Aku
tak pernah melihat wajah yang lebih meneduhkan ketimbang wajah Nenek Lido. Ronanya
begitu bersahaja dan menenteramkan hati. Rupa-rupa kemarahan dan kesedihan, tak
tampak di sana. Seolah-olah ia terlahir tanpa amarah dan cuma bisa beraut
ramah. Hanya senyuman yang senantiasa dilayangkannya kepada orang-orang, meski ia
menjalani kehidupan yang berat.
Nenek
Lido memang hanya perawan tua yang hidup menyendiri di kampung. Ia adalah anak
semata wayang dari kedua orang tuanya yang telah meninggal. Tak ada teman hidup
baginya untuk sekadar berbagi suka dan duka. Seakan-akan ia terlahir tanpa
sanak keluarga. Seolah hadir di dunia bukan karena siapa-siapa, dan bukan untuk
siapa-siapa.
Namun
kesendirian, tak sanggup membuat Nenek Lido larut dalam kesepian. Tak pernah kulihat
ia merenungi kedatangan seseorang, atau murung atas kepergian orang-orang. Ia
seperti memiliki keahlian untuk menyemarakkan kehidupannya sendiri. Ia terus
saja menampakkan raut keceriaan, seolah orang-orang terkasih berada di
sekitarnya.
Rasa
berkecukupan Nenek Lido atas kehidupannya yang serba kekurangan, telah membuat
ia ogah dikasihani. Ia lebih memilih tinggal di rumah panggungnya yang
sederhana daripada turut dengan keluarga jauhnya di desa lain. Ia pun lebih
memilih menjalankan usaha jajanan anak-anak kecil daripada berpangku
tangan pada bantuan orang lain. Ia sungguh tak ingin menjadi beban dan petaka
bagi siapa-siapa.
Kuduga,
kebetahan Nenek Lido untuk hidup sendiri, disokong oleh kecintaannya kepada
anak-anak. Setiap hari, saat jam istirahat atau setelah jam pelajaran berakhir,
murid sekolah dasar di samping rumahnya akan datang berjajan. Dan ia selalu tampak
senang menyaksikan kehadiran anak-anak yang berkerumun, dan dengan sepenuh hati
melayani mereka satu per satu.
Jajanan
Nenek Lido yang paling disukai anak-anak adalah es lilin. Ia punya
keahlian untuk membuat es lilin dengan rasa yang sangat memikat lidah anak-anak.
Entah rasa jeruk, susu, cokelat, dan lainnya. Untuk harga yang terjangkau, tak
perlu menunggu lama, es buatannya di balik kulkas pemberian kepala desa, ludes dalam sekejap.
Tapi
dahulu kala, aku tak pernah khawatir akan kehabisan jatah es lilin Nenek Lido.
Ia tahu aku suka rasa jeruk, dan ia selalu menyisihkan dua buah untukku, sampai
aku datang melahapnya. Bahkan ia seringkali menolak bayaranku atas pemberian
khusus itu. Dan terang saja, keistimewaan itu berhasil membuatku merasa seperti
anak kesayangannya.
Akhirnya,
kini, di hari ketika sepeninggal Nenek Lido, kukenang lagi satu obrolanku
dengannya di satu hari yang lampau. Saat itu, aku iseng menemaninya meramu
es lilin untuk jualan sore hari, saat anak-anak bermain-main di lapangan desa.
“Kenapa
Bibi tak punya anak?” tanyaku, penuh keluguan, saat aku masih duduk di kelas III
sekolah dasar.
Nenek
Lido yang waktu itu masih berumur tiga puluh tahun lebih, tampak melayangkan
senyuman atas pertanyaanku. Satu senyuman yang menampakkan lesung pipi yang
dalam di sisi atas bercak-bercak hitam yang melebar di leher sebelah kanannya.
Kusambunglah
pertanyaanku, “Bukankah seharusnya Bibi punya anak seperti Ibuku yang
melahirkan aku sebagai anaknya?”
Nenek
Lido lalu mengambil seplastik bahan es lilin cair yang sedari tadi tak bisa kuikat. Ia
lalu menyimpul plastik es itu di depan mataku, seolah-olah memberikan sebuah
pengajaran.
“Karena
aku belum ketemu jodoh, Nak. Kamu kan punya ayah. Nah, aku belum menemukan
sosok ayah untuk anak-anakku,” jelas Nenek Lido, seperti berusaha memberikan pengertian
sederhana agar mudah kupahami.
Dengan
penuh kepolosan, aku bertanya lagi, “Kenapa harus ada ayah?”
Nenek
Lido kembali tersenyum. Ia tampak begitu cantik. “Kalau ada anak tanpa sosok
ayah, kan kasihan. Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya ke sekolah?”
katanya, sambil mengusap-usap rambutku. “Karena itulah, setiap anak harus punya
ayah, seperti kamu juga.”
Atas
ketidakpahamanku soal hubungan kekeluargaan, kuamini saja penjelasan itu tanpa
menelisik lebih jauh.
“Apa
Bibi ingin punya anak?” tanyaku lagi.
Dengan
tangan yang cekatan menyimpul es-es lilin, ia kemudian menjawab, “Tentu saja
aku mau, Nak. Tapi selama ayahnya belum aku temukan, ya, aku harus bersabar.” Ia
lalu memandang mataku lekat-lekat. “Lagipula, aku sudah senang kau ada di sini.
Kau tak keberatan kan kalau aku menganggapmu sebagai anakku?”
Aku
mengangguk senang. “Iya! Aku ingin jadi anak Bibi!”
Ia
tampak bahagia mendengar persetujuanku.
Seketika,
tanpa sengaja, seplastik bahan es lilin yang sedari tadi berusaha kuikat, akhirnya
terjatuh dan membasahi lantai.
Aku
merasa sangat bersalah. “Maafkan, aku Bibi.”
Nenek
Lido malah tampak tersenyum. “Tak apa-apa. Biar aku ajarkan lagi bagaimana caranya.”
Segera
saja ia menunjukkan lagi cara meramu es lilin padaku, mulai dari menakar bahan,
memasukkannya ke dalam plastik, hingga mengikatnya dengan baik.
“Kau
harus bisa membuat es lilin, Nak,” kata Nenek Lido kemudian, sambil mengelus-elus
bagian belakang leherku, tepat di selingkaran bercak-bercak hitam yang acapkali
diusap ibuku sambil merapalkan doa. “Kalau kau bisa, kelak, kau akan membuat
anak-anak di sekitarmu senang.”
Aku
suka mendengar pernyataannya. Aku lalu meminta ia untuk mengajariku meramu es lilin berulang kali, sampai mahir. Hingga akhirnya, hari ini, aku pun menjadi
seorang penjual es lilin untuk anak-anak. Kulakukan pekerjaan itu dengan
sepenuh hati, seperti yang pernah dilakukan
Nenek Lido.
Dan
sungguh, betapa senangnya aku setiap hari. Aku dapat melihat anak-anak
berkerumun di rumahku. Aku dapat mendengar suara mereka yang riang-gembira. Aku
dapat menyaksikan kepolosan mereka yang begitu menghibur. Hingga, aku pun bisa
mengabaikan kerisauan hatiku sebagai seorang perempuan yang tak mungkin
dikaruniai seorang anak setelah tak seorang lelaki pun di kampungku yang sudi
meminang. Pasalnya, sebagaimana Nenek Lido, aku memiliki tanda lahir berupa
bercak hitam di bagian belakang leherku. Dan seluruh warga kampung memercayai
mitos-adat bahwa bercak itu adalah penanda bagi wanita pembawa sial dan petaka
yang tak pantas untuk dinikahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar