Kehidupan
kampung Lurak sungguh tenteram dan makmur. Para warga hidup berdampingan secara
damai di tengah hamparan tetumbuhan yang subur nan menghidupi. Semua itu
diyakini berkat Sudin, kepala kampung yang terkenal tegas dalam menegakkan
aturan. Ia pemimpin yang adil dalam menjatuhkan hukuman untuk segala macam
tindak kejahatan di kampung. Aksi perjudian, perampokan, dan perzinaan, lenyap
sudah atas komandonya.
Sudin
memang tak suka berkompromi terhadap tindak kejahatan. Semua keputusan terkait
sanksi bagi para penjahat, disahkannya dengan penuh kewibawaan. Para tokoh adat
dan tokoh agama, seolah-olah hanya memberikan pertimbangan sebab keputusan
terakhir tetap melekat di ujung lidahnya. Walau terkesan otoriter, tak seorang
pun yang hendak menggugat keputusan yang memang sarat keadilan dan
kebijaksanaan darinya, bahkan oleh para tervonis sekalipun.
Masih
lekat di ingatan warga ketika Sudin menjatuhkan hukuman denda yang tinggi
kepada anak tokoh agama karena mabuk-mabukan dan berbuat onar. Pernah juga ia
menjatuhkan hukuman kerja sosial berupa kewajiban menanam pohon kepada anak
tokoh adat setelah kedapatan menebang pohon di hutan lindung. Hingga puncaknya,
ia mengusir sepasang muda-mudi dari kampung setelah kedapatan berdua di gubuk
persawahan, meski si pemuda adalah keponakannya sendiri.
Teranglah
sudah bahwa Sudin begitu dihormati dan disegani oleh segenap warga kampung. Ia
dipandang sebagai sosok bijak yang telah berhasil menumpas segala macam
kezaliman yang dianggap sebagai biang bencana. Keadaan kampung yang banyak
masalah di bawah kendali kepala kampung sebelumnya, kini dinilai semakin baik.
Karena itulah, ia dianggap lebih hebat daripada para pendahulunya.
Ketundukan
warga kampung pada Sudin yang karismatik, semakin kokoh setelah ia bersumpah
akan memberikan hukuman yang lebih tegas kepada keluarga dan dirinya sendiri
jika terbukti melakukan pelanggaran atau kejahatan. Sudin bahkan berikrar akan
menghukum mati anggota keluarga dan dirinya sendiri jika terbukti melakukan
kejahatan yang terlaknat di mata warga kampung. Sebuah peluru di dalam pistol
yang mematikan, bahkan sengaja ia sediakan untuk itu.
Keberanian
Sudin untuk menanggung sanksi mematikan atas dirinya sendiri dan keluarganya, mungkin
memang berdasar. Tak hanya ia, segenap warga kampung juga meyakini bahwa ia dan
keluarganya tak akan terjerumus ke dalam perbuatan yang terlarang. Terlebih, ia
memang belum dikaruniai keturunan, sehingga tak perlu mawas untuk mengawasi
laku anak yang labil. Pun, istrinya berasal dari keluarga agamis sebagaimana
keluarganya sendiri.
Tapi
akhirnya, kenyataan berkata lain. Sebagaimana manusia, tak ada yang
sungguh-sungguh tahu isi hati dan pikiran seseorang selain dirinya sendiri.
Begitu pun Sudin. Meski ia tak sedikit pun melihat gelagat ketidakpatuhan pada
istrinya, Sudin tetap tak pernah tahu arah hati pasangan hidupnya itu. Dan
sampailah sudah pada kenyataan yang sangat pahit bagi Sudin, bahwa istrinya,
Asmi, kedapatan berselingkuh dengan seorang warga kampung bernama Muki.
Kalutlah
sudah pikiran dan perasaan Sudin. Malam ini, ia harus menjatuhkan vonis untuk
istrinya sendiri. Menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya, seperti yang
pernah ia gaungkan di tengah-tengah warga. Mesti harus memilih antara nama baik
atau perasaan cintanya pada sang istri. Dan sebagaimana Sudin yang sejatinya,
semua orang memastikan bahwa ia akan menjatuhkan sanksi yang berat untuk
istrinya.
Namun
seteguh apa pun Sudin pada prinsipnya, kata-kata tetap lebih mudah diucapkan ketimbang
dilaksanakan. Separuh sisi hatinya yang lain, masih terus menggugat
keteguhannya sendiri. Ia memang memahami bahwa istrinya telah melakukan
perbuatan yang telaknat, dan ia memahami bahwa ia punya tanggung jawab untuk
menjaga nama baik dirinya dan para pendahulunya. Tapi rasa cinta pada istrinya
sendiri, terkadang malah membuatnya hendak menyalahkan dirinya sendiri.
“Maafkan
aku, Pak?” Asmi terus saja mengulang kata-kata maaf, sembari terisak tangis.
“Aku bersalah telah melakukan perbuatan yang keji, dan aku berhak mendapatkan
hukuman paling berat! Tapi aku mohon, maafkan aku!”
Sudin
yang sedari tadi hanya terdiam dan merenung di hadapan sang istri, akhirnya bersuara
juga, “Apakah kekuranganku sebagai suami sampai engkau berpaling pada yang
lain? Apakah diriku ini telah mengecewakanmu?”
Asmi
semakin terisak. “Sungguh, tak ada sedikit pun yang salah pada diri Bapak.
Semua ini salahku saja!” tegas Asmi, setengah meraung. “Aku tahu Bapak begitu
mencintaiku. Aku tahu itu. Dan akulah yang berkhianat. Akulah yang terperdaya
bujuk rayu setan,” seru Asmi, kemudian membungkuk dan menempa-nempa meja di
antara ia dan suaminya. “Maafkan aku, Pak!”
Sudin
yang masih tak kuasa beradu tatap dengan istrinya, kembali bertanya, “Apakah
aku salah telah menikahimu?”
Tangis
Asmi semakin menjadi-jadi. Ia tampak meronta-ronta untuk mengekspresikan
penyesalannya sendiri. Seakan racauan sudah cukup sebagai jawaban atas
pertanyaan suaminya.
“Aku
kenal Muki. Aku tahu kau dan dia sama-sama suka sebelum kita bertemu dan aku
jatuh hati padamu. Aku tahu kau punya hasrat untuk hidup bersamanya,
sebagaimana dia padamu,” Sudin tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis. “Tapi
apalah dayaku sebagai lelaki. Aku terlanjur jatuh hati padamu. Dan perasaan itulah
yang membuatku tak ingin melewatkanmu untuk seseorang yang lain. Salahkan aku?”
Asmi
terus saja beradu dengan dirinya sendiri. Masih tak ada respons yang keluar dari
mulutnya.
“Ya,
aku memang salah telah mencurimu darinya. Dengan siasat yang jitu, aku
menyampaikan maksud kepada orang tua kita agar kita segera dinikahkan sebelum
hubungan kalian melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kulakukan itu, sebab
aku tahu, kau dan dia tak akan bisa berbuat apa-apa jika tetua kita telah
bersepakat. Aku memang licik dan cerdas. Kau tahu itu, kan?” sambung Sudin
lagi.
Dan
di sela tangisnya yang tak juga mereda, Asmi pun membalas dengan kata-kata yang
bukanlah jawaban, tapi hanya sebuah pengulangan, “Maafkan aku, Pak. Sungguh,
Bapak adalah seorang suami yang tak punya cela. Aku saja yang terperdaya bujuk
rayu setan. Aku yang salah. Aku berhak mendapatkan hukuman. Hukumlah aku, Pak! Bunuhlah
aku! Tembaklah!”
Sudin
hanya tertunduk saja dengan sikap yang tenang. “Barangkali, akulah yang terperdaya
setan ketika aku jatuh cinta padamu, dan hubungan kita yang kupaksakan ini adalah
hubungan yang terlaknat. Barangkali, akulah orang ketiga di antara kalian, dan
aku sajalah yang patut dipersalahkan,” ucap Sudin, sembali menyeka air matanya.
“Mungkin, aku memang berdosa telah menikahimu.”
“Sudahlah,
Pak! Akulah yang salah sebab telah mengkhianati janji suci pernikahan kita!
Akulah yang salah sebab tak bisa meluruhkan semua cintaku di saat Bapak
mencintaiku sepenuh hati. Dan tidaklah pantas pengkhianat sepertiku untuk
hidup!” tegas Asmi, disusul tangis yang semakin mengeras. “Tembak sajalah aku,
Pak!”
Perlahan,
Sudin mengambil dan menggenggam pistol yang sedari tadi tergelatak di atas meja,
di antara mereka berdua. “Maafkan aku yang telah menjebak ragamu di sisiku di
kala jiwamu masih bersama dengannya. Kalaupun aku adalah suamimu, maafkanlah,
sebab aku tak jua berhasil membuat dirimu merasa menjadi istriku. Maafkanlah
aku!” pungkas Sudin, lalu mengarahkan pistol tepat di pelipisnya.
“Pak!
Jangan!” teriak Asmi, yang dengan sigap mencoba merebut pistol itu dari
suaminya.
Terjatuhlah
mereka di lantai. Bergulatlah mereka memperebutkan sepucuk pistol, hingga suara
gaduh terdengar di luar rumah.
Beberapa
detik kemudian, menggelegarlah satu suara tembakan.
Seketika,
segenap warga meyakini bahwa Sudin telah menunaikan janjinya untuk menegakkan
hukum setegas-tegasnya, tanpa pandang bulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar