Senin, 18 April 2016

Berani Disalahkan

Sebagian besar orang menilai bahwa kekuasaan adalah sumber kebahagiaan. Pemegang kekuasaan yang lazim disebut pemimpin, dapat leluasa menggunakan sumber daya kekuasaan untuk mewujudkan visi dan misinya. Karena kekuasaan pula, seseorang dapat memenuhi hasratnya, terutama dalam aspek materi. Bisa jadi karena kekuasaan memang dibalas dengan imbalan yang besar, ataukah perolehan kekayaan materi itu berasal dari tindak penyalahgunaan kekuasaan. Orang dengan jabatan tinggi, pastilah diberi gaji yang tinggi pula, dan sebaliknya. Tapi bagi seseorang yang rakus, kekuasaan malah diselewengkan untuk dijadikan alat menumpuk kekayaan secara pribadi. Ringkasnya, kekuasaan adalah alat, bisa bermanfaat dan mendatangkan kebahagiaan, tapi bisa juga jadi bumerang.
 
Gambaran singkat di atas menunjukkan pentingnya integritas pada diri seorang pemimpin agar ia tak jatuh pada tindak penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi potensi penyalahgunaannya selalu ada sebab pemimpin berada di antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan orang-orang di bawah kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan tujuan dari kekuasaannya. Sebagai titik keseimbangannya dua sisi itu, maka pemimpin harus mampu bertindak adil dan tidak mencampuradukkan dua kepentingan tersebut, tetapi membuatnya terpenuhi secara seimbang dan seoptimal mungkin.

Masalah akses terhadap pengaturan sumber daya inilah yang menjadikan kedudukan sebagai pemimpin bak “barang mahal”, sampai diperebutkan. Padahal sejatinya, pemimpin bukan hanya persoalan kedudukan dengan segudang fasilitas, tetapi soal kecerdasan dan keterampilan manajemen untuk menjamin sumber daya berfungsi dengan baik, menuju hasil akhir yang dicita-citakan. Ego pribadi pada diri sosok pemimpin harus dikesampingkan. Seorang pemimpin, dengan demikian, dituntut memiliki keterampilan dalam menyelesaikan permasalahan terkait persoalan khalayak yang dipimpinnya. Pemimpin telah didaulat sebagai sosok tunggal yang memiliki otortitas dalam menentukan tatanan dan arah capaian kehidupan bersama. Jika pemimpinnya membuat sebuah kebijakan yang keliru, bahkan salah, maka otomatis, capaian kerja juga akan berujung pada kegagalan. 

Tidak kalah pentinggnya dengan unsur integritas, kecerdasan, dan keterampilan, seorang pemimpin juga harus memiliki keberanian. Keberanian menjadi penting sebab dalam kehidupan khalayak yang dipimpinnya, akan selalu timbul permasalahan internal maupun eksternal yang membutuhkan solusi cepat. Saat demikianlah, kehadiran seorang pemimpin dibutuhkan, yaitu untuk mengambil keputusan sebagai jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Hal itu adalah suatu keharusan, sebab menyerahkan penyelesaian masalah pada pihak yang bertikai adalah sikap yang tidak tepat. Alasannya karena di antara dua kubu itu, telah terbentuk sikap pro dan kontra yang sulit didamaikan. Tugas pemimpinlah untuk mendengarkan dan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak secara seimbang, lalu mengambil satu keputusan, tentu dengan seadil-adilnya. 

Nah, di sinilah tantangannya menjadi seorang pemimpin, yaitu ketika kita harus membuat keputusan dari dua kubu atau pendapat yang berseberangan. Keputusan seorang pemimpin itu, tentu berpotensi menimbulkan sikap penerimaan dan penentangan. Jika keputusan dinilai lebih condong pada pendapat salah satu kubu, maka kubu yang lain tentu akan merasa dianaktirikan. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain menggunakan nalar dan kebijaksanaan mandiri sebagai seorang pemimpin, dengan tetap mempertimbangkan aspirasi dari kedua belah pihak.

Perlunya keberanian dalam mengambil keputusan menjadi persoalan yang sangat penting dalam kepemimpinan. Sikap pembiaran, malah membuat suatu masalah semakin runyam. Mengambil keputusan dari sekian banyak saran-saran, adalah sikap yang tepat. Masalah apakah keputusan tersebut akan diterima atau tidak oleh khalayak, seharusnya tidak menjadi halangan untuk segera mengambil keputusan. Apalagi yang pasti, tak mungkin memaksakan semua orang sepakat dalam satu hal. Namun demikian, pengambilan keputusan harus dibarengi upaya rekonsiliasi antara pihak yang berseberangan, agar tak berujung pada konflik yang dapat menggangu tatanan kehidupan bersama.

Seorang pemimpin harus sadar akan konsekuensi bahwa ia dapat saja disalahkan atas keputusan yang diambilnya dari pihak tertentu. Konsekuensi itu sulit dihindari, sebab menghilangkan perbedaan bukanlah fungsi pemimpin. Diadakannya seorang pemimpin tidak lain ditujukan untuk menyelesaikan masalah dengan satu jalan keluar, terutama untuk menyatukan pertentangan antarpihak. Untuk itu, pemimpin harus berani mengambil keputusan, meskipun akhirnya, setelah keputusan itu dilaksanakan, ternyata dianggap tidak lebih baik seandainya keputusan lain yang dipilih dahulu. Tapi siapalah yang bisa menjamin hasil akhir sebuah keputusan akan sejalan seratus persen dengan perkiraan sebelumnya. Akhirnya, pemimpin memang harus berani disalahkan.

Pemimpin lekat dengan keputusan. Maka dari itu, sudah pasti bahwa pemimpin juga senantiasa dinilai benar atau salah atas keputusannya. Mengambil suatu keputusan, berarti mengimplementasikan pengetahuan dengan persoalan riil. Karena menyangkut implementasi dan bukan sekadar teori penalaran, maka keputusan akan sampai pada penilaian atas hasil akhirnya, tentang benar atau salah. Hal itu sebagaimana dituliskan Adelbert Snijders dalam bukunya berjudul Manusia dan Kebenaran (2006: 103): … pengetahuan bersifat indrawi konkret-individual (ini). Proses spiritualisasi mulai dengan pengertian yang abstrak dan universal (kuda). Namun demikian, gerakan pikiran baru mencapai puncaknya dengan “memutuskan” (it is a horse). Benar dan salahnya pengetahuan dalam arti yang penuh, hanya dalam keputusan….

Merujuk pada uraian di atas, maka sudah tegaslah bahwa seorang pemimpin harus berani dalam mengambil sebuah keputusan. Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan, tidak boleh ragu-ragu, apalagi takut hanya karena tak ingin dicap salah akibat pilihan keputusannya. Ringkasnya, pemimpin harus berani mengambil keputusan dan berani pula disalahkan atas keputusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar