Rabu, 26 September 2018

Penebusan

Pada satu rumah yang megah, berdiamlah Fatih, seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya setahun lalu. Di tengah kehidupan yang mapan, ia tak sempat memiliki anak, juga tak punya sanak saudara yang bisa menemaninya tinggal di rumah. Atas kesunyian hidup itu, ia pun mempekerjakan seorang pemuda pengangguran, Sumardi, bersama istrinya.
 
Tentu saja, Sumardi dan istrinya begitu senang bekerja untuk Fatih daripada hidup terlunta-lunta. Mereka merasa beruntung sebab diperkerjakan dengan gaji yang memadai oleh seorang majikan yang bersahabat. Meskipun begitu, mereka tetap memilih tinggal di sebuah balai kecil di dalam lingkungan rumah Fatih yang luas, meski Fatih seringkali menawari mereka untuk tinggal saja di dalam rumah utama. 

Sikap ramah Fatih, memang telah menghilangkan sekat-sekat di antara mereka. Namun Sumardi tetap kukuh menjaga perbedaan statusnya dengan Fatih. Ia tahu diri sebagai seorang babu untuk Fatih yang majikan. Ia sadar diri sebagai seorang murid untuk Fatih yang alim. Ia merasa sudah seharusnya menolak kebaikan Fatih yang berlebihan dan hanya mengambil yang sepantasnya. 

Hingga di satu hari, sikap saling menghargai di antara mereka, berakhir sudah. Tiba-tiba saja, Sumardi datang dengan wajah beringas. Ia bergegas mencari Fatih sambil memegang golok yang terhunus dan tampak sangat tajam. 

“Hai, keluar kamu, Tuan Jahanam!” teriak Sumardi di luar pintu rumah utama, berulang kali.

Hening saja. Tak tampak gerak-gerik, juga tak terdengar suara balasan dari Fatih.

Merasa tak ditanggapi, Sumardi lalu mendobrak pintu depan dengan sebalok kayu. Ia melakukannya sekuat tenaga, hingga kuncian pintu menjadi rusak.

Lekas setelah terbuka, Sumardi segera menuju ke arah kamar Fatih. Seketika ia menggedor-gedor daun pintu sambil menyerukan kata-kata perintah secara berulang-ulang, “Tuan Setan, keluar!”

Masih tak ada tanggapan. 

Sumardi yang habis kesabaran, akhirnya kembali mengambil jalan pintas. Dengan sekuat tenaga, ia menempa pintu dengan kursi dan meja, sampai daun pintu pun terbongkar, dan tangannya dapat membuka kunci dari sisi luar. 

Pintu pun tersibak.

Seketika, Sumardi mendapatkan Fatih tengah duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. 

Fatih terdiam saja, seolah tak terjadi keributan apa-apa. Ia tak sedikit pun menoleh, dan sikap badannya tetap membelakangi kehadiran Sumardi. Ia hanya menunduk ke arah meja, sambil menulis sesuatu pada selembar kertas.

Tanpa aba-aba, Sumardi lalu menyepak kepala Fatih, hingga lelaki itu terjatuh ke samping beserta kursinya.

“Jangan pura-pura dungu, Tuan Iblis!” gertak Sumardi.

Fatih berusaha bangkit, kemudian berucap dengan suara yang lirih. “Maafkan aku, Mardi!”

Tanpa berkata-kata, Sumardi menyepak bagian perut Fatih.

“Maaf, aku khilaf!” kata Fatih, sambil meringis kesakitan.

Lagi, Sumardi menendang Fatih. Kali ini di bagian dada. “Tak ada ampun bagimu, Tuan Iblis!”

Fatih tak membela diri. “Aku memang tak terampuni, Mardi. Kau memang pantas menghajarku sampai mati,” pasrah Fatih dengan desah napas yang tersengal-sengal. “Tapi aku mohon, maafkanlah aku!”

“Apa? Kau memohon maaf untuk perbuatan bejatmu, Tuan?” Kembali, Sumardi menendang bagian kepala Fatih.

“Bunuhlah aku kalau begitu, Mardi!” seru Fatih dengan nada suara yang merendah. Ia mulai menangis.

Sumardi melecutkan ludah ke arah Fatih yang tak berdaya. “Kau kira semudah itu menghapus kesalahnmu, Tuan?”

Fatih terisak. “Siksalah aku sepuas hatimu, Mardi!” pinta Fatih sambil menahan rasa sakit. Darah mulai mengalir dari mulutnya. “Tapi kumohon, maafkanlah aku! Sampaikanlah maafku pada istrimu!”

Sumardi tampak menyeriangai. “Apa kau bilang, Tuan?”

“Maafkanlah aku!” pinta Fatih.

Bukannya berbelas kasih, emosi Sumardi malah melonjak. Ia lalu menghajar Fatih secara bertubi-tubi. Menendangnya, meninjunya, atau menghempaskannya ke segala arah. Ia melakukan itu berulang-ulang, tanpa jeda untuk sekadar mendengar keluh-kesah Fatih. 

Sampai akhirnya, pada klimaks kemarahannya, Sumardi menikam Fatih dengan golok, tepat di bagian kiri dadanya.

Tamatlah sudah riwayat Fatih.

Beberapa waktu kemudian, terdengarlah erangan keras Sumardi yang menembus dinding-dinding rumah.

Seketika, beberapa warga datang menyaksikan kegaduhan itu. Satu kegaduhan yang tak pernah terjadi di rumah megah Fatih yang selama ini senyap-senyap saja. Hingga mereka pun mendapatkan Fatih yang terbujur kaku di lantai, dengan darah yang masih mengalir dari tubuhnya. 

Tepat di samping jasad Fatih, tampak Sumardi tengah duduk terpaku, seakan hilang kesadaran. Sebuah golok bersimbah darah, masih tergeletak di sebalah kanannya.

Segera saja para warga menyeret Sumardi sambil menyuarakan kata-kata kutukan kepadanya.

Beberapa detik kemudian, warga pun menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan: Apa pun yang terjadi padaku, biarpun aku mati sekalian, jangan pernah salahkan Sumardi!

Ada tanda tangan di bagian bawah kertas, disusul nama Fatih yang tertulis jelas.

Pada waktu selanjutnya, Sumardi pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum negara. Sumardi mendekam di balik jeruji dan harus terpisah jauh dari istrinya yang tengah mengandung janin, meski dokter telah menjatuhkan vonis bahwa Sumardi tak subur untuk menghasilkan keturunan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar