Betapa
semringah perasaan Mira menunggu kedatangan seorang sahabat baiknya selama
bertahun-tahun. Ia memiliki satu cerita berkesan yang sudah tak tahan lagi untuk
segera ia bagikan kepada sahabatnya itu. Satu cerita tentang kesenangan hatinya
setelah merasa jatuh cinta pada seorang lelaki yang berhasil membuatnya terbuai.
Wajarlah
kalau Mira hendak berkisah dengan sangat antusias. Sepanjang hidupnya, ia hampir
tidak pernah memasrahkan hatinya kepada lawan jenis. Ia terus menahan diri agar tak mengikuti alur perasaannya tentang cinta. Ia merasa kalau jatuh cinta
pada seorang lelaki adalah bahaya bagi seorang perempuan yang tak punya
kenekatan untuk mengungkapkan perasaannya lebih dahulu, sebagaimana dirinya. Ada
kemungkinan bahwa ia akan terluka oleh harapan ketika lelaki idaman malah tak
mengidamkannya.
Tekad
Mira untuk menggugurkan bunga-bunga cinta di dalam hatinya, memang ditempa oleh
kenyataan hidupnya yang pahit. Dahulu, saat masih di bangku kuliah, ia pernah begitu
suka pada seorang lelaki. Ia pendam perasaan itu sampai menggunung. Tapi nahas,
ia sampai pada akhir yang tragis. Lelaki idamannya menikah dengan perempuan lain,
teman baiknya sendiri, meski ia telah yakin bahwa cintanya akan berbalas. Dan kini,
ia harus berurusan dengan perasaannya sendiri.
Biar
pun terluka atas harapannya, Mira tak benar-benar berhenti untuk berharap. Ia
tetap saja menyimpan telepon genggam dengan nomor telepon yang sama, yang telah
mengarsipkan banyak obrolan datar di antara mereka soal agenda organisasi semasa
mahasiswa. Dengan nakalnya, Mira bahkan masih suka mengulas riwayat obrolan
mereka, sembari berharap ada keajaiban yang membuat sang mantan lelaki idaman kembali
mengirimkannya pesan, walau sekadar ucapan hari raya yang disebar secara umum.
Namun
akhirnya, upaya Mira untuk mengosongkan hati dari pendatang baru selama kurang lebih
8 tahun, rupanya kandas di satu sosok lelaki. Ia menyerah pada seseorang lelaki
yang mampu meladeninya dalam obrolan yang asyik. Obrolan tentang alam, buku,
dan musik. Dan seketika, ia merasa telah menemukan lelaki idamannya di masa lalu
dalam sosok yang lain. Ia merasa cintanya tak akan bertepuk sebelah tangan,
sebab si lelaki itu memiliki gelagat untuk mengajakkan ke jenjang yang lebih
serius. Mereka bahkan bersepakat untuk bertemu di sebuah kafe, esok lusa.
Dan
di bawah bayang-bayang sang lelaki idaman yang baru, dengan perasaan yang tetap
berbunga-bunga, tibalah Maya, seorang sahabat yang dinantinya sedari tadi di
sebuah kafe. Perempuan itu datang dengan raut wajah yang murung. Seakan-akan
ada kegalauan yang hendak ia bagikan, dan hanya menunggu pertanyaan untuk ia luruhkan
seketika. Karena itu, Mira menahan hasratnya untuk bercerocos soal kesenangan
hatinya, sebab sebagaimana etika dalam percakapan, setiap orang sepatutnya
peduli untuk mendengarkan kesedihan orang lain ketimbang ngotot memperdengarkan kebahagiaannya.
Maka,
bertanyalah Mira, sesaat setelah Maya duduk. “Ada apa denganmu? Kau ada
masalah?”
Dengan
rasa kesal yang masih tampak di wajahnya, Maya pun bertutur dengan lesu, “Aku
tak pernah merasakan kecewa yang sekecewa ini,” tuturnya, singkat, seakan menanti
untuk ditanya lagi.
Lekas,
Mira menelisik, “Kau kecewa karena apa? Ceritalah!”
Setelah
bungkam beberapa detik, Maya kemudian berucap, “Aku mendapatkan bukti kalau
suamiku mulai bermain-main dengan wanita lain.”
Jelas
saja Mira tersentak. Mulutnya tersekat untuk bertanya lebih jauh. Ia merasa
tidak percaya kalau suami Maya akan berlaku serong.
Tapi
sebagaimana wanita yang sedang berada di puncak kegalauan, tak perlu pertanyaan untuk
menceritakan semua isi hatinya secara detail. “Tadi pagi, setelah aku terbangun
dan ia masih pulas, senyap-senyap, aku mengecek berkas-berkas di telepon
genggamnya setelah berhari-hari aku memendam curiga. Dan…,” Ia mulai menangis.
“Aku mendapati obrolan panjangnya dengan seorang wanita bernama Santika.”
Seketika,
Mira tersentak lagi. Ada praduga-praduga yang timbul di benaknya, yang membuat
ia tak sabar untuk bertanya. “Apa kau mengenal wanita itu?”
Maya
menggeleng. “Ia tak memasang foto di profilnya.”
Perlahan-lahan
kemudian, Mira berusaha meredam rasa penasarannya. Ia menahan diri untuk
bersikap secara berlebihan dan berupaya meredakan emosinya. Ia berharap
sangkaan liarnya tidaklah benar.
“Oh,
Tuhan. Mungkinkah karena aku tak juga menghasilkan keturunan?” keluh Maya.
Dengan
rasa prihatin, Mira menggenggam tangan sahabatnya. “Bersabarlah. Berdoa saja,
mudah-mudahan suamimu dan si wanita itu segera menginsafi kekhilafannya. Kau
tahu, dunia maya adalah dunia yang semu. Sangat mungkin kekhilafan terjadi di
sana.”
Bukannya
tenang, emosi Maya malah melonjak. Seolah-olah kekesalannya berada di titik klimaks.
“Bagaimana obrolan serius semacam itu bisa dianggap kekhilafan?” tegasnya.
“Mereka bahkan menyinggung soal rencana untuk menuju ke jenjang yang lebih
serius.”
“Iya.
Aku paham, May. Tapi kan tetap saja itu obrolan di dunia maya. Bisa jadi
suamimu hanya kurang kerjaan dan iseng mengganggu akun wanita secara acak,” sangka
Mira, demi menenangkan sahabatnya.
Untuk
kedua kalinya, emosi Maya meninggi. “Tidak mungkin! Obrolan mereka terlalu
intim untuk sekadar bermain-main kata. Mereka bahkan bermanja-manjaan dan
berbincang hangat soal hobi dan kesenangan masing-masing.”
“Tapi
kan itu akun anonim. Bisa jadi orang yang kau curigai bukanlah seorang wanita,
dan hanya iseng mengerjai suamimu,” timpal Mira.
“Aku
tahu!” sergah Maya.
Mira
terperanjat.
Seketika,
Maya tampak bersalah telah mengeluarkan suara yang bernada tinggi. Ia pun menenangkan
emosinya, kemudian bertanya, “Kau punya kesibukan esok lusa, pada jam 5 sore?”
Mira
tampak menyesal. “Kebetulan sekali, aku punya janji untuk bertemu dengan seseorang.
Tepat jam itu juga,” terangnya, sambil berusaha meredam raut bahagianya untuk
segera bertemu dengan sang lelaki idaman. “Memangnya kenapa?”
“Aduh.
Bisa tidak kau batalkan saja pertemuanmu itu?” tanya Maya. “Aku ingin kau
menemaniku ke kafe Latte. Di obrolan mereka, aku membaca bahwa suamiku dan si wanita
itu punya janji untuk bertemu di sana.”
Sontak,
Mira terkejut bukan kepalang. Namun sebisa mungkin, ia berusaha tampil dengan
sikap yang biasa.
Perlahan,
di dalam benak Mira, timbullah kecurigaan yang cenderung menjurus pada keyakinan
bahwa mimpinya tentang sosok lelaki impian itu, harus dikuburnya dalam-dalam,
sebab ia tak ingin menjadi orang ketiga dalam rumah tangga teman baiknya
sendiri.
“Aku
mohon!” pinta Maya dengan sangat.
Mira
menggeleng. “Maafkan aku, May. Kali ini, aku tidak bisa. Aku harus menepati
janjiku,” katanya, sekadar beralasan agar Maya tak memergokinya dengan sang
suami. Meski di esok lusa, entah ke mana juga ia akan menenangkan harapannya.
Maya
tampak kecewa.
Mira
mencoba berbasa-basi.
Beberapa
waktu kemudian, Maya mulai tampak tenang.
Segera
saja, Mira meminta diri untuk pergi dengan alasan punya kepentingan yang mendesak.
Maya
tak punya alasan untuk menahan.
Akhirnya,
berdirilah Mira dari tempat duduknya, berbalik badan, dan melangkah
cepat-cepat, menyembunyikan raut kekecewaannya di bawah langit yang mendung,
bahwa ia harus kecewa untuk kedua kalinya karena sosok lelaki yang sama, dan
itu jelas membuatnya semakin benci untuk kembali mengharapkan cinta seorang
lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar