Sabtu, 31 Desember 2016

Emosi Jalanan


Jam 7 lewat 5 menit, pagi. Aku berangkat ke kantor dengan membawa sejumlah berkas yang kuperlukan. Jika tak ada halangan, aku bisa sampai 15 menit kemudian. Aku jelas tak ingin terlambat. Sebagai pegawai negeri yang baru terangkat, aku harus menunjukkan kepatuhan. Selain menunaikan tanggung jawabku sebagai abdi negara, juga penting bagiku menjaga citra di hadapan atasan, demi karir. 

Tapi di kota, perencanaan sering kali hanya awang-awang. Selalu ada peristiwa tak terduga yang membuat semua hanya indah di angan. Dan hari ini, aku mengalaminya lagi. Di tengah perjalanan, lagi-lagi, aku terjebak macet. Kendaraan menumpuk. Sampai seiring waktu, aku tahu, penyebabnya karena para pedagang pasar membuka lapak hingga ke bahu jalan. Sungguh menyebalkan.

Ujian kesabaranku, masih berlanjut. Di menit ke-10 perjalanan, peristiwa khas kota, kembali menjebakku. Dua orang pengendara, meluapkan emosinya tanpa menghiraukan pengendara lain. Selagi kendaraan mereka menutupi setengah bahu jalan, mereka beradu argumen dengan nada tinggi, hanya karena saling senggol. Mereka baru meluluh setelah pengendara lain menunjukkan emosi yang tak kalah garang.

Selepas dari jebakan manusia yang tak tahu aturan, aku segera mengebut gas mobilku. Melaju sekencang mungkin pada ruang jalan yang kosong, sambil menggumamkan sumpah serapah. Hingga, tanpa terduga, aku hampir saja menabrak seorang yang menyeberang jalan bukan di zebra cross. Emosiku pun mendidih. Tanpa kendali, aku mencacinya dengan kata-kata kotor, dalam ruang mobilku yang tertutup.

Setelah menenangkan diri sejenak, aku melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah aku di sebuah lampu merah. Lagi-lagi, kendaraan berhenti secara tidak teratur. Sejumlah kendaraan bahkan menutupi lintasan penyeberangan. 

Dan, kulirik jam tanganku, ternyata, lima menit berlalu lagi. Waktuku tersisa 10 menit. Aku harap bisa sampai di kantor tepat waktu, agar aku dapat mengawali rutinitasku dengan tenang. 
  
Lampu hijau menyala, tapi kendaraan dari arah lain, terus saja melaju. Jelas saja aku kesal. Maka, kusegerakan untuk memajukan kendaraan. Mencari celah yang memungkinkan untuk menyalip. Tapi akhirnya, usahaku gagal. Saat aku tepat di baris depan, lampu merah kembali menyala. Aku pun harus berhenti, menunggu lampu hijau untuk kedua kalinya. 

Sambil menanti waktu 30 detik berlalu, aku mencoba menyalakan radio. Mencari siaran yang kira-kira bisa menghibur. Tapi ruang ketenanganku, terusik lagi. Di balik kaca jendela mobil, menggerayang para pengais rezeki jalanan. Ada penjual asongan, pengamen, dan pengemis. Mereka silih berganti membujukku. Menawarkan perihal yang mereka bisa jual. 

Aku tak ingin menggubris mereka. Kututup jendela mobilku rapat-rapat, sambil pura-pura tak mengacuhkan. Meredam rasa belas kasihku yang sudah terlalu sering dikhianati. Aku selalu curiga, sedekahku kemarin-kemarin, tak digunakan mereka secara baik. Karena itu, aku tak ingin memberikan harapan, sehingga mereka bertahan menawarkan barang dan jasanya dengan cara yang terkesan memalak.

Akhirnya, lampu hijau menyala kembali. Aku ingin segera lepas jadi paradoks batinku tentang cara penghuni pinggiran kota mencari nafkah. Aku merasa tak punya urusan dengan mereka. Maka, kukebut kembali kendaraanku, lebih kencang dari sebelumnya. Beruntung, arus kendaraan lancar di atas bahu jalan yang lebar. Sungguh melegakan.

Sekarang, dua menit lagi jam setengah 8. Tapi ternyata, rintanganku belum usai. Sesampainya di depan kantorku, aku melihat sejumlah orang sedang berkerumun. Mereka berunjuk rasa tepat di gerbang masuk kantor. Mereka berteriak sembari membentangkan spanduk yang bertuliskan tuntutan agar upah buruh dinaikkan. 

Otomatis, tak ada ruang untukku masuk dan memarkir mobil di halam kantor. Emosiku pun kembali mendidih. Aku terpaksa memarkir kendaraanku di sisi lain kantor, di halaman belakang. Setelahnya, aku pun menyelinap masuk ke gedung melalui pintu belakang. Aku tak ingin menjadi sasaran teriakan dan olok-olokan para demonstran. 

Kilirik kembali jam tanganku. Sudah jam 7 lewat 31 menit. Jelas, aku terlambat mengisi absen. Maka dengan tergopoh-gopoh, aku setengah berlari menuju ruang administrasi untuk mengisi kolom tanda tangan kehadiranku. Dan, ternyata, ruangan masih lengang. Hanya ada beberapa pegawai yang mendahuluiku.

“Ibu tak ikut unjuk rasa?” tanyaku pada Yuni, pegawai alih daya yang dikontrak sebagai tukang bersih-bersih kantor.

“Aku takut dipecat. Aku cari aman saja. Statusku sebagai pegawai alih daya, sangat rentan pemecatan, Pak,” tuturnya, terlihat semringah seperti biasa. “Ngomong-ngomong, Bapak rajin benar datang ke kantor?”

Aku sedikit tersipu mendengar pujiannya. “Ini kan sudah tanggung jawab saya, Bu.”

Dia tersenyum tersipu. “Tapi Bapak kok rapi sekali?”

Aku memerhatikan setelah bajuku. Khawatir kalau sebenarnya, ia cuma meledek. “Ya, kan aturannya harus seperti itu, Bu. Harus pakai sepatu, jas, dasi, macam-macam,” tangkisku. “Yang lain mana, Bu. Kok sepi? Apa ada rapat mendadak atau kunjungan pejabat di kantor ini?”

Tiba-tiba, tawanya pecah. “Aduh, Bapak. Ini kan tanggal 1 Mei, Hari Buruh,” tuturnya.

“Memangnya kenapa kalau Hari Buruh?” sergahku.

“Itu artinya tanggal merah, Pak,” tegasnya, sambil tergelak.

Seketika, aku merasa bodoh sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar