Minggu, 23 September 2018

Rencana Luka

Kekalutan menyelubungi jiwaku saat duduk di pojok kafe saat ini. Seseorang telah pergi meninggalkanku, dan seseorang akan datang menemuiku. Pagi tadi, sahabat baikku beranjak ke kota seberang untuk mengunjungi ayahnya yang sedang sakit. Tapi sore ini, seorang teman dekatnya akan datang menemuiku sesuai dengan waktu yang telah mereka perjanjikan.
 
Kali ini, aku akan melakoni sebuah pertemuan untuk kepentingan orang lain. Menjadi seorang kurir pesan untuk sahabat baikku sendiri. Sebuah tugas yang akan kutunaikan sebagaimana mestinya. Bagaimana pun, sebagai sahabat terdekat, aku adalah satu-satunya orang yang ia harapkan untuk menyampaikan pesan kepada seseorang yang spesial baginya; seseorang yang tak sanggup ia temui untuk mengucapkan kata-kata perpisahan.

Aku tak tahu bagaimana sesi obrolan kami akan berlangsung. Mungkin kecanggungan akan membuatku kesulitan menjalani komunikasi. Tapi setidaknya, aku hanya perlu menginformasikan secara singkat bahwa sahabat baikku yang merupakan teman dekatnya, harus pergi ke kota seberang secara mendadak, sehingga tak sempat berpamit kepadanya. Soal keresahan hati, juga tangis sahabat baikku atas perpisahan itu, kurasa akan dijelaskan oleh seisi kotak kado yang akan kuberikan kepadanya.

Akhirnya, di tengah penantian yang memunculkan adegan-adegan menegangkan di benakku, seseorang lelaki yang kumaksud, muncul juga di balik pintu. Seperti biasa, ia datang dengan penampilan yang penuh percaya diri. Seketika, nyaliku menciut. Perasaanku tiba-tiba jadi tak keruan. Benih-benik kekaguman yang telah kuredam dan kupendam untuk dirinya sejak lama, seketika mencuat dan berusaha menerobos kenyataan bahwa aku memang sudah tak pantas menyimpan perasaan untuk lelaki dambaan sahabat baikku sendiri.

“Maaf telah membuatmu menunggu,” katanya semasih berdiri dengan napas yang memburu.

Aku tersenyum dengan perasaan canggung. “Tak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.”

Dia tampak merapikan bajunya, lalu duduk dengan sikap tegap pada sebuah kursi yang berada tepat di depanku.. “Bagaimana kabarmu?”

Dengan sedikit keheranan atas pertanyaannya yang bersifat personal, aku berusaha membalas dengan perasaan yang biasa, “Baik-baik saja,” kataku, sambil menahan diri untuk balik bertanya kabar kepadanya, sebab kurasa itu kurang pantas.

“Ya, aku selalu berharap begitu,” katanya, sambil tersenyum ke arahku. Ia lalu menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, kemudian berucap dengan tatapan yang tajam, “Kau tahu, kita sudah saling mengenal sejak lama. Tapi baru kali ini aku bisa memerhatikan wajahmu secara jelas.”

Lekas saja aku menunduk. Aku jelas tak kuasa berpandangan kala aku masih terpikir pada kekalutan sahabat baikku sendiri atas perpisahan dengannya. Aku merasa setengah mati mengendalikan kerusuhan batinku yang masih berharap kepadanya di saat aku seharusnya berhenti berharap.

“Kita bahkan sudah saling mengenal di hari pertama aku mengenal Rani, sahabat baikmu itu,” kisahnya lagi. “Kau masih ingat kan?”

Aku mengangguk, memandang matanya beberapa saat, lalu kembali menunduk.

Seketika, momen saat kami bertiga saling mengenal, kembali terbayang di benakku. Satu kejadian ketika sepeda motor yang aku kendarai bersama Rani, bertabrakan dengan sepeda motornya di tikungan jalan. Hanya tabrakan kecil dan tak meninggalkan luka serius di antara kami. Hanya ada goresan-goresan kecil di sepeda motor kami, juga kerusakan pada kamera miliknya yang terhempas keras. Aku dan ia mencoba berunding, tapi ia harus mengalah pada keberingasan Rani yang tak ingin kalah suara.

“Maafkan aku atas kejadian itu. Aku rasa, aku belum sempat meminta maaf padamu secara pantas,” kataku, bersungguh-sungguh, sebab aku sadar telah kehilangan fokus saat berkendara di waktu itu karena sibuk bersenda-gurau dengan Rani.

Ia tampak tersenyum. “Kau tak perlu meminta maaf kepadaku. Aku tak menyinggung kisah itu untuk membuatmu merasa bersalah. Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa kita memang sudah saling mengenal sejak lama.”

Aku merasa sedikit berarti mendengar penuturannya. Tapi aku jadi semakin bingung atas sikapnya yang memilih membahas persoalan tentang aku dan dia, sampai lupa untuk sekadar menanyakan keadaan Rani.

Akhirnya, kuputuskan untuk menjelaskan soal Rani tanpa perlu pertanyaan darinya, “Oh, ya, Rani tak sempat datang menemuimu hari ini. Dia buru-buru untuk beranjak ke kota seberang menemui ayahnya yang tengah sakit,” jelasku, sambil melayangkan senyuman yang singkat padanya. “Untuk itu, ia menyampaikan permintaan maaf kepadamu.”

“Aku tahu. Dia telah mengatakan rencananya padaku untuk beranjak ke kota seberang beberapa hari yang lalu,” katanya, dengan sikap yang biasa.

Sontak saja aku semakin bingung. Yang aku tahu, sore ini, aku sengaja diutus Rani untuk menyampaikan pesan-pesan perpisahan kepadanya. Karena itulah, sepantasnya ia menampakkan sikap yang penuh kesedihan dan keprihatinan.

Di tengah kebingungan yang tak berarah, kuserahkan saja sebuah bingkisan yang dititipkan Rani untuknya. “Ada sebuah kado untukmu,” kataku.

“Terima kasih,” balasnya seketika. Ia tampak sangat senang. “Apa aku boleh membukanya sekarang?”

Tanpa beban apa-apa, aku mengangguk saja. Berharap ia segera memahami kegundahan hati Rani di balik kata-kata tertulis yang menyertai isi bingkisan itu.

Segera saja ia membuka sekotak kado yang baru saja kusodorkan padanya. Perlahan-lahan, raut kebahagiaan tampak di wajahnya kala membaca secarik kertas yang entah bertuliskan apa. “Terima kasih banyak atas kadomu,” katanya, dengan raut wajah yang semringah. “Aku tak menduga bahwa kau tahu kalau aku berulang tahun hari ini.”

Ia lalu meletakkan secarik kertas itu di atas meja, dan aku bisa membaca jelas namaku tertulis di sana.

Berselang beberapa detik kemudian, tersibaklah sebuah kamera di balik bingkisan yang berlapis. Sebuah kamera yang serupa kamera miliknya yang telah rusak akibat tambrakan sepeda motor kami di masa lampau. 

“Kau tahu, aku tak memendam kekesalan karena kau merusak kameraku waktu itu, apalagi berharap kau menggantinya. Aku malah bersyukur karena kejadian itulah yang membuat kita saling mengenal dan saling terikat,” katanya, tampak sangat senang. “Tapi baiklah. Terima kasih. Ini sangat berarti bagiku.”

Lagi-lagi, kulayangkan senyuman yang tak sepenuh hati padanya, dengan keyakinan bahwa Rani telah merencanakan semuanya.

Kini, aku jadi tak mengerti tentang perasaan di antara mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar