Senin, 11 Januari 2021

Cita Hidangan

Masa perkenalan dalam waktu sesaat, ternyata tidak membuat Sumi ragu untuk menerima pinangan Burjan. Meski belum benar-benar saling memahami watak masing-masing, Sumi yakin bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Dan sebaliknya, Burjan pun merasa telah menemukan pendamping hidupnya. Hingga dalam dua bulan perkenalan, mereka akhirnya menikah.

Tetapi sesi pendekatan ternyata memang hanya menampakkan sisi-sisi yang menawan di antara mereka. Hanya berusaha saling menyenangkan, sehingga mereka tak pernah saling menampakkan watak mereka yang sesungguhnya. Sampai akhirnya, seiring waktu, Sumi tahu kalau Burjan adalah orang yang keras kepala, dan Burjan pun menilai Sumi lebih keras kepala.

Perkara yang sering kali menjadi bahan pertengkaran mereka adalah cita rasa hidangan yang tersaji di atas meja makan. Pasalnya, Burjan tak pernah merasa puas atas hasil masakan Sumi. Ia selalu merasa kalau cara Sumi mencampuradukkan bumbu, tak pernah pas. Sedangkan kritik dan saran yang berulang kali ia lontarkan soal itu, seolah tak berarti apa-apa.

Tetapi sebaliknya, Sumi merasa kalau masakannya adalah yang terbaik. Ia memang tak menggunakan bumbu secara berlebihan, sebab baginya, selain enak, sisi kesehatan dari makanan juga harus tetap diperhatikan. Karena itulah, masakannya acap kali dinggap kurang garam, atau seduhannya dianggap kurang gula, karena ia berusaha menjaga takaran sehat itu.

Atas ketidaksepakatan terhadap cita rasa hidangan, Burjan merasa Sumi tak bisa membahagiakan lidahnya. Atau sebenarnya, memang tidak mau. Padahal itu terjadi karena Sumi labih fokus meniatkan hidangan untuk kesehatan suaminya itu. Bagaimana pun, ia mencintai sang suami meski selalu menyalahpahaminya, dan ia ingin mereka berdua sehat dan saling menjaga sepanjang usia.

Sampai akhirnya, delapan bulan yang lalu, pada satu malam, pertengkaran hebat kembali terjadi di antara mereka. Pasalnya, Burjan yang selama ini doyan jajan di luar secara sembunyi-sembunyi, mulai terang-terangan menolak untuk menyantap masakan Sumi. Bahkan tanpa segan, ia membawa jajanannya untuk pagi, siang, dan malam di atas meja makan, sembari menyepelekan masakan sang istri.

“Hidangan yang aku sajikan, semuanya untuk kebaikan Bapak!” tegas Sumi dengan penuh kekecewaan, setelah mereka berperang kata dan saling menyudutkan. “Aku ingin kesehatan Bapak tetap terjaga, agar kita bisa melakukan apa saja secara bersama-sama.”

Dengan sikap tak peduli, Burjan terus saja menyantap potongan daging sapi dan nasi goreng jajanannya, tanpa sayur, sambil sesekali menyelinginya dengan minuman bersoda. Sedang di sampingnya, tudung saji menutup nasi merah, sayur kelor, dan ikan rebus masakan sang istri, yang tak sedikit pun ia makan.

“Kalau bapak terus-terusan makan makanan yang tak sehat begitu, aku khawatir kesehatan Bapak akan terganggu. Bapak akan menjadi semakin gemuk, dan tekanan darah Bapak akan meninggi,” kesal Sumi atas keprihatinannya. “Di usia yang terus bertambah, seharusnya kita lebih sadar untuk menjaga pola makan.”

Burjan yang tetap saja cuek, akhirnya menandaskan santapannya, lalu membersihkan tangannya dengan tisu. Lekas kemudian, ia menggamit sebatang rokok yang segera ia nikmati dengan segelas kopi yang ia beli di sebuah kedai. Setelah berserdawa puas, ia kemudian membalas, “Mulai sekarang, Ibu tak usah lagi memasak porsi makanan yang banyak. Aku lebih suka makan makanan di luar, sehingga tak baik kalau masakan Ibu basi dan mubazir.”

Dengan perasaan dongkol dan kecewa, Sumi tak lagi membalas, dan perintah sang suami itu dipatuhinya serupa perjanjian. Selama lima bulan, Burjan pun memuaskan dirinya dengan hidangan yang ia beli dari warung dan restoran. Sampai terjadilah apa yang diwanti-wanti Sumi: Burjan mengalami stroke yang membuat tubuhnya lumpuh sebelah di usia yang terbilang masih muda.

Akhirnya, dengan kondisi yang tidak berdaya untuk ke sana-sini membeli apa yang ia inginkan, mau tak mau, Burjan harus memaksa diri untuk menyantap setiap suapan makanan dari sang istri yang kukuh pada prinsip kesehatannya. Ia harus menyesuaikan seleranya dengan hidangan sang istri yang perlahan-lahan ia pahami memang baik untuk dirinya sendiri, meski butuh waktu lama untuk mengubah kebiasaan lidahnya.

Tetapi akibat dari pola makan tidak sehat yang berlangsung lama, kepasrahan cita rasa Burjan tidak mungkin mendatangkan kesembuhan secara cepat. Dokter bahkan telah mewanti-wanti bahwa proses penyembuhan Burjan akan lama. Apalagi ia telah mengidap segala macam keadaan tubuh yang krusial dan potensial berujung fatal. Tetapi demi harapan sembuh, proses fisioterapi yang ia jalani, terus saja dibarengi dengan asupan makanan yang sehat dan bergizi dari sang istri, sesuai anjuran dokter.

Hingga akhirnya, proses perawatan yang berlangsung selama tiga bulan yang lalu membuat keadaan Burjan perlahan membaik. Ia sudah bisa menggerakkan sisi badannya yang lumpuh, meski secara kaku. Ia sudah bisa melafalkan kata, meski terdengar gagu.

Dan pagi ini, Burjan kembali melakukan rutinitas penyembuhan yang sama seperti kemarin-kemarin. Setelah belajar berdiri dan berjalan dengan topangan sang istri, ia pun duduk di kursi rodanya, sembari berjemur dan menyaksikan sang istri mengurus tanaman bunga, obat-obatan, dan sayuran di halaman rumah.

Beberapa saat kemudian, Burjan lantas melihat istrinya berusaha memetik daun kelor di ujung cabang dengan galah, sambil bertumpu pada pondasi perbatasan halaman antartetangga. Namun entah bagaimana, kaki sang istri tiba-tiba terpeleset, hingga ia terjatuh dengan sisi balakang kepala yang mendarat tepat di sebuah batu penghias tananam, sampai ia jadi tak sadarkan diri.

Seketika, Burjan berusaha untuk segera menolong sang istri. Namun apa daya, ia tertahan saja dengan gerak tak keruan di sebelah tubuhnya. Hanya terus berharap kejaiban segera melenturkan kekakuan raganya. Hanya terus menyahutkankan pertolongan yang hanya terdengar sebagai dengungan huruf O yang panjang. Hingga ia terjatuh dari atas kursi rodanya, dan terkapar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar