Kau
terlihat tenang sekarang. Lebih berani menatapku. Sudah sekitar tiga menit kita
saling menatap dalam-dalam. Sepertinya, aku harus mengalah untuk ketiga
kalinya. Kau kini hebat dalam permainan menahan tatapan. Tahan tak berkedip
lama-lama. Kutebak, kau pasti ingin membalas kenyataan, bahwa betapa mudahnya
kau gugup di hadapanku tiga tahun lalu. Dahulu, kau tak mungkin berani menatap
mataku untuk kedua kalinya. Beranimu cuma melirik sekali, lalu mununduk pergi. Matamu
pengecut. Tapi sekarang, aku bisa melihat jelas guratan bola matamu. Tatapanmu yang
tajam bak merengkuh sukmaku. Kini aku pun bertanya-tanya, bagaimana bisa, dulu,
kau sangat segan padaku.
Kejadian
masa silam masih membekas di memoriku. Saat kita masih bergelut di organisasi
kemahasiswaan yang sama, kau selalu kikuk jika kutatap. Setiap kali kita
terjebak di satu ruang, saat rapat kepengurusan, kau selalu mati gaya jika aku
ada. Ketika pandangan kita tiba-tiba bertabrakan, kau akan salah tingkah dan
mencari pelarian lain, semisal tiba-tiba bergurau dengan teman lelaki di
sampingmu. Padahal kubaca jelas, kau mencoba menyembunyikan perasaan gugupmu di
hadapanku. Saat itu, untuk memandang mataku saja, sepertinya kau
mengharamkannya, apalagi untuk mengajakku mengobrol. Itu mengherankan sebab kau
homoris dan hangat pada teman kita yang lain.
Begitu
lama kau bertahan dengan malumu dan gerak-gerikmu yang mencurigakan. Kau
seperti menikmati hidup dalam dunia horor yang kau ciptakan sendiri. Padahal aku
selalu siap jika kau ingin berbincang panjang-lebar denganku. Nyatanya, kau
hanya akan membalasku jika aku yang lebih dulu menyapa atau bertanya, ataukah
saat ada persoalan organisasi yang memaksamu. Tanpa faktor itu, kau lebih
memilih diam seribu bahasa.
Sampai
suatu hari seusai wisudaku, sekitar setahun yang lalu, kau satu-satunya teman
lelakiku yang harus diolok-olok terlebih dahulu agar berani mengucapkan selamat
kepadaku. Mungkin karena tak tahan dipojokkan, kau akhirnya memberanikan diri
menyusulku saat hendak pulang ke rumah.
“Se….Selamat
atas wisudanya, Ayu,” tuturmu terbata-bata, tanpa basa-basi. Kau berucap sambil
menunduk. Tak berani menatap mataku. Kau terlihat gugup. Tanganmu gemetaran.
“Terima
kasih Bas. Semoga kau cepat menyusulku,” balasku, mencoba tampil sehangat
mungkin padamu.
“Iya.
Semoga,” tuturmu sambil nyengir sepintas. Bola mata di balik kecamata minusmu
melirikku sejenak. Segera setelah itu, kau pergi dengan gayamu yang langka.
Dari kejauhan, kulihat, siulan dan gurauan teman-teman kita, membuatmu gusar dan
malu.
Perbedaan
itu membuatmu unik. Kusuka sikapmu begitu. Memang benar selera setiap orang berbeda
dan tak bisa dipaksakan. Sama seperti kekagumanku padamu. Aku jadi merasa satu-satunya
wanita yang mengidamkan tipe lelaki sepertimu di zaman modern ini. Kau tak
seperti lelaki lain yang selalu berusaha bertopeng untuk membuai perasaan
wanita. Kau menampilkan perasaanmu apa adanya. Itu yang kudambakan; kejujuran.
Sampai
datang waktu, kesenanganku membayangkan tingkah lakumu yang menggemaskan, harus
kuhentikan. Kudengar dari teman baik kita, kau sebenarnya tak menyukaiku. Sungguh,
setelah mendengar itu, aku tak habis pikir. Apalagi sudah kuyakini bahwa mati
gayamu selama ini adalah buah dari ketertarikanmu padaku, yang kau pendam
dalam-dalam. Sejak itu, beralasan bagiku untuk mengiyakan bahwa lelaki pemalu
sepertimu, tak pantas diidamkan. Tipe sepertimu bukan lelaki sesungguhnya. Kau
tak perasa, apalagi pengertian.
Akhirnya,
cerita tentang kebersamaan kita yang misterius, sampai pada klimaksnya. Sungguh
tak kusangka, hampir setahun setelah aku wisuda, tiga bulan selepas kuliahmu
juga usai, kau akhirnya datang melamarku.
Kini,
caramu mencintaiku membuatku bertanya-tanya.
“Apa
benar dahulu kau tak menyukaiku?” tanyaku. Aku yakin, mengorek masa lalu kita
akan membuat malumu bangkit lagi. Kau akan berkedip, dan akhirnya kalah di
ronde ketiga ini.
“Aku
tak pernah sebatas menyukaimu. Malah, dahulu aku tak mencintaimu. Sungguh!”
tuturmu sambil menegakkan jari telunjuk bersama jari tengah di samping
telinga, tanda bahwa kau tak lagi berbohong. “Sejak awal mengenalmu, aku hanya
ingin mencintaimu.”
“Aku
tak mengerti. Kau jangan sok-sok jadi filsuf cinta. Bicaralah dengan sederhana,”
pintaku.
“Aku
mengagumimu secara utuh. Aku menerima kekurangan dan kelebihanmu tanpa batas.
Rasa sukaku padamu bukan hanya karena lesung pipimu yang manis itu. Kelak,
pipimu akan keriput dan membuatnya samar-samar. Aku juga tak menyukaimu hanya
karena mata bulatmu yang bening itu. Suatu saat akan berkerut, rabun, ataukah
katarak. Jika hanya karena rasa suka, aku tak yakin bisa mendampingimu
sepanjang waktuku. Tapi kau jangan meragukanku, sebab kini aku benar-benar
mencintaimu,” balasmu dengan sikap yang tenang.
Penjelasanmu
membuatku terkesima. Mulai kupahami, mengapa dahulu kau tak pernah memujiku
seperti layaknya lelaki kekinian memperlakukan wanita. “Apa buktinya kau
mencintaiku?” tanyaku.
“Aku
berani menikahimu!” balasmu segera. “Dan aku tak akan meninggalkanmu, karena
aku mencintaimu.”
Kulihat
ada keyakinan tersirat di matamu. Begitu jujur. Tatapanmu semakin tajam, hingga
menggetarkan batinku. Kantung air mataku pun tergelitik. Terpaksa, aku kalah
untuk ketiga kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar