Kekalutan
menyelubungi jiwaku saat duduk di pojok kafe saat ini. Seseorang telah pergi
meninggalkanku, dan seseorang akan datang menemuiku. Pagi tadi, sahabat baikku beranjak
ke kota seberang untuk mengunjungi ayahnya yang sedang sakit. Tapi sore ini,
seorang teman dekatnya akan datang menemuiku sesuai dengan waktu yang telah
mereka perjanjikan.
Kali
ini, aku akan melakoni sebuah pertemuan untuk kepentingan orang lain. Menjadi seorang
kurir pesan untuk sahabat baikku sendiri. Sebuah tugas yang akan kutunaikan
sebagaimana mestinya. Bagaimana pun, sebagai sahabat terdekat, aku adalah satu-satunya
orang yang ia harapkan untuk menyampaikan pesan kepada seseorang yang spesial
baginya; seseorang yang tak sanggup ia temui untuk mengucapkan kata-kata perpisahan.
Aku
tak tahu bagaimana sesi obrolan kami akan berlangsung. Mungkin kecanggungan
akan membuatku kesulitan menjalani komunikasi. Tapi setidaknya, aku hanya perlu
menginformasikan secara singkat bahwa sahabat baikku yang merupakan teman
dekatnya, harus pergi ke kota seberang secara mendadak, sehingga tak sempat berpamit
kepadanya. Soal keresahan hati, juga tangis sahabat baikku atas perpisahan itu,
kurasa akan dijelaskan oleh seisi kotak kado yang akan kuberikan kepadanya.
Akhirnya,
di tengah penantian yang memunculkan adegan-adegan menegangkan di benakku,
seseorang lelaki yang kumaksud, muncul juga di balik pintu. Seperti biasa, ia
datang dengan penampilan yang penuh percaya diri. Seketika, nyaliku menciut. Perasaanku
tiba-tiba jadi tak keruan. Benih-benik kekaguman yang telah kuredam dan kupendam
untuk dirinya sejak lama, seketika mencuat dan berusaha menerobos kenyataan
bahwa aku memang sudah tak pantas menyimpan perasaan untuk lelaki dambaan
sahabat baikku sendiri.
“Maaf
telah membuatmu menunggu,” katanya semasih berdiri dengan napas yang memburu.
Aku tersenyum dengan perasaan canggung. “Tak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.”
Dia
tampak merapikan bajunya, lalu duduk dengan sikap tegap pada sebuah kursi yang berada
tepat di depanku.. “Bagaimana kabarmu?”
Dengan
sedikit keheranan atas pertanyaannya yang bersifat personal, aku berusaha
membalas dengan perasaan yang biasa, “Baik-baik saja,” kataku, sambil menahan
diri untuk balik bertanya kabar kepadanya, sebab kurasa itu kurang pantas.
“Ya,
aku selalu berharap begitu,” katanya, sambil tersenyum ke arahku. Ia lalu
menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, kemudian berucap dengan tatapan
yang tajam, “Kau tahu, kita sudah saling mengenal sejak lama. Tapi baru kali
ini aku bisa memerhatikan wajahmu secara jelas.”
Lekas
saja aku menunduk. Aku jelas tak kuasa berpandangan kala aku masih terpikir pada
kekalutan sahabat baikku sendiri atas perpisahan dengannya. Aku merasa setengah
mati mengendalikan kerusuhan batinku yang masih berharap kepadanya di saat aku
seharusnya berhenti berharap.
“Kita
bahkan sudah saling mengenal di hari pertama aku mengenal Rani, sahabat baikmu
itu,” kisahnya lagi. “Kau masih ingat kan?”
Aku
mengangguk, memandang matanya beberapa saat, lalu kembali menunduk.
Seketika,
momen saat kami bertiga saling mengenal, kembali terbayang di benakku. Satu
kejadian ketika sepeda motor yang aku kendarai bersama Rani, bertabrakan dengan
sepeda motornya di tikungan jalan. Hanya tabrakan kecil dan tak meninggalkan
luka serius di antara kami. Hanya ada goresan-goresan kecil di sepeda motor
kami, juga kerusakan pada kamera miliknya yang terhempas keras. Aku dan ia
mencoba berunding, tapi ia harus mengalah pada keberingasan Rani yang tak ingin
kalah suara.
“Maafkan
aku atas kejadian itu. Aku rasa, aku belum sempat meminta maaf padamu secara
pantas,” kataku, bersungguh-sungguh, sebab aku sadar telah kehilangan fokus
saat berkendara di waktu itu karena sibuk bersenda-gurau dengan Rani.
Ia
tampak tersenyum. “Kau tak perlu meminta maaf kepadaku. Aku tak menyinggung
kisah itu untuk membuatmu merasa bersalah. Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa
kita memang sudah saling mengenal sejak lama.”
Aku
merasa sedikit berarti mendengar penuturannya. Tapi aku jadi semakin bingung atas
sikapnya yang memilih membahas persoalan tentang aku dan dia, sampai lupa untuk
sekadar menanyakan keadaan Rani.
Akhirnya,
kuputuskan untuk menjelaskan soal Rani tanpa perlu pertanyaan darinya, “Oh, ya,
Rani tak sempat datang menemuimu hari ini. Dia buru-buru untuk beranjak ke kota
seberang menemui ayahnya yang tengah sakit,” jelasku, sambil melayangkan
senyuman yang singkat padanya. “Untuk itu, ia menyampaikan permintaan maaf
kepadamu.”
“Aku
tahu. Dia telah mengatakan rencananya padaku untuk beranjak ke kota seberang beberapa
hari yang lalu,” katanya, dengan sikap yang biasa.
Sontak
saja aku semakin bingung. Yang aku tahu, sore ini, aku sengaja diutus Rani
untuk menyampaikan pesan-pesan perpisahan kepadanya. Karena itulah, sepantasnya
ia menampakkan sikap yang penuh kesedihan dan keprihatinan.
Di
tengah kebingungan yang tak berarah, kuserahkan saja sebuah bingkisan yang
dititipkan Rani untuknya. “Ada sebuah kado untukmu,” kataku.
“Terima
kasih,” balasnya seketika. Ia tampak sangat senang. “Apa aku boleh membukanya sekarang?”
Tanpa
beban apa-apa, aku mengangguk saja. Berharap ia segera memahami kegundahan hati
Rani di balik kata-kata tertulis yang menyertai isi bingkisan itu.
Segera
saja ia membuka sekotak kado yang baru saja kusodorkan padanya. Perlahan-lahan,
raut kebahagiaan tampak di wajahnya kala membaca secarik kertas yang entah
bertuliskan apa. “Terima kasih banyak atas kadomu,” katanya, dengan raut wajah
yang semringah. “Aku tak menduga bahwa kau tahu kalau aku berulang tahun hari
ini.”
Ia
lalu meletakkan secarik kertas itu di atas meja, dan aku bisa membaca jelas
namaku tertulis di sana.
Berselang
beberapa detik kemudian, tersibaklah sebuah kamera di balik bingkisan yang
berlapis. Sebuah kamera yang serupa kamera miliknya yang telah rusak akibat
tambrakan sepeda motor kami di masa lampau.
“Kau
tahu, aku tak memendam kekesalan karena kau merusak kameraku waktu itu, apalagi
berharap kau menggantinya. Aku malah bersyukur karena kejadian itulah yang
membuat kita saling mengenal dan saling terikat,” katanya, tampak sangat
senang. “Tapi baiklah. Terima kasih. Ini sangat berarti bagiku.”
Lagi-lagi,
kulayangkan senyuman yang tak sepenuh hati padanya, dengan keyakinan bahwa Rani
telah merencanakan semuanya.
Kini,
aku jadi tak mengerti tentang perasaan di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar