Berada
di puncang gunung ini mengingatkan aku pada kejadian lima tahun silam. Kenangan
itu masih membekas di memoriku. Sepenggal kisah itu tentang kita. Semuanya tak
akan pernah kulupakan. Kau mungkin sudah melupakannya, ataukah memang tak
pernah mengingatnya.
Semua
kenangan kita menggantung di relung jiwaku. Bersemayam. Kebersamaan yang pernuh
warna-warni rasa, antara kebencian dan keinginan. Menyesatkan. Aku telah berusaha
melupakan, tapi karena itu juga, aku selalu mengingatnya. Sampai sekarang,
masih ada inginku cerita itu berlanjut di masa mendatang.
Sepenggal
kisah kita bermula di satu sore yang menegangkan. Saat itu adalah awal-awal
hari aku menginjakkan kaki di kampus. Sama denganmu. Ya, kita sama-sama
mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi. Di sore itu, kala persiapan
menjelang prosesi orientasi kampus dimulai untuk hari pertama, aku langsung
terkesan padamu.
Waktu
itu, aku terlambat beberapa menit untuk masuk dalam barisan. Alasannya, aku
menemukan sebuah ponsel di halaman kampus. Aku pun membawanya ke satpam dengan
terlebih dahulu bertanya ke sana ke mari. Selepas itu, aku malah ditahan senior
dan mengusiliku. Karena telat, akhirnya, aku disanksi berdiri mematung di depan
teman-teman baru.
Sangat
memalukan tentunya. Tapi karena peristiwa itu juga, kau melakukan sesuatu yang
sangat berkesan untukku. Kaulah yang memberanikan diri meloloskanku dari sanksi
itu. Saat aku masih terbata-bata mengingat dan menjelaskan fungsi mahasiswa
sebagai pengganti sanksi, kau menawarkan diri untuk menjelaskan kepadaku. Jelas,
kau menghafalnya dengan baik.
Tidak
sampai di situ saja. Berselang beberapa menit, aku tak menjumpai satu pulpen
pun dalam tasku. Padahal senior telah memerintahkan untuk membuat puisi yang menggambarkan
kekayaan alam Indonesia. Lagi-lagi, kau menambahkan kesan untuk kedua kalinya.
Kau meminjamiku pulpen. Hal kecil yang sangat menyentuh perasaanku, sampai saat
ini.
Di
sore itu pula, kau diperintahkan untuk membacakan sebuah puisi gubahanmu.
Bagiku, itu mengagumkan. Dalam hitungan menit, kau mampu merangkai bait-bait
yang indah tentang Gunung Bromo. Aku tak ingat betul rangkaian kata puisimu.
Yang membekas hanyalah bagian: Jika
sampai waktuku menaklukkanmu; Pastikan aku di puncak dengan empat kaki yang
saling menopang; Bromo, tunggu aku lima tahun lagi.
Entah
kenapa puisimu begitu menyentuhku. Padahal mustahil kau tahu kalau aku suka
berpetualang di alam liar. Kita belum pernah saling bercerita tentang
kegemaran. Tapi setidaknya aku bisa meyakini bahwa kau juga suka berpetualang
di alam. Sejak saat itu, aku berharap Bromo menyatukan kita kelak.
Beberapa
detik setelah membaca puisi, kau pun pulang. Kau terlihat sangat buru-buru
setelah menerima telepon melalui ponselmu yang tampakannya serupa dengan yang
kutemukan. Urusanmu pasti sangat penting. Padahal, prosesi pengumpulan masih
akan berlangsung sejam. Yang pasti, sore itu, kau pergi dengan meninggalkan
kesan dan tanda tanya padaku.
Berlalu
setahun setelah kesan itu muncul, aku mencoba lebih dekat denganmu. Aku pun
memasuki organisasi yang sama denganmu, di penerbitan kampus. Aku berusaha senantiasa
berada di dekatmu. Berharap suatu saat ada tingkah lakuku yang membuatmu
terkesan, hingga kita bisa mengenang dan membahas serangkaian kesan yang kau
berikan untukku dahulu.
Di
organisasi, sedikit demi sedikit, kita banyak tahu satu sama lain. Kita semakin
dekat. Tapi aku tak yakin maksud kedekatanmu sama denganku. Jelas aku
mendekatimu karena perasaanku padamu. Sedangkan kau, mungkin mendekatiku agar
aku loyal pada organisasi yang selalu terburu deadline itu. Apalagi,
kau kini jadi seorang pemimpin redaksi.
Setahun
lagi berlalu. Telah berstatus sebagai pengurus yang berurusan dengan dunia
tulis-menulis setiap hari, aku pun telah mampu merangkai kata demi kata. Aku
suka menulis fiksi dibanding berita atau tulisan nonfiksi. Aku ingin serupa
denganmu. Berharap suatu saat aku bisa memberimu kejutan bahwa aku telah lihai
merangkai kata yang indah sepertimu.
Aku
banyak belajar menulis fiksi darimu. Aku selalu setia menunggu dan membaca
tulisan fiksimu secara diam-diam setiap saat. Sungkan jika bertanya langsung
padamu. Tapi kau tahu kenapa aku ingin jadi penulis? Sebab kuyakin bahwa dunia
penulisan adalah dunia tersendiri. Penulis hanya akan menemukan seorang penulis
dalam dunianya. Kuharap begitu tentang kita.
Datanglah
keinginanku memberikan pembuktian padamu. Menjelang penerbitan untuk triwulan
kedua, aku membuat sebuah cerita pendek tentang perjalanan cerita kita. Nanti,
kuharap setelah kau membacanya, kau akan tersentuh dan merefleksikan sepenggal
kisah kita dua tahun sebelumnya.
Kutuliskanlah
secara detail tentang rangkaian kesan yang kau berikan untukku, tentang fungsi
mahasiswa, pulpen, dan puisi Gunung Bromo. Kuceritakan juga bahwa aku akan ke
pulau seberang menyusul orang tuaku, dan menikah dengan lelaki yang telah
direncanakan untuk menjadi suamiku. Aku membuat ending-nya menyakitkan.
Beberapa
hari berganti, kita pun bertemu di sekretariat organisasi. Tapi kau tak sedikit
pun memuji tulisan fiksiku yang telah kukirim lewat email. Padahal aku tahu,
setiap tulisan yang akan dimuat di terbitan, harus melalui persetujuanmu
sebagai pemimpin redaksi.
“Aris,
rubrik cerpen untuk terbitan kali ini sudah ada yang isi?” Aku bertanya lebih
dulu. Menduga kau memang belum tahu aku mengirim gubahan cerpenku.
“Belum
ada,” tuturmu dengan santai. “Oh iya, tulisan cerpen yang kau kirim, kurasa
jauh dari kriteria baik. Kau harus lebih banyak belajar. Dan, kalau bisa,
jangan mencurahkan perasaanmu lewat tulisan. Kau harus membiasakan untuk
menghilangkan keegoisanmu dalam menulis. Tak penting juga kau memaksakan
kisahmu dinikmati orang lain.”
Jawabanmu
itu jelas membuatku sangat kecewa. Aku tak menduga, usahaku untuk belajar
menulis fiksi tak kau hargai sama sekali.
Sejak
saat itu juga, aku mulai membiasakan diri membencimu. Harapanku terhadapmu
sedikit demi sedikit memudar. Aku cukupkan peraasaanku, sebab sepertinya, sampai
kapan pun, kau tak akan pernah menghargaiku. Tekadku pun semakin kuat untuk menjadi
penulis fiksi. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih hebat darimu.
Berjalan
sekitar dua tahun masa kuliah selanjutnya, aku tak lagi menikmati bergaul di
organisasi penerbitan. Lambat laun, tercipta jarak antara kita. Tapi aku terus berusaha
menutupi bahwa ketidakbetahanku bekerja untuk organisasi, karena kau
mengecewakan perasaanku. Aku harap kau tak tahu aku pernah menyimpan perasaan
padamu.
“Rima!”
Suara lelaki menyergah dari arah belakangku.
Aku
yang tengah menikmati hamparan alam dengan kenangan masa lalu kita yang
terkubur hidup-hidup, menerka-nerka karakter suara itu: kau. “Aris!”
Aku
begitu terkejut dengan kehadiranmu. Seperti sulit percaya bahwa kebetulan dari
sekian banyak kemungkinan benar-benar mempertemukan kita kembali.
Sepenggal
kisah lama kita akhirnya menuntut berlanjut malam ini. Setahun berlalu setelah
kita menyelesaikan kuliah dan memperoleh gelar sarjana, kau ternyata memenuhi
janjimu kepada Gunung Bromo. Kau kini menjadi seorang wartawan, sedangkan aku
seperti yang pernah aku janjikan: menjadi seorang penulis fiksi.
Kita
akhirnya bercakap banyak tentang masa lalu kita. Mengenang kembali sepenggal
kisah yang berakhir tanpa kata perpisahan.
“Kau
tak jadi ke pulau seberang? Bukankah kau akan menikah dengan seseorang pilihan
orang tuamu?” kau bertanya lebih dulu.
Aku
jelas tak pernah mengatakan padamu soal itu, kecuali dalam cerpen yang pernah
kutulis. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku merasa tak pernah berkata begitu
padamu,” tanyaku kembali.
Kau
mendeham, lalu bertanya lagi, “Kau pernah menuliskannya di cerpen curhatanmu.
Kau tak ingat?”
“Jadi,
kau kira itu sungguhan?” tanyaku segera.
“Ya,
kukira begitu. Kau tak mungkin mengelak kalau kukatakan lelaki yang kau maksud
di cerpenmu adalah aku, kan? Jelas, bahasamu terlalu polos. Dan kukira, tentang
rencana kepindahanmu ke pulau seberang dan menikah dengan seseorang lelaki
adalah kebenaran juga,” jelasmu.
Aku
tertawa beberapa detik. “Itu kan fiksi. Kukira, cerita fiksi hanyalah
pengalaman nyata yang dipelintir di sana-sini. Ending yang menyedihkan itu adalah hasil pelintiranku. Tapi tentang
lelaki dalam ceritaku itu, kukira kau benar,” tuturku, tak terkendali hingga jujur
apa adanya.
“Jadi,
kau….?” tanyamu, seperti ingin kalau aku menegaskan kembali pengakuan hatiku.
Aku
hanya terdiam. Memendam rasa malu atas kata-kata yang terlanjur terucap.
“Kau
tahu, aku memaki cerpenmu itu karena aku benci ending-nya begitu,” akumu.
Aku
tak berani menoleh ke arahmu.
“Terus
terang, aku sulit menerima jika suatu saat kau akan pergi dan menikah dengan lelaki
lain. Karena itu juga, aku ingin membencimu. Padahal jika kau tahu, akulah yang
lebih dulu memendam perasaan padamu, sebelum semua kesan-kesan yang kau
tuliskan di cerpenmu,” jelasmu lagi.
Aku
tak berani menyelamu. Aku ingin kau mengatakan semua kejujuran yang kau simpan
selama ini.
“Aku
tahu kau yang menemukan ponselku dan menyerahkan ke satpam di hari pertemuan
kita pertama kali. Itu sangat berarti bagiku. Sore itu, stroke ayahku tiba-tiba
kambuh. Untunglah ibuku segera menghubungi ponselku segera, hingga aku dapat
mengantarnya ke rumah sakit sebelum terlambat. Kali ini, aku ingin berterima
kasih,” tuturmu.
Aku
balas mengangguk. Tak pernah menduga kalau ponsel yang kutemukan itu milikmu.
Sungguh sebuah kejutan bahwa hal kecil itu membuatmu terkesan. Tak kuduga,
peristiwa itu begitu membekas di memorimu.
“Kau
tahu dari mana kalau aku yang menemukan ponselmu?” tanyaku.
“Aku
dapat penjelasan dari satpam kampus. Dia sempat menunjuk ke arahmu, Si
Perempuan yang menggunakan tas ransel bergambar gunung dan tulisan Gunung
Bromo. Karena itu juga, aku menulis puisi tentang Gunung Bromo,” jelasmu.
Kita
akhirnya diam untuk beberapa detik. Seperti mencoba mengingat-ingat kembali
penggalan kisah kita yang lama.
“Bagaimana
tentang sepenggal kisah kita yang lama?” tanyamu.
“Aku
akan menuliskannya. Novelku tentang itu hampir rampung. Maaf jika melibatkanmu
dalam cerita tanpa kau tahu, apalagi seizinmu,” balasku.
“Aku
malah senang, asalkan ending-nya tak
berakhir menyakitkan,” candamu.
Kita
akhirnya terdiam lagi beberapa detik.
“Maukah
kau bertemu dengan ayahku. Dia sangat ingin berterima kasih padamu saat aku
ceritakan tentang ponselku yang hilang itu,” tawarmu.
Aku
tak bisa berkata-kata apa-apa, kecuali mengangguk lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar