Selasa, 18 September 2018

Pengakuan Terlarang

Aku tak perlu menggambarkan bentuk perasaanku saat ini. Kalian pasti bisa membayangkan perasaan seorang lelaki kala berhadapan dengan seorang perempuan yang masih ia idam-idamkan, namun kenyataan membuatnya harus meredam perasaan itu. Begitulah aku, seorang lelaki yang memendam perasaan pada seseorang perempuan yang telah menjadi pendamping hidup orang lain, dan aku tak tahu bagaimana cara menghapuskannya.
 
Situasi yang kuhadapi memang sangat pelik. Aku masih saja menyimpan rasa cinta pada seorang sahabat baikku sendiri, meski semuanya telah terlambat. Entah bagaimana perasaannya padaku, yang pasti, sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Jadi, suka atau tidak, aku yang masih dengan perasaan yang sama, harus menganggap masa lalu kami sebagai kenangan yang tak akan berlanjut, walaupun ia mungkin tak pernah menganggap apa yang lalu sebagai kenangan sama sekali.

Aku yakin kalau kalian setuju bahwa aku memang telah terjebak dalam situasi yang rumit dan berbahaya. Mendiamkan perasaan berarti memperpanjang penderitaanku, tapi mengatakannya secara jujur berarti merusak tatanan kehidupannya. Maka benarlah kalau memendam cinta pada orang yang asing akan berujung pada perpisahan, sedang memendam cinta pada sahabat sendiri akan berujung pada perpisahan yang tidak bernar-benar memisahkan. Kita akan tetap bersama, meski dengan perasaan yang berbeda.

Tapi malam ini, segalanya menjadi mungkin. Aku bisa menyatakan perasaanku tanpa memedulikan pandangan semua orang. Bahkan aku bisa menyatakan cintaku tanpa memedulikan perasaan suaminya.

Dengan napas yang memburu, aku yang terbujur di pembaringan, berusaha membuka obrolan yang hangat dan tanpa sekat, seperti biasa. “Kau masih tampak jelek saja, meski kau telah berdandan segala rupa,” kataku, dengan maksud sebaliknya.

Sebagaimana selalu, ia yang tengah duduk di sampingku, tak akan memaknai apa yang kukatakan secara denotatif. “Itu artinya kau mengatakan kalau aku cantik. Kau pernah berkata bahwa kau selalu bercanda kalau mengucapkan hal-hal yang jelek tentangku.“

“Tapi kejelekan adalah sisi yang baik pada dirimu. Karena kau jelek, sejak dulu, kau tak dibombardir rayuan-gombal para lelaki,” tukasku, dengan perasaan yang sesungguhnya tak tega. “Dan kau benar-benar jelek malam ini!” 

Dia malah tergelak. “Baguslah kalau begitu. Paling tidak, kerena itu juga, kau tak jatuh cinta pada sahabatmu sendiri,” katanya, enteng, lalu melemparkan pandangannya dariku. “Lagipula, aku tak perlu merisaukan kalau kau mengatakan aku jelek, walau hatimu mungkin berkata sebaliknya. Beda ceritanya kalau suamiku yang berkata begitu. Dan syukurlah, dia memang tak pernah berkata begitu.”

“Ya, dialah satu-satunya orang yang punya definisi sendiri tentang arti kecantikan,” kataku, terkesan sadis.

“Atau mungkin kau satu-satunya orang yang tak mengerti tentang arti kecantikan?” sergahnya, kemudian menatapku lekat-lekat.

Kami berpandangan.

Tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Darahku serasa mengalir kencang ke arah ubun-ubun. Kulepas satu batuk kering, lalu berucap dengan desah napas yang terasa berat. “Mungkin bisa jadi begitu. Setelah kulihat jelas-jelas, kau ternyata memang cantik,” kataku dengan sikap serius.

Lekas ia memalingkan wajah dariku. Ia lalu menampakkan senyuman yang tanggung, kemudian merespons dengan kesan bercanda, “Aku berharap kau tak bermaksud sebaliknya.”

“Ya, kali ini, aku serius! Kau memang cantik!” balasku seketika, sambil tetap menatap wajah manisnya. “Betapa bodohnya aku yang baru menyadari kecantikanmu saat kau telah menjadi pandamping orang lain.”

Suasana jadi tiba-tiba berubah. Seketika ada nuansa keseganan di antara kami.

“Jangan bercanda!” katanya, dengan mimik yang datar.

Aku merasa tak perlu lagi menegaskan keseriusanku. “Sejujurnya, aku punya perasaan padamu sejak dari dulu,” kataku, dengan tetap memandang wajahnya. “Tapi aku hanya diam, sebab aku takut kalau kejujuranku malah merusak persahabatan kita, dan aku tak memilikimu lagi dalam hubungan apa-apa.”

Ia tampak menyadari kejujuranku. Tatapannya jadi tak menentu. Gerak-geriknya jadi tak keruan. Seakan-akan mati kutu. “Kanapa kau mengatakan itu?” tanyanya, penuh keseganan.

“Aku mengatakannya, sebab itulah yang sebenarnya kurasakan. Aku telah tersiksa memendamnya sekian lama. Maaf bila kau tak berkenan,” kataku, dengan sedikit rasa berdosa pada suaminya. Hanya sedikit.

Terlihat, ada raut penuh rasa-rasa yang tampak di wajahnya. “Tapi kenapa kau tak mengatakannya sejak dari dulu?” 

“Apa sejak lama kau menanti aku mangatakan itu?” tanyaku seketika, lalu kembali menghela napas yang panjang.

Dia tampak menunduk. Ada keharuan yang tergambar di wajahnya.

Aku mendesak lagi, “Apa kau juga mencintaiku?”

Ia mengangguk pelan. Bola matanya tampak berkaca-kaca.

“Aku ingin kau mengatakannya,” pintaku, dengan suara yang disela-sela batuk yang kering. Aku sungguh menginginkan penegasan darimu sebelum semuanya benar-benar berakhir. “Aku hanya ingin mendengar kau mengatakan itu di ujung waktuku.”

“Aku mencintaimu!” katanya, sambil merekahkan senyuman yang berbalut haru. 

Aku merasa sangat bahagia.

Tak lama kemudian, napasku jadi tersengal-sengal. Tatapanku meredup. Badanku kaku. Dayaku sirna.

Kudengar suaranya terisak sambil memanggil-manggil dokter.

Sampai akhirnya, semuanya tampak gelap.

Senyap beberapa saat.

Perlahan-lahan kemudian, ruangan kembali menjadi terang. Seiring itu, tepuk tengan meriah terdengar dari arah depan.

Aku dan dia pun, berpegangan tangan, juga bersama yang lain, memberikan penghormatan kepada para penonton yang menyaksikan penampilan teater kami malam ini.

Tak lama setelah sesi penutupan, sang sutradara bergegas datang menghampiriku. “Penampilanmu sungguh mengagumkan,” pujinya, sembari menepak-nepak lenganku. “Dan meskipun tak sesuai skrip, improvisasimu di akhir cerita, sungguh langkah yang baik.”

“Terima kasih!“ Aku tahu yang ia maksud adalah pintaku atas penegasan cinta di akhir cerita. Itu memang hanya akal-akalanku sendiri.

“Memang tak salah aku menuruti saranmu,” kata sang sutradara lagi. “Ternyata, kalian memang lawan main yang sangat serasi.”

Aku kembali berterima kasih, sebab ia memang telah mewujudkan keinginanku agar aku dipasangkan dengan perempuan idamanku di dalam cerita. 

Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara seorang perempuan menyerukan namaku. Aku pun berbalik ke arah sumber suara.

“Kami balik duluan, ya,” kata sang perempuan idamanku. Lekas kemudian, ia berbalik badan, melangkah-menjauh, sambil bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang kini telah menjadi suaminya.

“Hei, kau tampak tidak bergembira atas keberhasilanmu malam ini. Ada apa?” selidik sang sutradara.

Aku menggeleng. “Tak ada apa-apa,” kataku, sambil menampakkan satu senyuman yang terpaksa, kemudian undur diri menuju ke sisi ruangan yang sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar