Rabu, 12 September 2018

Tentang Satu Obrolan

Betapa semringah perasaan Mira menunggu kedatangan seorang sahabat baiknya selama bertahun-tahun. Ia memiliki satu cerita berkesan yang sudah tak tahan lagi untuk segera ia bagikan kepada sahabatnya itu. Satu cerita tentang kesenangan hatinya setelah merasa jatuh cinta pada seorang lelaki yang berhasil membuatnya terbuai.
 
Wajarlah kalau Mira hendak berkisah dengan sangat antusias. Sepanjang hidupnya, ia hampir tidak pernah memasrahkan hatinya kepada lawan jenis. Ia terus menahan diri agar tak mengikuti alur perasaannya tentang cinta. Ia merasa kalau jatuh cinta pada seorang lelaki adalah bahaya bagi seorang perempuan yang tak punya kenekatan untuk mengungkapkan perasaannya lebih dahulu, sebagaimana dirinya. Ada kemungkinan bahwa ia akan terluka oleh harapan ketika lelaki idaman malah tak mengidamkannya.

Tekad Mira untuk menggugurkan bunga-bunga cinta di dalam hatinya, memang ditempa oleh kenyataan hidupnya yang pahit. Dahulu, saat masih di bangku kuliah, ia pernah begitu suka pada seorang lelaki. Ia pendam perasaan itu sampai menggunung. Tapi nahas, ia sampai pada akhir yang tragis. Lelaki idamannya menikah dengan perempuan lain, teman baiknya sendiri, meski ia telah yakin bahwa cintanya akan berbalas. Dan kini, ia harus berurusan dengan perasaannya sendiri.

Biar pun terluka atas harapannya, Mira tak benar-benar berhenti untuk berharap. Ia tetap saja menyimpan telepon genggam dengan nomor telepon yang sama, yang telah mengarsipkan banyak obrolan datar di antara mereka soal agenda organisasi semasa mahasiswa. Dengan nakalnya, Mira bahkan masih suka mengulas riwayat obrolan mereka, sembari berharap ada keajaiban yang membuat sang mantan lelaki idaman kembali mengirimkannya pesan, walau sekadar ucapan hari raya yang disebar secara umum.

Namun akhirnya, upaya Mira untuk mengosongkan hati dari pendatang baru selama kurang lebih 8 tahun, rupanya kandas di satu sosok lelaki. Ia menyerah pada seseorang lelaki yang mampu meladeninya dalam obrolan yang asyik. Obrolan tentang alam, buku, dan musik. Dan seketika, ia merasa telah menemukan lelaki idamannya di masa lalu dalam sosok yang lain. Ia merasa cintanya tak akan bertepuk sebelah tangan, sebab si lelaki itu memiliki gelagat untuk mengajakkan ke jenjang yang lebih serius. Mereka bahkan bersepakat untuk bertemu di sebuah kafe, esok lusa.

Dan di bawah bayang-bayang sang lelaki idaman yang baru, dengan perasaan yang tetap berbunga-bunga, tibalah Maya, seorang sahabat yang dinantinya sedari tadi di sebuah kafe. Perempuan itu datang dengan raut wajah yang murung. Seakan-akan ada kegalauan yang hendak ia bagikan, dan hanya menunggu pertanyaan untuk ia luruhkan seketika. Karena itu, Mira menahan hasratnya untuk bercerocos soal kesenangan hatinya, sebab sebagaimana etika dalam percakapan, setiap orang sepatutnya peduli untuk mendengarkan kesedihan orang lain ketimbang ngotot memperdengarkan kebahagiaannya.

Maka, bertanyalah Mira, sesaat setelah Maya duduk. “Ada apa denganmu? Kau ada masalah?”

Dengan rasa kesal yang masih tampak di wajahnya, Maya pun bertutur dengan lesu, “Aku tak pernah merasakan kecewa yang sekecewa ini,” tuturnya, singkat, seakan menanti untuk ditanya lagi.

Lekas, Mira menelisik, “Kau kecewa karena apa? Ceritalah!”

Setelah bungkam beberapa detik, Maya kemudian berucap, “Aku mendapatkan bukti kalau suamiku mulai bermain-main dengan wanita lain.”

Jelas saja Mira tersentak. Mulutnya tersekat untuk bertanya lebih jauh. Ia merasa tidak percaya kalau suami Maya akan berlaku serong.

Tapi sebagaimana wanita yang sedang berada di puncak kegalauan, tak perlu pertanyaan untuk menceritakan semua isi hatinya secara detail. “Tadi pagi, setelah aku terbangun dan ia masih pulas, senyap-senyap, aku mengecek berkas-berkas di telepon genggamnya setelah berhari-hari aku memendam curiga. Dan…,” Ia mulai menangis. “Aku mendapati obrolan panjangnya dengan seorang wanita bernama Santika.”

Seketika, Mira tersentak lagi. Ada praduga-praduga yang timbul di benaknya, yang membuat ia tak sabar untuk bertanya. “Apa kau mengenal wanita itu?”

Maya menggeleng. “Ia tak memasang foto di profilnya.”

Perlahan-lahan kemudian, Mira berusaha meredam rasa penasarannya. Ia menahan diri untuk bersikap secara berlebihan dan berupaya meredakan emosinya. Ia berharap sangkaan liarnya tidaklah benar.

“Oh, Tuhan. Mungkinkah karena aku tak juga menghasilkan keturunan?” keluh Maya.

Dengan rasa prihatin, Mira menggenggam tangan sahabatnya. “Bersabarlah. Berdoa saja, mudah-mudahan suamimu dan si wanita itu segera menginsafi kekhilafannya. Kau tahu, dunia maya adalah dunia yang semu. Sangat mungkin kekhilafan terjadi di sana.”

Bukannya tenang, emosi Maya malah melonjak. Seolah-olah kekesalannya berada di titik klimaks. “Bagaimana obrolan serius semacam itu bisa dianggap kekhilafan?” tegasnya. “Mereka bahkan menyinggung soal rencana untuk menuju ke jenjang yang lebih serius.”

“Iya. Aku paham, May. Tapi kan tetap saja itu obrolan di dunia maya. Bisa jadi suamimu hanya kurang kerjaan dan iseng mengganggu akun wanita secara acak,” sangka Mira, demi menenangkan sahabatnya.

Untuk kedua kalinya, emosi Maya meninggi. “Tidak mungkin! Obrolan mereka terlalu intim untuk sekadar bermain-main kata. Mereka bahkan bermanja-manjaan dan berbincang hangat soal hobi dan kesenangan masing-masing.”

“Tapi kan itu akun anonim. Bisa jadi orang yang kau curigai bukanlah seorang wanita, dan hanya iseng mengerjai suamimu,” timpal Mira.

“Aku tahu!” sergah Maya. 

Mira terperanjat.

Seketika, Maya tampak bersalah telah mengeluarkan suara yang bernada tinggi. Ia pun menenangkan emosinya, kemudian bertanya, “Kau punya kesibukan esok lusa, pada jam 5 sore?”

Mira tampak menyesal. “Kebetulan sekali, aku punya janji untuk bertemu dengan seseorang. Tepat jam itu juga,” terangnya, sambil berusaha meredam raut bahagianya untuk segera bertemu dengan sang lelaki idaman. “Memangnya kenapa?”

“Aduh. Bisa tidak kau batalkan saja pertemuanmu itu?” tanya Maya. “Aku ingin kau menemaniku ke kafe Latte. Di obrolan mereka, aku membaca bahwa suamiku dan si wanita itu punya janji untuk bertemu di sana.”

Sontak, Mira terkejut bukan kepalang. Namun sebisa mungkin, ia berusaha tampil dengan sikap yang biasa.

Perlahan, di dalam benak Mira, timbullah kecurigaan yang cenderung menjurus pada keyakinan bahwa mimpinya tentang sosok lelaki impian itu, harus dikuburnya dalam-dalam, sebab ia tak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga teman baiknya sendiri.

“Aku mohon!” pinta Maya dengan sangat.

Mira menggeleng. “Maafkan aku, May. Kali ini, aku tidak bisa. Aku harus menepati janjiku,” katanya, sekadar beralasan agar Maya tak memergokinya dengan sang suami. Meski di esok lusa, entah ke mana juga ia akan menenangkan harapannya.

Maya tampak kecewa.

Mira mencoba berbasa-basi. 

Beberapa waktu kemudian, Maya mulai tampak tenang.

Segera saja, Mira meminta diri untuk pergi dengan alasan punya kepentingan yang mendesak. 

Maya tak punya alasan untuk menahan.

Akhirnya, berdirilah Mira dari tempat duduknya, berbalik badan, dan melangkah cepat-cepat, menyembunyikan raut kekecewaannya di bawah langit yang mendung, bahwa ia harus kecewa untuk kedua kalinya karena sosok lelaki yang sama, dan itu jelas membuatnya semakin benci untuk kembali mengharapkan cinta seorang lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar