Senin, 10 September 2018

Tembakan Terakhir

Kehidupan kampung Lurak sungguh tenteram dan makmur. Para warga hidup berdampingan secara damai di tengah hamparan tetumbuhan yang subur nan menghidupi. Semua itu diyakini berkat Sudin, kepala kampung yang terkenal tegas dalam menegakkan aturan. Ia pemimpin yang adil dalam menjatuhkan hukuman untuk segala macam tindak kejahatan di kampung. Aksi perjudian, perampokan, dan perzinaan, lenyap sudah atas komandonya.
 
Sudin memang tak suka berkompromi terhadap tindak kejahatan. Semua keputusan terkait sanksi bagi para penjahat, disahkannya dengan penuh kewibawaan. Para tokoh adat dan tokoh agama, seolah-olah hanya memberikan pertimbangan sebab keputusan terakhir tetap melekat di ujung lidahnya. Walau terkesan otoriter, tak seorang pun yang hendak menggugat keputusan yang memang sarat keadilan dan kebijaksanaan darinya, bahkan oleh para tervonis sekalipun.

Masih lekat di ingatan warga ketika Sudin menjatuhkan hukuman denda yang tinggi kepada anak tokoh agama karena mabuk-mabukan dan berbuat onar. Pernah juga ia menjatuhkan hukuman kerja sosial berupa kewajiban menanam pohon kepada anak tokoh adat setelah kedapatan menebang pohon di hutan lindung. Hingga puncaknya, ia mengusir sepasang muda-mudi dari kampung setelah kedapatan berdua di gubuk persawahan, meski si pemuda adalah keponakannya sendiri.

Teranglah sudah bahwa Sudin begitu dihormati dan disegani oleh segenap warga kampung. Ia dipandang sebagai sosok bijak yang telah berhasil menumpas segala macam kezaliman yang dianggap sebagai biang bencana. Keadaan kampung yang banyak masalah di bawah kendali kepala kampung sebelumnya, kini dinilai semakin baik. Karena itulah, ia dianggap lebih hebat daripada para pendahulunya. 

Ketundukan warga kampung pada Sudin yang karismatik, semakin kokoh setelah ia bersumpah akan memberikan hukuman yang lebih tegas kepada keluarga dan dirinya sendiri jika terbukti melakukan pelanggaran atau kejahatan. Sudin bahkan berikrar akan menghukum mati anggota keluarga dan dirinya sendiri jika terbukti melakukan kejahatan yang terlaknat di mata warga kampung. Sebuah peluru di dalam pistol yang mematikan, bahkan sengaja ia sediakan untuk itu.

Keberanian Sudin untuk menanggung sanksi mematikan atas dirinya sendiri dan keluarganya, mungkin memang berdasar. Tak hanya ia, segenap warga kampung juga meyakini bahwa ia dan keluarganya tak akan terjerumus ke dalam perbuatan yang terlarang. Terlebih, ia memang belum dikaruniai keturunan, sehingga tak perlu mawas untuk mengawasi laku anak yang labil. Pun, istrinya berasal dari keluarga agamis sebagaimana keluarganya sendiri.

Tapi akhirnya, kenyataan berkata lain. Sebagaimana manusia, tak ada yang sungguh-sungguh tahu isi hati dan pikiran seseorang selain dirinya sendiri. Begitu pun Sudin. Meski ia tak sedikit pun melihat gelagat ketidakpatuhan pada istrinya, Sudin tetap tak pernah tahu arah hati pasangan hidupnya itu. Dan sampailah sudah pada kenyataan yang sangat pahit bagi Sudin, bahwa istrinya, Asmi, kedapatan berselingkuh dengan seorang warga kampung bernama Muki. 

Kalutlah sudah pikiran dan perasaan Sudin. Malam ini, ia harus menjatuhkan vonis untuk istrinya sendiri. Menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya, seperti yang pernah ia gaungkan di tengah-tengah warga. Mesti harus memilih antara nama baik atau perasaan cintanya pada sang istri. Dan sebagaimana Sudin yang sejatinya, semua orang memastikan bahwa ia akan menjatuhkan sanksi yang berat untuk istrinya.

Namun seteguh apa pun Sudin pada prinsipnya, kata-kata tetap lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan. Separuh sisi hatinya yang lain, masih terus menggugat keteguhannya sendiri. Ia memang memahami bahwa istrinya telah melakukan perbuatan yang telaknat, dan ia memahami bahwa ia punya tanggung jawab untuk menjaga nama baik dirinya dan para pendahulunya. Tapi rasa cinta pada istrinya sendiri, terkadang malah membuatnya hendak menyalahkan dirinya sendiri.  

“Maafkan aku, Pak?” Asmi terus saja mengulang kata-kata maaf, sembari terisak tangis. “Aku bersalah telah melakukan perbuatan yang keji, dan aku berhak mendapatkan hukuman paling berat! Tapi aku mohon, maafkan aku!”

Sudin yang sedari tadi hanya terdiam dan merenung di hadapan sang istri, akhirnya bersuara juga, “Apakah kekuranganku sebagai suami sampai engkau berpaling pada yang lain? Apakah diriku ini telah mengecewakanmu?”

Asmi semakin terisak. “Sungguh, tak ada sedikit pun yang salah pada diri Bapak. Semua ini salahku saja!” tegas Asmi, setengah meraung. “Aku tahu Bapak begitu mencintaiku. Aku tahu itu. Dan akulah yang berkhianat. Akulah yang terperdaya bujuk rayu setan,” seru Asmi, kemudian membungkuk dan menempa-nempa meja di antara ia dan suaminya. “Maafkan aku, Pak!”

Sudin yang masih tak kuasa beradu tatap dengan istrinya, kembali bertanya, “Apakah aku salah telah menikahimu?”

Tangis Asmi semakin menjadi-jadi. Ia tampak meronta-ronta untuk mengekspresikan penyesalannya sendiri. Seakan racauan sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya.

“Aku kenal Muki. Aku tahu kau dan dia sama-sama suka sebelum kita bertemu dan aku jatuh hati padamu. Aku tahu kau punya hasrat untuk hidup bersamanya, sebagaimana dia padamu,” Sudin tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis. “Tapi apalah dayaku sebagai lelaki. Aku terlanjur jatuh hati padamu. Dan perasaan itulah yang membuatku tak ingin melewatkanmu untuk seseorang yang lain. Salahkan aku?”

Asmi terus saja beradu dengan dirinya sendiri. Masih tak ada respons yang keluar dari mulutnya.

“Ya, aku memang salah telah mencurimu darinya. Dengan siasat yang jitu, aku menyampaikan maksud kepada orang tua kita agar kita segera dinikahkan sebelum hubungan kalian melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kulakukan itu, sebab aku tahu, kau dan dia tak akan bisa berbuat apa-apa jika tetua kita telah bersepakat. Aku memang licik dan cerdas. Kau tahu itu, kan?” sambung Sudin lagi.

Dan di sela tangisnya yang tak juga mereda, Asmi pun membalas dengan kata-kata yang bukanlah jawaban, tapi hanya sebuah pengulangan, “Maafkan aku, Pak. Sungguh, Bapak adalah seorang suami yang tak punya cela. Aku saja yang terperdaya bujuk rayu setan. Aku yang salah. Aku berhak mendapatkan hukuman. Hukumlah aku, Pak! Bunuhlah aku! Tembaklah!”

Sudin hanya tertunduk saja dengan sikap yang tenang. “Barangkali, akulah yang terperdaya setan ketika aku jatuh cinta padamu, dan hubungan kita yang kupaksakan ini adalah hubungan yang terlaknat. Barangkali, akulah orang ketiga di antara kalian, dan aku sajalah yang patut dipersalahkan,” ucap Sudin, sembali menyeka air matanya. “Mungkin, aku memang berdosa telah menikahimu.”

“Sudahlah, Pak! Akulah yang salah sebab telah mengkhianati janji suci pernikahan kita! Akulah yang salah sebab tak bisa meluruhkan semua cintaku di saat Bapak mencintaiku sepenuh hati. Dan tidaklah pantas pengkhianat sepertiku untuk hidup!” tegas Asmi, disusul tangis yang semakin mengeras. “Tembak sajalah aku, Pak!”

Perlahan, Sudin mengambil dan menggenggam pistol yang sedari tadi tergelatak di atas meja, di antara mereka berdua. “Maafkan aku yang telah menjebak ragamu di sisiku di kala jiwamu masih bersama dengannya. Kalaupun aku adalah suamimu, maafkanlah, sebab aku tak jua berhasil membuat dirimu merasa menjadi istriku. Maafkanlah aku!” pungkas Sudin, lalu mengarahkan pistol tepat di pelipisnya.

“Pak! Jangan!” teriak Asmi, yang dengan sigap mencoba merebut pistol itu dari suaminya.

Terjatuhlah mereka di lantai. Bergulatlah mereka memperebutkan sepucuk pistol, hingga suara gaduh terdengar di luar rumah.

Beberapa detik kemudian, menggelegarlah satu suara tembakan. 

Seketika, segenap warga meyakini bahwa Sudin telah menunaikan janjinya untuk menegakkan hukum setegas-tegasnya, tanpa pandang bulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar