Senin, 18 April 2016

Sepenggal Kisah Lama

Berada di puncang gunung ini mengingatkan aku pada kejadian lima tahun silam. Kenangan itu masih membekas di memoriku. Sepenggal kisah itu tentang kita. Semuanya tak akan pernah kulupakan. Kau mungkin sudah melupakannya, ataukah memang tak pernah mengingatnya.
 
Semua kenangan kita menggantung di relung jiwaku. Bersemayam. Kebersamaan yang pernuh warna-warni rasa, antara kebencian dan keinginan. Menyesatkan. Aku telah berusaha melupakan, tapi karena itu juga, aku selalu mengingatnya. Sampai sekarang, masih ada inginku cerita itu berlanjut di masa mendatang.

Sepenggal kisah kita bermula di satu sore yang menegangkan. Saat itu adalah awal-awal hari aku menginjakkan kaki di kampus. Sama denganmu. Ya, kita sama-sama mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi. Di sore itu, kala persiapan menjelang prosesi orientasi kampus dimulai untuk hari pertama, aku langsung terkesan padamu. 

Waktu itu, aku terlambat beberapa menit untuk masuk dalam barisan. Alasannya, aku menemukan sebuah ponsel di halaman kampus. Aku pun membawanya ke satpam dengan terlebih dahulu bertanya ke sana ke mari. Selepas itu, aku malah ditahan senior dan mengusiliku. Karena telat, akhirnya, aku disanksi berdiri mematung di depan teman-teman baru.

Sangat memalukan tentunya. Tapi karena peristiwa itu juga, kau melakukan sesuatu yang sangat berkesan untukku. Kaulah yang memberanikan diri meloloskanku dari sanksi itu. Saat aku masih terbata-bata mengingat dan menjelaskan fungsi mahasiswa sebagai pengganti sanksi, kau menawarkan diri untuk menjelaskan kepadaku. Jelas, kau menghafalnya dengan baik. 

Tidak sampai di situ saja. Berselang beberapa menit, aku tak menjumpai satu pulpen pun dalam tasku. Padahal senior telah memerintahkan untuk membuat puisi yang menggambarkan kekayaan alam Indonesia. Lagi-lagi, kau menambahkan kesan untuk kedua kalinya. Kau meminjamiku pulpen. Hal kecil yang sangat menyentuh perasaanku, sampai saat ini.

Di sore itu pula, kau diperintahkan untuk membacakan sebuah puisi gubahanmu. Bagiku, itu mengagumkan. Dalam hitungan menit, kau mampu merangkai bait-bait yang indah tentang Gunung Bromo. Aku tak ingat betul rangkaian kata puisimu. Yang membekas hanyalah bagian: Jika sampai waktuku menaklukkanmu; Pastikan aku di puncak dengan empat kaki yang saling menopang; Bromo, tunggu aku lima tahun lagi

Entah kenapa puisimu begitu menyentuhku. Padahal mustahil kau tahu kalau aku suka berpetualang di alam liar. Kita belum pernah saling bercerita tentang kegemaran. Tapi setidaknya aku bisa meyakini bahwa kau juga suka berpetualang di alam. Sejak saat itu, aku berharap Bromo menyatukan kita kelak.

Beberapa detik setelah membaca puisi, kau pun pulang. Kau terlihat sangat buru-buru setelah menerima telepon melalui ponselmu yang tampakannya serupa dengan yang kutemukan. Urusanmu pasti sangat penting. Padahal, prosesi pengumpulan masih akan berlangsung sejam. Yang pasti, sore itu, kau pergi dengan meninggalkan kesan dan tanda tanya padaku.

Berlalu setahun setelah kesan itu muncul, aku mencoba lebih dekat denganmu. Aku pun memasuki organisasi yang sama denganmu, di penerbitan kampus. Aku berusaha senantiasa berada di dekatmu. Berharap suatu saat ada tingkah lakuku yang membuatmu terkesan, hingga kita bisa mengenang dan membahas serangkaian kesan yang kau berikan untukku dahulu. 

Di organisasi, sedikit demi sedikit, kita banyak tahu satu sama lain. Kita semakin dekat. Tapi aku tak yakin maksud kedekatanmu sama denganku. Jelas aku mendekatimu karena perasaanku padamu. Sedangkan kau, mungkin mendekatiku agar aku loyal pada organisasi yang selalu terburu deadline itu. Apalagi, kau kini jadi seorang pemimpin redaksi. 

Setahun lagi berlalu. Telah berstatus sebagai pengurus yang berurusan dengan dunia tulis-menulis setiap hari, aku pun telah mampu merangkai kata demi kata. Aku suka menulis fiksi dibanding berita atau tulisan nonfiksi. Aku ingin serupa denganmu. Berharap suatu saat aku bisa memberimu kejutan bahwa aku telah lihai merangkai kata yang indah sepertimu. 

Aku banyak belajar menulis fiksi darimu. Aku selalu setia menunggu dan membaca tulisan fiksimu secara diam-diam setiap saat. Sungkan jika bertanya langsung padamu. Tapi kau tahu kenapa aku ingin jadi penulis? Sebab kuyakin bahwa dunia penulisan adalah dunia tersendiri. Penulis hanya akan menemukan seorang penulis dalam dunianya. Kuharap begitu tentang kita.

Datanglah keinginanku memberikan pembuktian padamu. Menjelang penerbitan untuk triwulan kedua, aku membuat sebuah cerita pendek tentang perjalanan cerita kita. Nanti, kuharap setelah kau membacanya, kau akan tersentuh dan merefleksikan sepenggal kisah kita dua tahun sebelumnya.

Kutuliskanlah secara detail tentang rangkaian kesan yang kau berikan untukku, tentang fungsi mahasiswa, pulpen, dan puisi Gunung Bromo. Kuceritakan juga bahwa aku akan ke pulau seberang menyusul orang tuaku, dan menikah dengan lelaki yang telah direncanakan untuk menjadi suamiku. Aku membuat ending-nya menyakitkan.

Beberapa hari berganti, kita pun bertemu di sekretariat organisasi. Tapi kau tak sedikit pun memuji tulisan fiksiku yang telah kukirim lewat email. Padahal aku tahu, setiap tulisan yang akan dimuat di terbitan, harus melalui persetujuanmu sebagai pemimpin redaksi.

“Aris, rubrik cerpen untuk terbitan kali ini sudah ada yang isi?” Aku bertanya lebih dulu. Menduga kau memang belum tahu aku mengirim gubahan cerpenku.

“Belum ada,” tuturmu dengan santai. “Oh iya, tulisan cerpen yang kau kirim, kurasa jauh dari kriteria baik. Kau harus lebih banyak belajar. Dan, kalau bisa, jangan mencurahkan perasaanmu lewat tulisan. Kau harus membiasakan untuk menghilangkan keegoisanmu dalam menulis. Tak penting juga kau memaksakan kisahmu dinikmati orang lain.”

Jawabanmu itu jelas membuatku sangat kecewa. Aku tak menduga, usahaku untuk belajar menulis fiksi tak kau hargai sama sekali. 

Sejak saat itu juga, aku mulai membiasakan diri membencimu. Harapanku terhadapmu sedikit demi sedikit memudar. Aku cukupkan peraasaanku, sebab sepertinya, sampai kapan pun, kau tak akan pernah menghargaiku. Tekadku pun semakin kuat untuk menjadi penulis fiksi. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih hebat darimu.

Berjalan sekitar dua tahun masa kuliah selanjutnya, aku tak lagi menikmati bergaul di organisasi penerbitan. Lambat laun, tercipta jarak antara kita. Tapi aku terus berusaha menutupi bahwa ketidakbetahanku bekerja untuk organisasi, karena kau mengecewakan perasaanku. Aku harap kau tak tahu aku pernah menyimpan perasaan padamu.

“Rima!” Suara lelaki menyergah dari arah belakangku. 

Aku yang tengah menikmati hamparan alam dengan kenangan masa lalu kita yang terkubur hidup-hidup, menerka-nerka karakter suara itu: kau. “Aris!” 

Aku begitu terkejut dengan kehadiranmu. Seperti sulit percaya bahwa kebetulan dari sekian banyak kemungkinan benar-benar mempertemukan kita kembali.

Sepenggal kisah lama kita akhirnya menuntut berlanjut malam ini. Setahun berlalu setelah kita menyelesaikan kuliah dan memperoleh gelar sarjana, kau ternyata memenuhi janjimu kepada Gunung Bromo. Kau kini menjadi seorang wartawan, sedangkan aku seperti yang pernah aku janjikan: menjadi seorang penulis fiksi.

Kita akhirnya bercakap banyak tentang masa lalu kita. Mengenang kembali sepenggal kisah yang berakhir tanpa kata perpisahan.

“Kau tak jadi ke pulau seberang? Bukankah kau akan menikah dengan seseorang pilihan orang tuamu?” kau bertanya lebih dulu. 

Aku jelas tak pernah mengatakan padamu soal itu, kecuali dalam cerpen yang pernah kutulis. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku merasa tak pernah berkata begitu padamu,” tanyaku kembali.
Kau mendeham, lalu bertanya lagi, “Kau pernah menuliskannya di cerpen curhatanmu. Kau tak ingat?” 

“Jadi, kau kira itu sungguhan?” tanyaku segera.

“Ya, kukira begitu. Kau tak mungkin mengelak kalau kukatakan lelaki yang kau maksud di cerpenmu adalah aku, kan? Jelas, bahasamu terlalu polos. Dan kukira, tentang rencana kepindahanmu ke pulau seberang dan menikah dengan seseorang lelaki adalah kebenaran juga,” jelasmu.

Aku tertawa beberapa detik. “Itu kan fiksi. Kukira, cerita fiksi hanyalah pengalaman nyata yang dipelintir di sana-sini. Ending yang menyedihkan itu adalah hasil pelintiranku. Tapi tentang lelaki dalam ceritaku itu, kukira kau benar,” tuturku, tak terkendali hingga jujur apa adanya.

“Jadi, kau….?” tanyamu, seperti ingin kalau aku menegaskan kembali pengakuan hatiku.

Aku hanya terdiam. Memendam rasa malu atas kata-kata yang terlanjur terucap. 

“Kau tahu, aku memaki cerpenmu itu karena aku benci ending-nya begitu,” akumu. 

Aku tak berani menoleh ke arahmu.

“Terus terang, aku sulit menerima jika suatu saat kau akan pergi dan menikah dengan lelaki lain. Karena itu juga, aku ingin membencimu. Padahal jika kau tahu, akulah yang lebih dulu memendam perasaan padamu, sebelum semua kesan-kesan yang kau tuliskan di cerpenmu,” jelasmu lagi.

Aku tak berani menyelamu. Aku ingin kau mengatakan semua kejujuran yang kau simpan selama ini.

“Aku tahu kau yang menemukan ponselku dan menyerahkan ke satpam di hari pertemuan kita pertama kali. Itu sangat berarti bagiku. Sore itu, stroke ayahku tiba-tiba kambuh. Untunglah ibuku segera menghubungi ponselku segera, hingga aku dapat mengantarnya ke rumah sakit sebelum terlambat. Kali ini, aku ingin berterima kasih,” tuturmu.

Aku balas mengangguk. Tak pernah menduga kalau ponsel yang kutemukan itu milikmu. Sungguh sebuah kejutan bahwa hal kecil itu membuatmu terkesan. Tak kuduga, peristiwa itu begitu membekas di memorimu.

“Kau tahu dari mana kalau aku yang menemukan ponselmu?” tanyaku.

“Aku dapat penjelasan dari satpam kampus. Dia sempat menunjuk ke arahmu, Si Perempuan yang menggunakan tas ransel bergambar gunung dan tulisan Gunung Bromo. Karena itu juga, aku menulis puisi tentang Gunung Bromo,” jelasmu.

Kita akhirnya diam untuk beberapa detik. Seperti mencoba mengingat-ingat kembali penggalan kisah kita yang lama. 

“Bagaimana tentang sepenggal kisah kita yang lama?” tanyamu.

“Aku akan menuliskannya. Novelku tentang itu hampir rampung. Maaf jika melibatkanmu dalam cerita tanpa kau tahu, apalagi seizinmu,” balasku.

“Aku malah senang, asalkan ending-nya tak berakhir menyakitkan,” candamu.
Kita akhirnya terdiam lagi beberapa detik.

“Maukah kau bertemu dengan ayahku. Dia sangat ingin berterima kasih padamu saat aku ceritakan tentang ponselku yang hilang itu,” tawarmu.

Aku tak bisa berkata-kata apa-apa, kecuali mengangguk lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar