Kata-kata
Depari mencuat di sejumlah media sejak dua minggu lalu, tepat pada tanggal 6
April 2016. Kejadiannya bermula dari ulah seorang siswi bernama Sonya Depari.
Selepas melaksanakan prosesi Ujian Nasional (UN) tingkat SMA, ia bersama enam
orang temannya melakukan konvoi menggunakan Mobil merek Honda Brio. Ketika
melintas di jalan raya dengan pintu belakang mobil yang terbuka, seorang Polwan,
Ipda Perida Panjaitan, menahan mobil tersebut.
Bukannya
legowo menerima bahwa tindakannya salah, Sonya Depari bersama teman-temannya malah
berang atas sikap Sang Polwan. Ia pun mengaku-aku sebagai anak dari Irjen Pol
Arman Depari, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika (BNN) Nasional.
Dengan alasan itu, ia mengancam akan mengadukan kejadian tersebut kepada
“ayahnya”. Ucapan Sonya dibarengi dengan wanti-wanti bahwa Sang Polwan akan
turun jabatan akibat menahan mobilnya. Ipda Perida tak gentar. Ia tetap memberikan
nasihat kepada Sonya dkk. agar tidak melanjutkan konvoi mereka, lalu pulang.
Mengetahui
namanya dicatut, Arman Depari lekas memberikan konfirmasi bahwa Sonya bukanlah
anaknya. Bahkan sempat tersiar kabar kalau ia tak mengenal Sonya. Belakangan,
Ia menyatakan bahwa Sonya adalah keponakannya, anak dari saudaranya sendiri,
Makmur Depari. Atas kejadian tersebut, Arman Depari pun meminta maaf atas
kelakuan keponakannya, serta memuji tindakan Ipda Perida yang telah melakukan
tugasnya dengan baik.
Menilik
dari rangkaian kejadian yang dialami keluarga Depari, ada beberapa pelajaran yang
perlu direnungi secara bersama-sama, untuk memperoleh pelajaran hidup yang
bermanfaat:
Berhentilah Menghujat di Media
Sosial
Video
Sonya yang membentak dan mengancam Ipda Perida akhirnya menjadi viral di media
sosial. Akibatnya, bully dengan maksud memberikan “pelajaran pahit” kepadanya pun,
menjadi-jadi. Keadaan itu lalu dinilai sebagai penyebab meninggalnya ayah
Sonya, Makmur Depari, akibat serangan jantung. Mirisnya, meski kedua hal itu diduga
kuat berkaitan, kata-kata hujatan tetap saja mengalir di media sosial.
Adanya
dampak negatif dari aksi mem-bully seseorang di media sosial, harusnya menjadi
pelajaran berharga. Cukuplah kepergian Makmur Depari –kalau pun itu ternyata benar
terkait langsung dengan aksi bully- menjadi bukti pentingnya pengendalian diri
dalam meramu aksara di media sosial. Mudahnya akses untuk turut berkomentar,
serta lemahnya penegakan aturan terkait aksi penghujatan di media sosial, harusnya
tak menjadi alasan untuk lupa etika di dunia maya. Tindakan buruk menurut persespsi
pribadi, tak seharusnya disikapi dengan cara yang buruk pula, semisal menghujat
lewat media sosial. Tak ada jaminan bahwa tindakan orang lain di dunia nyata,
lebih baik dari Sonya.
Perlu
diingat bahwa dunia maya tak jauh beda dengan dunia nyata. Di zaman modern ini,
bisa dikatakan, interaksi manusia di dunia nyata beralih ke dunia maya,
terutama pada akun-akun media sosial. Untuk itu, setiap pengguna media sosial,
mau tak mau, menjadi anggota dari masyarakat dunia maya. Implikasinya, arus
komunikasi yang cepat, akan bertaburan dengan sikap saling nilai-menilai satu
sama lain. Maka, tinggal menunggu waktu kapan seseorang menjadi pusat “komentar”
dari anggota lain. Jika celanya telah ter-publish
di media sosial, otomatis seseorang akan menjadi objek hujatan atau olok-olokan
“manusia-manusia tak berperasaan”.
Perkembangan
aplikasi media sosial dengan tingkat pengguna yang terus bertambah, kini telah
menggerus pola komunikasi face to face. Imbasnya,
manusia pun jadi tak mampu mengetahui respon fisik-alamiah dari lawan komunikasi
di media sosial. Keadaan itu membuat orang dengan mudah melemparkan tulisan
kata-kata, tanpa mau mempertimbangkan dampak yang timbul terhadap objek
komentar. Untuk itu, selayaknyalah setiap orang merefleksikan komunikasi di
media sosial sebagaimana dalam dunia nyata. Kita tak boleh kehilangan sisi
kemanusiaan kala berinteraksi di dunia maya.
Nama Baik adalah Segalanya
Seberusaha
apa pun seseorang mengubah dirinya menjadi lebih baik, tapi tatkala nama baiknya
telah ternodai, maka stigma negatif terhadapnya sulit untuk dihilangkan. Nama
baik tak kalah penting dengan hak asasi lain, semacam hak hidup. Hak seseorang
atas nama baik, tidak lain demi jaminan bahwa kehidupannya tetap bertabur penghargaan,
sebagaimana manusia pada umumnya. Sebaliknya, rusaknya nama baik bisa menjadi
titik awal seseorang tak lagi berhasrat untuk hidup.
Pentingnya
menjaga nama baik, merupakan satu pelajaran lagi yang perlu dipetik dari
musibah yang menjerat keluarga Depari. Sederet peristiwa selayaknya memberikan
kesadaran bahwa tindak-tanduk seseorang, tidak hanya berakibat pada dirinya
sendiri. Setiap orang hidup dalam keluarga, ditambah lagi ikatan-ikatan sosial
lainnya, semisal sekolah dan organisasi kepemudaan. Keadaan itu memberikan
tekanan kepada setiap orang agar senantiasa menjaga sikapnya, bukan demi menjaga
nama baiknya sendiri, tetapi juga menjaga nama baik keluarga dan institusi
sosialnya yang lain. Merusak nama baik diri sendiri, secara tidak langsung,
juga merusak nama baik orang lain.
Terkait
perilaku Sonya Depari, maka sepantasnyalah itu dianggap tindakan labil
seseorang yang masih di masa peralihan antara kekanak-kanakan dan kedewasaan. Sudah
jelas bahwa setiap orang tak luput dari kekhilafan, namun juga tetap berkesempatan
untuk memperbaiki diri. Jangan sampailah “kata-kata penghukuman” yang menodai
nama baiknya, malah membuatnya terkurung dalam dunia penuh penyesalan hingga
masa mendatang. Membuatnya tak mampu memetik pelajaran dari sikapnya, untuk menuju
kedewasaan yang teruji.
Sadar
bahwa tindakan buruk dapat merusak nama baik diri sendiri dan keluarga,
harusnya ditindaklanjuti dengan melakukan refleksi ke dalam. Tak ada gunanya menghabiskan
waktu dan energi untuk mengurusi diri dan keluarga orang lain. Saatnyalah mendidik
diri sendiri untuk terus bertahan dalam menjaga nama baik diri sendiri,
keluarga, dan ikatan-ikatan sosial kita secara luas.
Hukum Tak Boleh Pandang Bulu
Sikap
Arman Depari yang meminta maaf kepada insitusi Polri dan masyarakat atas nama
keluarga besarnya akibat sikap keponakannya, patut diapresiasi. Itu adalah
penegasan bahwa kesalahan tetaplah kesalahan yang tak boleh dianggap wajar,
apalagi dibenarkan. Siapa pun seseorang dan bagaimana latar belakangnya, ia
tetap didudukkan secara setara di depan hukum. Sikap Arman harus menjadi titik
penegasan bahwa penegak hukum, termasuk Polri, tak boleh pilih kasih dalam
penegakan hukum. Ketegasan penegak hukum tak boleh ciut hanya karena “ditakut-takuti”,
apalagi “dibeli”.
Sikap
Sonya Depari yang mengaku kandung anak Arman Depari sebenarnya menunjukkan
kenyataan bahwa persepsi masyarakat terhadap aparat kepolisian masih negatif.
Kejadian itu membuktikan jika institusi kepolisian masih dipandang sarat dengan
aksi kolusi dan nepotisme. Sikap semacam itulah yang seyogianya harus dicerabut
dari tubuh institusi Polri. Bukan tanpa alasan, sebab selama ini, sikap “tak
terpuji” semacam itu, sudah menjadi rahasia umum. Kebetulan saja Sonya menjadi booming karena dibidik mata kamera dan
mencatut nama petinggi Polri.
Sudah
sering terdengar bahwa berbekal kartu nama seorang anggota keluarga ataupun
kawan yang berpangkat dan memiliki kedudukan tinggi di tubuh Polri, seseorang
dapat diperlakukan secara khusus di dalam penegakan hukum. Ada kesan bahwa
keluarga penegak hukum, kebal hukum. Kenyataan itu akan sulit diubah jika kepahlawanan
hukum oknum polisi malah “goyah”, dan menjadi gemar memberikan keistimewaan
kepada keluarga atau kerabatnya. Tindakan yang merusak institusi kepolisian
semacam itu harus diberantas. Melalui momentum ini, sudah saatnya kembali
ditegaskan bahwa hukum tak boleh pandang bulu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar