternodai, maka stigma negatif terhadapnya sulit untuk dihilangkan. Nama baik tak kalah penting dengan hak asasi lain, semacam hak hidup. Hak seseorang atas nama baik, tidak lain demi jaminan bahwa kehidupannya tetap bertabur penghargaan, sebagaimana manusia pada umumnya. Sebaliknya, rusaknya nama baik bisa menjadi titik awal seseorang tak lagi berhasrat untuk hidup.

Pentingnya menjaga nama baik, merupakan satu pelajaran lagi yang perlu dipetik dari musibah yang menjerat keluarga Depari. Sederet peristiwa selayaknya memberikan kesadaran bahwa tindak-tanduk seseorang, tidak hanya berakibat pada dirinya sendiri. Setiap orang hidup dalam keluarga, ditambah lagi ikatan-ikatan sosial lainnya, semisal sekolah dan organisasi kepemudaan. Keadaan itu memberikan tekanan kepada setiap orang agar senantiasa menjaga sikapnya, bukan demi menjaga nama baiknya sendiri, tetapi juga menjaga nama baik keluarga dan institusi sosialnya yang lain. Merusak nama baik diri sendiri, secara tidak langsung, juga merusak nama baik orang lain. 

Terkait perilaku Sonya Depari, maka sepantasnyalah itu dianggap tindakan labil seseorang yang masih di masa peralihan antara kekanak-kanakan dan kedewasaan. Sudah jelas bahwa setiap orang tak luput dari kekhilafan, namun juga tetap berkesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan sampailah “kata-kata penghukuman” yang menodai nama baiknya, malah membuatnya terkurung dalam dunia penuh penyesalan hingga masa mendatang. Membuatnya tak mampu memetik pelajaran dari sikapnya, untuk menuju kedewasaan yang teruji.

Sadar bahwa tindakan buruk dapat merusak nama baik diri sendiri dan keluarga, harusnya ditindaklanjuti dengan melakukan refleksi ke dalam. Tak ada gunanya menghabiskan waktu dan energi untuk mengurusi diri dan keluarga orang lain. Saatnyalah mendidik diri sendiri untuk terus bertahan dalam menjaga nama baik diri sendiri, keluarga, dan ikatan-ikatan sosial kita secara luas. 

Hukum Tak Boleh Pandang Bulu

Sikap Arman Depari yang meminta maaf kepada insitusi Polri dan masyarakat atas nama keluarga besarnya akibat sikap keponakannya, patut diapresiasi. Itu adalah penegasan bahwa kesalahan tetaplah kesalahan yang tak boleh dianggap wajar, apalagi dibenarkan. Siapa pun seseorang dan bagaimana latar belakangnya, ia tetap didudukkan secara setara di depan hukum. Sikap Arman harus menjadi titik penegasan bahwa penegak hukum, termasuk Polri, tak boleh pilih kasih dalam penegakan hukum. Ketegasan penegak hukum tak boleh ciut hanya karena “ditakut-takuti”, apalagi “dibeli”. 

Sikap Sonya Depari yang mengaku kandung anak Arman Depari sebenarnya menunjukkan kenyataan bahwa persepsi masyarakat terhadap aparat kepolisian masih negatif. Kejadian itu membuktikan jika institusi kepolisian masih dipandang sarat dengan aksi kolusi dan nepotisme. Sikap semacam itulah yang seyogianya harus dicerabut dari tubuh institusi Polri. Bukan tanpa alasan, sebab selama ini, sikap “tak terpuji” semacam itu, sudah menjadi rahasia umum. Kebetulan saja Sonya menjadi booming karena dibidik mata kamera dan mencatut nama petinggi Polri. 

Sudah sering terdengar bahwa berbekal kartu nama seorang anggota keluarga ataupun kawan yang berpangkat dan memiliki kedudukan tinggi di tubuh Polri, seseorang dapat diperlakukan secara khusus di dalam penegakan hukum. Ada kesan bahwa keluarga penegak hukum, kebal hukum. Kenyataan itu akan sulit diubah jika kepahlawanan hukum oknum polisi malah “goyah”, dan menjadi gemar memberikan keistimewaan kepada keluarga atau kerabatnya. Tindakan yang merusak institusi kepolisian semacam itu harus diberantas. Melalui momentum ini, sudah saatnya kembali ditegaskan bahwa hukum tak boleh pandang bulu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar