Selasa, 08 Maret 2016

Lelaki Pemalu

Kau terlihat tenang sekarang. Lebih berani menatapku. Sudah sekitar tiga menit kita saling menatap dalam-dalam. Sepertinya, aku harus mengalah untuk ketiga kalinya. Kau kini hebat dalam permainan menahan tatapan. Tahan tak berkedip lama-lama. Kutebak, kau pasti ingin membalas kenyataan, bahwa betapa mudahnya kau gugup di hadapanku tiga tahun lalu. Dahulu, kau tak mungkin berani menatap mataku untuk kedua kalinya. Beranimu cuma melirik sekali, lalu mununduk pergi. Matamu pengecut. Tapi sekarang, aku bisa melihat jelas guratan bola matamu. Tatapanmu yang tajam bak merengkuh sukmaku. Kini aku pun bertanya-tanya, bagaimana bisa, dulu, kau sangat segan padaku.

Kejadian masa silam masih membekas di memoriku. Saat kita masih bergelut di organisasi kemahasiswaan yang sama, kau selalu kikuk jika kutatap. Setiap kali kita terjebak di satu ruang, saat rapat kepengurusan, kau selalu mati gaya jika aku ada. Ketika pandangan kita tiba-tiba bertabrakan, kau akan salah tingkah dan mencari pelarian lain, semisal tiba-tiba bergurau dengan teman lelaki di sampingmu. Padahal kubaca jelas, kau mencoba menyembunyikan perasaan gugupmu di hadapanku. Saat itu, untuk memandang mataku saja, sepertinya kau mengharamkannya, apalagi untuk mengajakku mengobrol. Itu mengherankan sebab kau homoris dan hangat pada teman kita yang lain.

Begitu lama kau bertahan dengan malumu dan gerak-gerikmu yang mencurigakan. Kau seperti menikmati hidup dalam dunia horor yang kau ciptakan sendiri. Padahal aku selalu siap jika kau ingin berbincang panjang-lebar denganku. Nyatanya, kau hanya akan membalasku jika aku yang lebih dulu menyapa atau bertanya, ataukah saat ada persoalan organisasi yang memaksamu. Tanpa faktor itu, kau lebih memilih diam seribu bahasa.

Sampai suatu hari seusai wisudaku, sekitar setahun yang lalu, kau satu-satunya teman lelakiku yang harus diolok-olok terlebih dahulu agar berani mengucapkan selamat kepadaku. Mungkin karena tak tahan dipojokkan, kau akhirnya memberanikan diri menyusulku saat hendak pulang ke rumah. 

“Se….Selamat atas wisudanya, Ayu,” tuturmu terbata-bata, tanpa basa-basi. Kau berucap sambil menunduk. Tak berani menatap mataku. Kau terlihat gugup. Tanganmu gemetaran. 

“Terima kasih Bas. Semoga kau cepat menyusulku,” balasku, mencoba tampil sehangat mungkin padamu.

“Iya. Semoga,” tuturmu sambil nyengir sepintas. Bola mata di balik kecamata minusmu melirikku sejenak. Segera setelah itu, kau pergi dengan gayamu yang langka. Dari kejauhan, kulihat, siulan dan gurauan teman-teman kita, membuatmu gusar dan malu.

Perbedaan itu membuatmu unik. Kusuka sikapmu begitu. Memang benar selera setiap orang berbeda dan tak bisa dipaksakan. Sama seperti kekagumanku padamu. Aku jadi merasa satu-satunya wanita yang mengidamkan tipe lelaki sepertimu di zaman modern ini. Kau tak seperti lelaki lain yang selalu berusaha bertopeng untuk membuai perasaan wanita. Kau menampilkan perasaanmu apa adanya. Itu yang kudambakan; kejujuran.

Sampai datang waktu, kesenanganku membayangkan tingkah lakumu yang menggemaskan, harus kuhentikan. Kudengar dari teman baik kita, kau sebenarnya tak menyukaiku. Sungguh, setelah mendengar itu, aku tak habis pikir. Apalagi sudah kuyakini bahwa mati gayamu selama ini adalah buah dari ketertarikanmu padaku, yang kau pendam dalam-dalam. Sejak itu, beralasan bagiku untuk mengiyakan bahwa lelaki pemalu sepertimu, tak pantas diidamkan. Tipe sepertimu bukan lelaki sesungguhnya. Kau tak perasa, apalagi pengertian.

Akhirnya, cerita tentang kebersamaan kita yang misterius, sampai pada klimaksnya. Sungguh tak kusangka, hampir setahun setelah aku wisuda, tiga bulan selepas kuliahmu juga usai, kau akhirnya datang melamarku. 

Kini, caramu mencintaiku membuatku bertanya-tanya.

“Apa benar dahulu kau tak menyukaiku?” tanyaku. Aku yakin, mengorek masa lalu kita akan membuat malumu bangkit lagi. Kau akan berkedip, dan akhirnya kalah di ronde ketiga ini.

“Aku tak pernah sebatas menyukaimu. Malah, dahulu aku tak mencintaimu. Sungguh!” tuturmu sambil menegakkan jari telunjuk bersama jari tengah di samping telinga, tanda bahwa kau tak lagi berbohong. “Sejak awal mengenalmu, aku hanya ingin mencintaimu.”

“Aku tak mengerti. Kau jangan sok-sok jadi filsuf cinta. Bicaralah dengan sederhana,” pintaku.

“Aku mengagumimu secara utuh. Aku menerima kekurangan dan kelebihanmu tanpa batas. Rasa sukaku padamu bukan hanya karena lesung pipimu yang manis itu. Kelak, pipimu akan keriput dan membuatnya samar-samar. Aku juga tak menyukaimu hanya karena mata bulatmu yang bening itu. Suatu saat akan berkerut, rabun, ataukah katarak. Jika hanya karena rasa suka, aku tak yakin bisa mendampingimu sepanjang waktuku. Tapi kau jangan meragukanku, sebab kini aku benar-benar mencintaimu,” balasmu dengan sikap yang tenang.

Penjelasanmu membuatku terkesima. Mulai kupahami, mengapa dahulu kau tak pernah memujiku seperti layaknya lelaki kekinian memperlakukan wanita. “Apa buktinya kau mencintaiku?” tanyaku.

“Aku berani menikahimu!” balasmu segera. “Dan aku tak akan meninggalkanmu, karena aku mencintaimu.”

Kulihat ada keyakinan tersirat di matamu. Begitu jujur. Tatapanmu semakin tajam, hingga menggetarkan batinku. Kantung air mataku pun tergelitik. Terpaksa, aku kalah untuk ketiga kalinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar