Senin, 11 Januari 2021

Pinang dan Sirih

Akhirnya, Agus menapakkan kakinya di sebuah pasar tradisional dengan perasaan setengah malas. Bukan karena ia tipe orang yang gengsi dan jijik membaur di lingkungan yang sesak dan pengap semacam itu, tetapi karena ia ogah-ogahan menuntaskan sebuah misi pesanan. Ia mesti membeli bahan-bahan pangan untuk penyelenggaraan pesta selamatan rumah barunya esok hari.

Agus sungguh membenci keribetan pesta, meski untuk selamatan sekali pun. Bukan berarti ia tak bersyukur telah berhasil menghuni rumah baru di tepian kota, tetapi karena itu dirasanya sebagai perayaan berlebihan. Selain terhitung perborosan ketika ia masih menanggung angsuran selama belasan tahun, juga karena itu tak sejalan dengan pemahaman agamanya yang sederhana dan lurus-lurus saja, yang menghindari unsur foya-foya dan adat istiadat.

Tetapi bagaimana pun, kehendak ibu mertuanya yang datang jauh-jauh dari kampung, adalah sebuah perintah yang sangat sukar ditawar-tawar. Selain karena menolak dan mendebatnya dapat mengganggu keharmonisan hubungan antar dua keluarga besar, juga dapat merusak nama baiknya sebagai menantu idaman yang sedari dulu berusaha ia jaga.

Dengan kepatuhan yang terpaksa, akhirnya, ia pun menyusuri lingkungan pasar untuk membeli segala macam pesanan yang tercatat di secarik kertas. Ia mesti bersabar untuk mondar-mandir ke segala sisi demi mendapatkan pesanannya satu per satu. Apalagi, sebagai warga pendatang baru, ia belum menghapal betul medan pasar yang baru ia kunjungi untuk kedua kalinya.

Setelah berkali-kali bolak-balik, tergetnya pun rampung. Ia telah membeli beras, ayam kampung, sayur-mayur, serta segala macam bumbu. Maka ia pun melangkah pulang untuk segera menyerahkan hasil perburuannya. Tetapi tiba-tiba, perhatiannya tertuju pada seorang perempuan tua yang menggelar lapaknya di teras gedung pertokoan pasar, tepat di samping gerbang masuk.

Seketika, Agus merasa iba melihat perempuan berdaster lusuh dan bertudung sarung itu. Ia merasa kalau sang nenek telah memenuhi kriteria sebagai pedagang kecil yang memprihatinkan. Selain karena penampilannya yang tidak menarik di tengah bisnis jual beli yang turut memperdagangkan harga diri, juga karena dagangannya sekadar buah pinang dan daun siri.

Atas tampakan itu, Agus pun menjadi kasihan kalau-kalau sang nenek akan memulangkan jualannya tanpa ada yang laku. Apalagi sepengetahuannya, pinang dan sirih dalam bentuk alami, hanya berguna untuk nyirih orang-orang tua yang kini tak pernah lagi ia jumpai. Maka ia pun memutuskan untuk membeli dagangan sang nenek dalam jumlah banyak, tanpa menawar.

Tentu saja sang nenek sangat senang. Mata tuanya berkaca-kaca, seperti tatapan kesima anak kecil yang mendapatkan hadiah. Dan rona kesenagan itu sungguh membuat Agus merasa terharu, seolah-olah ia telah melakukan kebajikan yang mulia. Ia merasa telah bertindak tepat untuk tidak mengabaikan sang nenek, sehingga ia terhindar dari kutukan nuraninya sendiri.

Beserta perasaan yang tenteram, Agus lantas pulang membawa semua barang beliannya dengan mobil, sambil terus memikir-mikirkan tentang peruntukan pinang dan sirih itu. Apalagi, orang-orang di rumahnya pasti akan mempertanyakan alasan ia membeli dua bahan di luar pesanan itu. Hingga ia pun berencana menguraikan alasan sesuai pengetahuan umumnya, bahwa pinang dan sirih baik untuk kesehatan mulut dan gigi.

Setelah menempuh perjalannya yang sebentar, Agus pun sampai di rumahnya. Dengan cepat, orang-orang rumah datang menyambut barang-barang dari dalam mobil. Barang-barang itu lalu mereka bawa dan gelar di area dapur. Sampai akhirnya, apa yang ia duga benar-benar terjadi. Istrinya segera melontarkan pertanyaan setelah menemukan pinang dan sirih itu di antara bahan-bahan pesanan.

“Pak, untuk apa buah pinang dan daun sirih ini?” tanya sang istri.

Tanpa pengalaman soal cara penggunaan pinang dan sirih, Agus pun tiba-tiba kikuk menguraikan alasan yang sedari tadi berada di dalam pikirannya. “Mmm, anu…”

“Ah, bagus,” sela ibu mertuanya seketika. “Untung saja Agus membeli pinang dan sirih. Kita lupa menulisnya di catatan. Padahal itu penting,”

Sang istri lekas menyelidik, “Memangnya, untuk apa, Bu?”

Dengan raut semringah, sang mertua pun menjelaskan, “Nanti malam, Kakekmu akan datang. Ia akan memimpin doa-doa esok hari. Nah, pinang dan sirih sangat perlu dan harus ada dalam upacara adat semacam itu.”

Seketika, jiwa puritan Agus tersentak.

“Oh, iya. Di kampung kan memang selalu begitu,” tanggap sang istri.

“Ah, kalian ini memang sudah jauh dari adat dan tradisi. Sudah lupa pada leluhur,” tutur ibu mertuanya. “Kalian harus banyak belajar dari para tetua.”

Mendengar itu, Agus hanya mematung bodoh dengan perasaan bergejolak.

“Nah, perhatikanlah. Aku akan mengajarkan kepada kalian bagaimana tata cara membungkus belahan buah pinang dengan daun sirih untuk digunakan dalam upacara adat,” ajak sang mertua. “Kalian harus paham juga soal-soal beginian.”

Agus menurut saja tanpa daya untuk menyanggah, atau sekadar menghindar. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar