Aku
tak perlu menggambarkan bentuk perasaanku saat ini. Kalian pasti bisa
membayangkan perasaan seorang lelaki kala berhadapan dengan seorang perempuan
yang masih ia idam-idamkan, namun kenyataan membuatnya harus meredam perasaan
itu. Begitulah aku, seorang lelaki yang memendam perasaan pada seseorang perempuan
yang telah menjadi pendamping hidup orang lain, dan aku tak tahu bagaimana cara
menghapuskannya.
Situasi
yang kuhadapi memang sangat pelik. Aku masih saja menyimpan rasa cinta pada
seorang sahabat baikku sendiri, meski semuanya telah terlambat. Entah bagaimana
perasaannya padaku, yang pasti, sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya.
Jadi, suka atau tidak, aku yang masih dengan perasaan yang sama, harus
menganggap masa lalu kami sebagai kenangan yang tak akan berlanjut, walaupun ia
mungkin tak pernah menganggap apa yang lalu sebagai kenangan sama sekali.
Aku
yakin kalau kalian setuju bahwa aku memang telah terjebak dalam situasi yang
rumit dan berbahaya. Mendiamkan perasaan berarti memperpanjang penderitaanku,
tapi mengatakannya secara jujur berarti merusak tatanan kehidupannya. Maka
benarlah kalau memendam cinta pada orang yang asing akan berujung pada
perpisahan, sedang memendam cinta pada sahabat sendiri akan berujung pada
perpisahan yang tidak bernar-benar memisahkan. Kita akan tetap bersama, meski
dengan perasaan yang berbeda.
Tapi
malam ini, segalanya menjadi mungkin. Aku bisa menyatakan perasaanku tanpa memedulikan
pandangan semua orang. Bahkan aku bisa menyatakan cintaku tanpa memedulikan
perasaan suaminya.
Dengan
napas yang memburu, aku yang terbujur di pembaringan, berusaha membuka obrolan
yang hangat dan tanpa sekat, seperti biasa. “Kau masih tampak jelek saja, meski
kau telah berdandan segala rupa,” kataku, dengan maksud sebaliknya.
Sebagaimana
selalu, ia yang tengah duduk di sampingku, tak akan memaknai apa yang kukatakan
secara denotatif. “Itu artinya kau mengatakan kalau aku cantik. Kau pernah
berkata bahwa kau selalu bercanda kalau mengucapkan hal-hal yang jelek
tentangku.“
“Tapi
kejelekan adalah sisi yang baik pada dirimu. Karena kau jelek, sejak dulu, kau
tak dibombardir rayuan-gombal para lelaki,” tukasku, dengan perasaan yang
sesungguhnya tak tega. “Dan kau benar-benar jelek malam ini!”
Dia
malah tergelak. “Baguslah kalau begitu. Paling tidak, kerena itu juga, kau tak jatuh
cinta pada sahabatmu sendiri,” katanya, enteng, lalu melemparkan pandangannya
dariku. “Lagipula, aku tak perlu merisaukan kalau kau mengatakan aku jelek,
walau hatimu mungkin berkata sebaliknya. Beda ceritanya kalau suamiku yang
berkata begitu. Dan syukurlah, dia memang tak pernah berkata begitu.”
“Ya,
dialah satu-satunya orang yang punya definisi sendiri tentang arti kecantikan,”
kataku, terkesan sadis.
“Atau
mungkin kau satu-satunya orang yang tak mengerti tentang arti kecantikan?”
sergahnya, kemudian menatapku lekat-lekat.
Kami
berpandangan.
Tubuhku
tiba-tiba terasa kaku. Darahku serasa mengalir kencang ke arah ubun-ubun.
Kulepas satu batuk kering, lalu berucap dengan desah napas yang terasa berat.
“Mungkin bisa jadi begitu. Setelah kulihat jelas-jelas, kau ternyata memang
cantik,” kataku dengan sikap serius.
Lekas
ia memalingkan wajah dariku. Ia lalu menampakkan senyuman yang tanggung,
kemudian merespons dengan kesan bercanda, “Aku berharap kau tak bermaksud
sebaliknya.”
“Ya,
kali ini, aku serius! Kau memang cantik!” balasku seketika, sambil tetap
menatap wajah manisnya. “Betapa bodohnya aku yang baru menyadari kecantikanmu saat
kau telah menjadi pandamping orang lain.”
Suasana
jadi tiba-tiba berubah. Seketika ada nuansa keseganan di antara kami.
“Jangan
bercanda!” katanya, dengan mimik yang datar.
Aku
merasa tak perlu lagi menegaskan keseriusanku. “Sejujurnya, aku punya perasaan
padamu sejak dari dulu,” kataku, dengan tetap memandang wajahnya. “Tapi aku
hanya diam, sebab aku takut kalau kejujuranku malah merusak persahabatan kita,
dan aku tak memilikimu lagi dalam hubungan apa-apa.”
Ia
tampak menyadari kejujuranku. Tatapannya jadi tak menentu. Gerak-geriknya jadi tak
keruan. Seakan-akan mati kutu. “Kanapa kau mengatakan itu?” tanyanya, penuh
keseganan.
“Aku
mengatakannya, sebab itulah yang sebenarnya kurasakan. Aku telah tersiksa memendamnya
sekian lama. Maaf bila kau tak berkenan,” kataku, dengan sedikit rasa berdosa
pada suaminya. Hanya sedikit.
Terlihat,
ada raut penuh rasa-rasa yang tampak di wajahnya. “Tapi kenapa kau tak
mengatakannya sejak dari dulu?”
“Apa
sejak lama kau menanti aku mangatakan itu?” tanyaku seketika, lalu kembali menghela
napas yang panjang.
Dia
tampak menunduk. Ada keharuan yang tergambar di wajahnya.
Aku
mendesak lagi, “Apa kau juga mencintaiku?”
Ia
mengangguk pelan. Bola matanya tampak berkaca-kaca.
“Aku
ingin kau mengatakannya,” pintaku, dengan suara yang disela-sela batuk yang
kering. Aku sungguh menginginkan penegasan darimu sebelum semuanya benar-benar
berakhir. “Aku hanya ingin mendengar kau mengatakan itu di ujung waktuku.”
“Aku
mencintaimu!” katanya, sambil merekahkan senyuman yang berbalut haru.
Aku
merasa sangat bahagia.
Tak
lama kemudian, napasku jadi tersengal-sengal. Tatapanku meredup. Badanku kaku.
Dayaku sirna.
Kudengar
suaranya terisak sambil memanggil-manggil dokter.
Sampai
akhirnya, semuanya tampak gelap.
Senyap
beberapa saat.
Perlahan-lahan
kemudian, ruangan kembali menjadi terang. Seiring itu, tepuk tengan meriah
terdengar dari arah depan.
Aku
dan dia pun, berpegangan tangan, juga bersama yang lain, memberikan
penghormatan kepada para penonton yang menyaksikan penampilan teater kami malam
ini.
Tak
lama setelah sesi penutupan, sang sutradara bergegas datang menghampiriku.
“Penampilanmu sungguh mengagumkan,” pujinya, sembari menepak-nepak lenganku. “Dan
meskipun tak sesuai skrip, improvisasimu di akhir cerita, sungguh langkah yang
baik.”
“Terima
kasih!“ Aku tahu yang ia maksud adalah pintaku atas penegasan cinta di akhir cerita.
Itu memang hanya akal-akalanku sendiri.
“Memang
tak salah aku menuruti saranmu,” kata sang sutradara lagi. “Ternyata, kalian
memang lawan main yang sangat serasi.”
Aku
kembali berterima kasih, sebab ia memang telah mewujudkan keinginanku agar aku
dipasangkan dengan perempuan idamanku di dalam cerita.
Tiba-tiba,
dari arah belakang, terdengar suara seorang perempuan menyerukan namaku. Aku
pun berbalik ke arah sumber suara.
“Kami
balik duluan, ya,” kata sang perempuan idamanku. Lekas kemudian, ia berbalik
badan, melangkah-menjauh, sambil bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang
kini telah menjadi suaminya.
“Hei,
kau tampak tidak bergembira atas keberhasilanmu malam ini. Ada apa?” selidik
sang sutradara.
Aku
menggeleng. “Tak ada apa-apa,” kataku, sambil menampakkan satu senyuman yang
terpaksa, kemudian undur diri menuju ke sisi ruangan yang sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar