Pada
satu rumah yang megah, berdiamlah Fatih, seorang duda yang ditinggal mati oleh
istrinya setahun lalu. Di tengah kehidupan yang mapan, ia tak sempat memiliki
anak, juga tak punya sanak saudara yang bisa menemaninya tinggal di rumah. Atas
kesunyian hidup itu, ia pun mempekerjakan seorang pemuda pengangguran, Sumardi,
bersama istrinya.
Tentu
saja, Sumardi dan istrinya begitu senang bekerja untuk Fatih daripada hidup
terlunta-lunta. Mereka merasa beruntung sebab diperkerjakan dengan gaji yang
memadai oleh seorang majikan yang bersahabat. Meskipun begitu, mereka tetap
memilih tinggal di sebuah balai kecil di dalam lingkungan rumah Fatih yang
luas, meski Fatih seringkali menawari mereka untuk tinggal saja di dalam rumah
utama.
Sikap
ramah Fatih, memang telah menghilangkan sekat-sekat di antara mereka. Namun
Sumardi tetap kukuh menjaga perbedaan statusnya dengan Fatih. Ia tahu diri
sebagai seorang babu untuk Fatih yang majikan. Ia sadar diri sebagai seorang
murid untuk Fatih yang alim. Ia merasa sudah seharusnya menolak kebaikan Fatih
yang berlebihan dan hanya mengambil yang sepantasnya.
Hingga
di satu hari, sikap saling menghargai di antara mereka, berakhir sudah.
Tiba-tiba saja, Sumardi datang dengan wajah beringas. Ia bergegas mencari Fatih
sambil memegang golok yang terhunus dan tampak sangat tajam.
“Hai,
keluar kamu, Tuan Jahanam!” teriak Sumardi di luar pintu rumah utama, berulang
kali.
Hening
saja. Tak tampak gerak-gerik, juga tak terdengar suara balasan dari Fatih.
Merasa
tak ditanggapi, Sumardi lalu mendobrak pintu depan dengan sebalok kayu. Ia
melakukannya sekuat tenaga, hingga kuncian pintu menjadi rusak.
Lekas
setelah terbuka, Sumardi segera menuju ke arah kamar Fatih. Seketika ia
menggedor-gedor daun pintu sambil menyerukan kata-kata perintah secara
berulang-ulang, “Tuan Setan, keluar!”
Masih
tak ada tanggapan.
Sumardi
yang habis kesabaran, akhirnya kembali mengambil jalan pintas. Dengan sekuat
tenaga, ia menempa pintu dengan kursi dan meja, sampai daun pintu pun
terbongkar, dan tangannya dapat membuka kunci dari sisi luar.
Pintu
pun tersibak.
Seketika,
Sumardi mendapatkan Fatih tengah duduk di sebuah kursi yang menghadap ke
jendela.
Fatih
terdiam saja, seolah tak terjadi keributan apa-apa. Ia tak sedikit pun menoleh,
dan sikap badannya tetap membelakangi kehadiran Sumardi. Ia hanya menunduk ke
arah meja, sambil menulis sesuatu pada selembar kertas.
Tanpa
aba-aba, Sumardi lalu menyepak kepala Fatih, hingga lelaki itu terjatuh ke
samping beserta kursinya.
“Jangan
pura-pura dungu, Tuan Iblis!” gertak Sumardi.
Fatih
berusaha bangkit, kemudian berucap dengan suara yang lirih. “Maafkan aku,
Mardi!”
Tanpa
berkata-kata, Sumardi menyepak bagian perut Fatih.
“Maaf,
aku khilaf!” kata Fatih, sambil meringis kesakitan.
Lagi,
Sumardi menendang Fatih. Kali ini di bagian dada. “Tak ada ampun bagimu, Tuan
Iblis!”
Fatih
tak membela diri. “Aku memang tak terampuni, Mardi. Kau memang pantas menghajarku
sampai mati,” pasrah Fatih dengan desah napas yang tersengal-sengal. “Tapi aku
mohon, maafkanlah aku!”
“Apa?
Kau memohon maaf untuk perbuatan bejatmu, Tuan?” Kembali, Sumardi menendang
bagian kepala Fatih.
“Bunuhlah
aku kalau begitu, Mardi!” seru Fatih dengan nada suara yang merendah. Ia mulai
menangis.
Sumardi
melecutkan ludah ke arah Fatih yang tak berdaya. “Kau kira semudah itu
menghapus kesalahnmu, Tuan?”
Fatih
terisak. “Siksalah aku sepuas hatimu, Mardi!” pinta Fatih sambil menahan rasa
sakit. Darah mulai mengalir dari mulutnya. “Tapi kumohon, maafkanlah aku!
Sampaikanlah maafku pada istrimu!”
Sumardi
tampak menyeriangai. “Apa kau bilang, Tuan?”
“Maafkanlah
aku!” pinta Fatih.
Bukannya
berbelas kasih, emosi Sumardi malah melonjak. Ia lalu menghajar Fatih secara
bertubi-tubi. Menendangnya, meninjunya, atau menghempaskannya ke segala arah.
Ia melakukan itu berulang-ulang, tanpa jeda untuk sekadar mendengar keluh-kesah
Fatih.
Sampai
akhirnya, pada klimaks kemarahannya, Sumardi menikam Fatih dengan golok, tepat
di bagian kiri dadanya.
Tamatlah
sudah riwayat Fatih.
Beberapa
waktu kemudian, terdengarlah erangan keras Sumardi yang menembus
dinding-dinding rumah.
Seketika,
beberapa warga datang menyaksikan kegaduhan itu. Satu kegaduhan yang tak pernah
terjadi di rumah megah Fatih yang selama ini senyap-senyap saja. Hingga mereka
pun mendapatkan Fatih yang terbujur kaku di lantai, dengan darah yang masih
mengalir dari tubuhnya.
Tepat
di samping jasad Fatih, tampak Sumardi tengah duduk terpaku, seakan hilang
kesadaran. Sebuah golok bersimbah darah, masih tergeletak di sebalah kanannya.
Segera
saja para warga menyeret Sumardi sambil menyuarakan kata-kata kutukan
kepadanya.
Beberapa
detik kemudian, warga pun menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan: Apa
pun yang terjadi padaku, biarpun aku mati sekalian, jangan pernah salahkan
Sumardi!
Ada
tanda tangan di bagian bawah kertas, disusul nama Fatih yang tertulis jelas.
Pada
waktu selanjutnya, Sumardi pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai
dengan hukum negara. Sumardi mendekam di balik jeruji dan harus terpisah jauh
dari istrinya yang tengah mengandung janin, meski dokter telah menjatuhkan
vonis bahwa Sumardi tak subur untuk menghasilkan keturunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar