Dua
orang sahabat, Alimin dan Sogi, terlibat obrolan kelas dewasa di depan layar
televisi. Topiknya tentang kebobrokan para pejabat yang sedang disiarkan di
program berita. Mereka mengutuk kaum demagog yang hanya bisa membuai dengan
kata-kata kebaikan, tapi nihil dalam tindakan yang baik. Sungguh menggelitik
bagi Alimin, kala menyaksikan seseorang yang dulunya tampak alim di depan
kamera, diam-diam, melakukan tindakan bejat.
Yang
paling membuat Alimin terenyuh adalah perilaku hitam-putih yang sering kali
dipertontonkan oleh para pejabat. Kelabu. Tindakan yang penuh dengan paradoks
dan ironi. Kadang ada seorang yang disalahkan karena berbicara kebenaran.
Kadang pula ada orang yang dibenarkan, padahal sejatinya ia berperilaku buruk.
Sebagai bukti, ia mengutarakan fenomena pejabat yang gemar membangun rumah
ibadah, tapi dari hasil korupsi.
Sogi
yang analisisnya sesekali lebih mendalam, menyampaikan pendapatnya. Menurut
pandangannya, setiap keburukan, senantiasa akan ditutupi dengan intrik
kebaikan. Kadang kala, kebaikan yang tampak sebesar-besarnya, adalah untuk
menutupi keburukan yang sebesar-besarnya. Setiap orang yang berperilaku buruk, tetap
ingin terlihat baik, supaya ia merasa aman dalam melakukan keburukan selanjutnya.
Mulut
Alimin pun, seperti tersekat mendengar penuturan Sogi. Nalarnya seakan-akan
mengiyakan tesis yang diutarakan sahabatnya itu. Sambil mengunyah beragam
makanan ringan yang baru saja dibelinya, ia terus mengeluarkan puji-pujian,
bahwa teman karibnya itu, adalah orang yang cerdas. Tentu saja, Sogi menjadi
besar kepala. Tapi sembari lahap mengunyah makanan, ia berusaha menutupi rasa
tersanjungnya. Ia pun balik memuji Alimin.
“Ngomong-ngomong,
hari ini kau baik sekali kawan. Aku merasa beruntung punya teman baik sepertimu.
Kau sangat pengertian. Bisa jadi teman diskusi, teman tertawa, juga teman
sependeritaan,” aku Sogi. “Harusnya, hari ini, aku yang mentraktirmu.”
Alimin
terkekeh. “Tak usah sungkan. Makan saja selahap-lahapnya. Nikmatilah perayaan
ulang tahunmu kawan,” katanya, sambil menepuk-napuk lengan Sogi. “Aku sih
kurang setuju dengan kebiasaan sekarang. Kalau orang ulang tahun, ya
sekali-kalilah dia yang ditraktir. Kalau tidak begitu, bisa jadi orang-orang
malah tak senang di hari ulang tahunnya, sebab takut diporoti.”
Sogi
menggeleng-gelengkan kepala. Tampak kagum dengan pola pikir kawannya. “Jika
saja pejabat-pejabat negara sepengertian dan sedermawan kamu, aku yakin, bangsa
kita akan sejahtera.”
“Ah,
berhentilah memuji-muji. Ini hanya masalah kecil. Apalagi, aku yakin, jika kau
sedang banyak rezeki sekarang, kau pasti telah menyiapkan hidangan sebelum aku
kemari,” kata Alimin.
“Sepertinya
tidak,” balas Sogi, lalu tertawa.
Alimin
pun turut tertawa, seakan-akan perbincangan tak lucu seperti itu, pantas
ditertawankan.
Setelah
puas menertawakan sesuatu di kepalanya sendiri, Alimin pun mohon
pamit dengan perutnya yang begah. Sogi yang tak kalah kenyangnya, membiarkan saja
temanya itu pergi. Apalagi, sudah waktunya ia tidur malam.
Tapi
seketika, Sogi maengingat bahwa ia harus mengembalikan pinjamannya pada Alimin. Ia pun meminta waktu sebentar kepada sahabatnya itu, kemudian berdiri,
bergerak ke arah sebuah meja. Ia hendak mengambil selembar uang Rp. 50.000,-
yang tergeletak di atas sebuah meja, untuk diberikannya kepada Alimin. Namun,
selembar uang yang dimaksudnya, telah lenyap entah ke mana.
“Imin,
utangku yang kemarin, masih belum bisa kukembalikan. Maaf ya, aku belum punya
uang. Uang yang hendak kuberikan padamu, lenyap di atas meja, entah ke mana,”
akunya. “Mungkin, adikku yang mengambilnya. Besok, kuusahakan untuk membayar
utangku.”
Seketika,
perasaan Alimin tersentuh. Ia merasa prihatin melihat raut kasihan dan bersalah di wajah
sahabatnya itu. Setelah mempertimbangkan matang-matang, ia pun kembali menunjukkan
kedermawanannya. “Tak usah pikirkan utang itu lagi. Kau tak usah mengembalikannya.
Hitung saja itu sebagai bagian dari perayaan ulang tahunmu.”
“Tapi,
aku harus mengembalikannya,” paksa Sogi.
Alimin
menggeleng. “Tak usah kawan.”
Dan,
akhirnya, Sogi pun mengalah. “Terima kasih kalau begitu. Suatu saat, kalau kau
ulang tahun, aku akan melakukan hal yang sama untukmu.”
Alimin
hanya tersenyum, kemudian berlalu bersama cerita terselubung di benaknya, cerita yang
tak lagi terasa lucu. Bahkan, ada sedikit rasa bersalah yang sekarang ia
pendam, sebab selembar uang yang dimaksud Sogi, telah ia tukarkan dengan
seperangkat makanan ringan, juga beberapa botol minuman berwarna di warung
sebelah. Dan kini, ia merasa bagian dari kaum demagog yang penuh ironi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar