Rabu, 26 September 2018

Es Lilin

Aku tak pernah melihat wajah yang lebih meneduhkan ketimbang wajah Nenek Lido. Ronanya begitu bersahaja dan menenteramkan hati. Rupa-rupa kemarahan dan kesedihan, tak tampak di sana. Seolah-olah ia terlahir tanpa amarah dan cuma bisa beraut ramah. Hanya senyuman yang senantiasa dilayangkannya kepada orang-orang, meski ia menjalani kehidupan yang berat.
 
Nenek Lido memang hanya perawan tua yang hidup menyendiri di kampung. Ia adalah anak semata wayang dari kedua orang tuanya yang telah meninggal. Tak ada teman hidup baginya untuk sekadar berbagi suka dan duka. Seakan-akan ia terlahir tanpa sanak keluarga. Seolah hadir di dunia bukan karena siapa-siapa, dan bukan untuk siapa-siapa. 

Namun kesendirian, tak sanggup membuat Nenek Lido larut dalam kesepian. Tak pernah kulihat ia merenungi kedatangan seseorang, atau murung atas kepergian orang-orang. Ia seperti memiliki keahlian untuk menyemarakkan kehidupannya sendiri. Ia terus saja menampakkan raut keceriaan, seolah orang-orang terkasih berada di sekitarnya.

Rasa berkecukupan Nenek Lido atas kehidupannya yang serba kekurangan, telah membuat ia ogah dikasihani. Ia lebih memilih tinggal di rumah panggungnya yang sederhana daripada turut dengan keluarga jauhnya di desa lain. Ia pun lebih memilih menjalankan usaha jajanan anak-anak kecil daripada berpangku tangan pada bantuan orang lain. Ia sungguh tak ingin menjadi beban dan petaka bagi siapa-siapa.

Kuduga, kebetahan Nenek Lido untuk hidup sendiri, disokong oleh kecintaannya kepada anak-anak. Setiap hari, saat jam istirahat atau setelah jam pelajaran berakhir, murid sekolah dasar di samping rumahnya akan datang berjajan. Dan ia selalu tampak senang menyaksikan kehadiran anak-anak yang berkerumun, dan dengan sepenuh hati melayani mereka satu per satu.

Jajanan Nenek Lido yang paling disukai anak-anak adalah es lilin. Ia punya keahlian untuk membuat es lilin dengan rasa yang sangat memikat lidah anak-anak. Entah rasa jeruk, susu, cokelat, dan lainnya. Untuk harga yang terjangkau, tak perlu menunggu lama, es buatannya di balik kulkas pemberian kepala desa, ludes dalam sekejap.

Tapi dahulu kala, aku tak pernah khawatir akan kehabisan jatah es lilin Nenek Lido. Ia tahu aku suka rasa jeruk, dan ia selalu menyisihkan dua buah untukku, sampai aku datang melahapnya. Bahkan ia seringkali menolak bayaranku atas pemberian khusus itu. Dan terang saja, keistimewaan itu berhasil membuatku merasa seperti anak kesayangannya.

Akhirnya, kini, di hari ketika sepeninggal Nenek Lido, kukenang lagi satu obrolanku dengannya di satu hari yang lampau. Saat itu, aku iseng menemaninya meramu es lilin untuk jualan sore hari, saat anak-anak bermain-main di lapangan desa.

“Kenapa Bibi tak punya anak?” tanyaku, penuh keluguan, saat aku masih duduk di kelas III sekolah dasar.

Nenek Lido yang waktu itu masih berumur tiga puluh tahun lebih, tampak melayangkan senyuman atas pertanyaanku. Satu senyuman yang menampakkan lesung pipi yang dalam di sisi atas bercak-bercak hitam yang melebar di leher sebelah kanannya.

Kusambunglah pertanyaanku, “Bukankah seharusnya Bibi punya anak seperti Ibuku yang melahirkan aku sebagai anaknya?” 

Nenek Lido lalu mengambil seplastik bahan es lilin cair yang sedari tadi tak bisa kuikat. Ia lalu menyimpul plastik es itu di depan mataku, seolah-olah memberikan sebuah pengajaran. 

“Karena aku belum ketemu jodoh, Nak. Kamu kan punya ayah. Nah, aku belum menemukan sosok ayah untuk anak-anakku,” jelas Nenek Lido, seperti berusaha memberikan pengertian sederhana agar mudah kupahami.

Dengan penuh kepolosan, aku bertanya lagi, “Kenapa harus ada ayah?”

Nenek Lido kembali tersenyum. Ia tampak begitu cantik. “Kalau ada anak tanpa sosok ayah, kan kasihan. Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya ke sekolah?” katanya, sambil mengusap-usap rambutku. “Karena itulah, setiap anak harus punya ayah, seperti kamu juga.”

Atas ketidakpahamanku soal hubungan kekeluargaan, kuamini saja penjelasan itu tanpa menelisik lebih jauh.

“Apa Bibi ingin punya anak?” tanyaku lagi.

Dengan tangan yang cekatan menyimpul es-es lilin, ia kemudian menjawab, “Tentu saja aku mau, Nak. Tapi selama ayahnya belum aku temukan, ya, aku harus bersabar.” Ia lalu memandang mataku lekat-lekat. “Lagipula, aku sudah senang kau ada di sini. Kau tak keberatan kan kalau aku menganggapmu sebagai anakku?”

Aku mengangguk senang. “Iya! Aku ingin jadi anak Bibi!”

Ia tampak bahagia mendengar persetujuanku.

Seketika, tanpa sengaja, seplastik bahan es lilin yang sedari tadi berusaha kuikat, akhirnya terjatuh dan membasahi lantai.

Aku merasa sangat bersalah. “Maafkan, aku Bibi.”

Nenek Lido malah tampak tersenyum. “Tak apa-apa. Biar aku ajarkan lagi bagaimana caranya.”

Segera saja ia menunjukkan lagi cara meramu es lilin padaku, mulai dari menakar bahan, memasukkannya ke dalam plastik, hingga mengikatnya dengan baik.

“Kau harus bisa membuat es lilin, Nak,” kata Nenek Lido kemudian, sambil mengelus-elus bagian belakang leherku, tepat di selingkaran bercak-bercak hitam yang acapkali diusap ibuku sambil merapalkan doa. “Kalau kau bisa, kelak, kau akan membuat anak-anak di sekitarmu senang.”

Aku suka mendengar pernyataannya. Aku lalu meminta ia untuk mengajariku meramu es lilin berulang kali, sampai mahir. Hingga akhirnya, hari ini, aku pun menjadi seorang penjual es lilin untuk anak-anak. Kulakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati, seperti yang pernah dilakukan  Nenek Lido.

Dan sungguh, betapa senangnya aku setiap hari. Aku dapat melihat anak-anak berkerumun di rumahku. Aku dapat mendengar suara mereka yang riang-gembira. Aku dapat menyaksikan kepolosan mereka yang begitu menghibur. Hingga, aku pun bisa mengabaikan kerisauan hatiku sebagai seorang perempuan yang tak mungkin dikaruniai seorang anak setelah tak seorang lelaki pun di kampungku yang sudi meminang. Pasalnya, sebagaimana Nenek Lido, aku memiliki tanda lahir berupa bercak hitam di bagian belakang leherku. Dan seluruh warga kampung memercayai mitos-adat bahwa bercak itu adalah penanda bagi wanita pembawa sial dan petaka yang tak pantas untuk dinikahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar