Sebagian
besar orang menilai bahwa kekuasaan adalah sumber kebahagiaan. Pemegang
kekuasaan yang lazim disebut pemimpin, dapat leluasa menggunakan sumber daya
kekuasaan untuk mewujudkan visi dan misinya. Karena kekuasaan pula, seseorang dapat
memenuhi hasratnya, terutama dalam aspek materi. Bisa jadi karena kekuasaan
memang dibalas dengan imbalan yang besar, ataukah perolehan kekayaan materi itu
berasal dari tindak penyalahgunaan kekuasaan. Orang dengan jabatan tinggi, pastilah
diberi gaji yang tinggi pula, dan sebaliknya. Tapi bagi seseorang yang rakus,
kekuasaan malah diselewengkan untuk dijadikan alat menumpuk kekayaan secara
pribadi. Ringkasnya, kekuasaan adalah alat, bisa bermanfaat dan mendatangkan
kebahagiaan, tapi bisa juga jadi bumerang.
Gambaran
singkat di atas menunjukkan pentingnya integritas pada diri seorang pemimpin agar
ia tak jatuh pada tindak penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi potensi penyalahgunaannya selalu ada sebab pemimpin berada di antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu
kepentingan pribadi dan kepentingan orang-orang di bawah kekuasaannya. Seorang
pemimpin tidak hanya dituntut memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi
juga memikirkan tujuan dari kekuasaannya. Sebagai titik keseimbangannya dua
sisi itu, maka pemimpin harus mampu bertindak adil dan tidak mencampuradukkan dua
kepentingan tersebut, tetapi membuatnya terpenuhi secara seimbang dan seoptimal
mungkin.
Masalah
akses terhadap pengaturan sumber daya inilah yang menjadikan kedudukan sebagai pemimpin
bak “barang mahal”, sampai diperebutkan. Padahal sejatinya, pemimpin bukan hanya persoalan
kedudukan dengan segudang fasilitas, tetapi soal kecerdasan dan keterampilan
manajemen untuk menjamin sumber daya berfungsi dengan baik, menuju hasil akhir
yang dicita-citakan. Ego pribadi pada diri sosok pemimpin harus dikesampingkan.
Seorang pemimpin, dengan demikian, dituntut memiliki keterampilan dalam
menyelesaikan permasalahan terkait persoalan khalayak yang dipimpinnya.
Pemimpin telah didaulat sebagai sosok tunggal yang memiliki otortitas dalam
menentukan tatanan dan arah capaian kehidupan bersama. Jika pemimpinnya membuat
sebuah kebijakan yang keliru, bahkan salah, maka otomatis, capaian kerja juga
akan berujung pada kegagalan.
Tidak
kalah pentinggnya dengan unsur integritas, kecerdasan, dan keterampilan,
seorang pemimpin juga harus memiliki keberanian. Keberanian menjadi penting
sebab dalam kehidupan khalayak yang dipimpinnya, akan selalu timbul
permasalahan internal maupun eksternal yang membutuhkan solusi cepat. Saat
demikianlah, kehadiran seorang pemimpin dibutuhkan, yaitu untuk mengambil
keputusan sebagai jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Hal itu adalah
suatu keharusan, sebab menyerahkan penyelesaian masalah pada pihak yang bertikai
adalah sikap yang tidak tepat. Alasannya karena di antara dua kubu itu, telah
terbentuk sikap pro dan kontra yang sulit didamaikan. Tugas pemimpinlah untuk
mendengarkan dan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak
secara seimbang, lalu mengambil satu keputusan, tentu dengan seadil-adilnya.
Nah,
di sinilah tantangannya menjadi seorang pemimpin, yaitu ketika kita harus
membuat keputusan dari dua kubu atau pendapat yang berseberangan. Keputusan
seorang pemimpin itu, tentu berpotensi menimbulkan sikap penerimaan dan
penentangan. Jika keputusan dinilai lebih condong pada pendapat salah satu
kubu, maka kubu yang lain tentu akan merasa dianaktirikan. Untuk itu, tidak ada
jalan lain selain menggunakan nalar dan kebijaksanaan mandiri sebagai seorang
pemimpin, dengan tetap mempertimbangkan aspirasi dari kedua belah pihak.
Perlunya
keberanian dalam mengambil keputusan menjadi persoalan yang sangat penting
dalam kepemimpinan. Sikap pembiaran, malah membuat suatu masalah semakin
runyam. Mengambil keputusan dari sekian banyak saran-saran, adalah sikap yang
tepat. Masalah apakah keputusan tersebut akan diterima atau tidak oleh
khalayak, seharusnya tidak menjadi halangan untuk segera mengambil keputusan.
Apalagi yang pasti, tak mungkin memaksakan semua orang sepakat dalam satu hal. Namun
demikian, pengambilan keputusan harus dibarengi upaya rekonsiliasi antara pihak
yang berseberangan, agar tak berujung pada konflik yang dapat menggangu tatanan
kehidupan bersama.
Seorang
pemimpin harus sadar akan konsekuensi bahwa ia dapat saja disalahkan atas
keputusan yang diambilnya dari pihak tertentu. Konsekuensi itu sulit dihindari,
sebab menghilangkan perbedaan bukanlah fungsi pemimpin. Diadakannya seorang
pemimpin tidak lain ditujukan untuk menyelesaikan masalah dengan satu jalan
keluar, terutama untuk menyatukan pertentangan antarpihak. Untuk itu, pemimpin harus
berani mengambil keputusan, meskipun akhirnya, setelah keputusan itu
dilaksanakan, ternyata dianggap tidak lebih baik seandainya keputusan lain yang
dipilih dahulu. Tapi siapalah yang bisa menjamin hasil akhir sebuah keputusan
akan sejalan seratus persen dengan perkiraan sebelumnya. Akhirnya, pemimpin
memang harus berani disalahkan.
Pemimpin
lekat dengan keputusan. Maka dari itu, sudah pasti bahwa pemimpin juga
senantiasa dinilai benar atau salah atas keputusannya. Mengambil suatu
keputusan, berarti mengimplementasikan pengetahuan dengan persoalan riil.
Karena menyangkut implementasi dan bukan sekadar teori penalaran, maka
keputusan akan sampai pada penilaian atas hasil akhirnya, tentang benar atau
salah. Hal itu sebagaimana dituliskan Adelbert Snijders dalam bukunya berjudul
Manusia dan Kebenaran (2006: 103): … pengetahuan
bersifat indrawi konkret-individual (ini).
Proses spiritualisasi mulai dengan pengertian yang abstrak dan universal (kuda). Namun demikian, gerakan pikiran
baru mencapai puncaknya dengan “memutuskan” (it is a horse). Benar dan salahnya pengetahuan dalam arti yang
penuh, hanya dalam keputusan….
Merujuk
pada uraian di atas, maka sudah tegaslah bahwa seorang pemimpin harus berani
dalam mengambil sebuah keputusan. Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan,
tidak boleh ragu-ragu, apalagi takut hanya karena tak ingin dicap salah akibat
pilihan keputusannya. Ringkasnya, pemimpin harus berani mengambil keputusan dan
berani pula disalahkan atas keputusannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar