Akhir-akhir
ini, aku semakin ogah menelusuri jalan-jalan kota. Mataku pekak melihat
kesemrawutan di mana-mana. Lapak berserakan, kendaraan berimpitan, gedung-gedung
tak berhalaman, sungguh mengekang area pandang. Sedang pepohonan yang dulu
tampak menyejukkan, kini terhalangi atribut komersial, atau tercemari gambar-gambar
politis.
Entah
seperti apa kota ini di masa depan. Aku tak tahu. Namun bisa kupastikan,
ruang-ruang akan terasa menyempit. Dinding-dinding bangunan akan jadi pambatas
antara manusia dengan bentangan alam. Langit-langit gedung akan jadi penghalang
antara manusia dengan angkasa. Hingga akhirnya, setiap orang hanya fokus dan
sibuk dengan urusan sekitar, sampai lupa bahwa dunia terlalu luas untuk
masalah-masalah kecil.
Semenjak
aku terbelenggu di dalam penjara kota, ingin sekali aku pergi jauh entah ke
mana. Ingin aku melanglang ke tengah hutan, menikmati lukisan Tuhan yang berseni.
Ataukah menyelam di lautan, melihat makhluk-makhluk cantik di sisi dunia yang elok.
Aku ingin sekali terhempas ke sana, dan keluar dari kota yang aur-auran dan
menyesakkan.
Mungkin
aku yang sangat berminat terhadap seni, memang telah dikutuk untuk hidup di
dunia antah-berantah ini. Aku yang memahami seni penataan setelah kuliah di jurusan
desain, paham betul bahwa kota ini jauh dari citra keindahan. Ada ketidakserasian
bentuk antarkomponen. Ada ketidakharmonisan warna di mana-mana. Dan itu
membuatku ingin mereparasi hati dan pikiran para politisi, agar mereka peduli
pada pembangunan kota yang berseni dan berbasis alam.
Aku
jadi tak mengerti mengapa realitas politik tak punya konsep soal penataan kota.
Keadaannya sungguh kacau-balau dan tak berarah. Tapi secara idealis, aku paham
kalau kebijakan politik harusnya bisa mewujudkan tatanan kota yang harmonis dan
indah. Politik harusnya berbicara tentang kepentingan alam yang lebih luas,
ketimbang sekadar pemuasan nafsu materi anak manusia. Tapi yang terjadi
sebaliknya, dan itu membuatku menyerah dan tak peduli lagi soal perpolitikan.
Jelas,
aku kadung tak percaya bahwa para politisi punya visi dan niat yang baik soal
penataan kota. Mereka terus menjual kalimat tentang pembangunan berkelanjutan,
tapi mereka hanya mengerti soal tembok-menembok. Mereka terus menjual kalimat
tentang pembangunan yang memanusiakan, tapi mereka abai pada perlindungan
lingkungan hidup. Yang mereka peduli hanya pemenuhan nafsu materi yang terus
menyisakan ampas untuk bumi ini.
Mungkin
saja masih ada setitik bagian otak dari para politisi yang mengerti soal
pentingnya seni penataan. Namun, itu hanya demi mendongkrak citra mereka. Selainnya,
tidak. Lihatlah, menjelang pemilihan rakyat, mereka berburu untuk membuat
gambar dirinya di segala bidang dengan semenarik mungkin, kemudian memasangnya
di ruang-ruang publik. Entah ditempel di dinding-dinding bangunan, dipasang di
tiang-tiang pancang, atau dipaku di pepohonan. Entah dengan nama spanduk,
pemflet, atau baliho.
Dan
menjelang prosesi pemilihan saat ini, bertebaranlah gambar-gambar politisi di
segenap ruang kota. Mereka menampakkan senyuman yang dibuat-buat pada
atribut-atribut kampanye, sembari dibumbui dengan slogan tingkat dewa yang seakan-akan
menebar kesan bahwa mereka akan membuat kehidupan kota semakin nyaman dan
bersahabat ketika berkuasa. Tapi sebgaimana yang terjadi sebelum-sebelumnya,
para politisi seringkali malah tak mengacuhkan kemanusiaan dan keasrian alam setelah
menjabat.
“Hai!” sentak seseorang dari arah belakang.
Temanku, Dolin.
Aku
yang duduk di sebuah kursi yang tepat menghadap ke jendela, terkaget dan
tersadar dari lamunan.
Ia
tampak senang, kemudian bertanya, “Kenapa mengkhayal? Kau ada masalah?”
Dengan
masih kesalnya, aku mengalihkan pandangan darinya. Aku kembali menatap
pemandangan kota dari balik jendela. Memandang atribut kampanye yang berderet
sampai jauh. “Tidakkah kau merasa ada yang salah dengan tata kota ini?”
tanyaku. “Para politisi terus menjual citra palsu mereka di spanduk, tanpa
peduli pada citra indah kota.”
“Aduh,
kau terlalu idealis jadi desainer!” katanya, terkesan meledek. “Namanya juga
pergelaran politik. Kampanye kan memang harus begitu. Calon butuh dikenal
dengan memasang foto dan kata-kata manisnya di mana-mana.”
Aku
lekas menentang sikap permisifnya, “Tapi kan seharusnya ada cara yang lebih
mendidik dan mencerdaskan. Apa gunanya foto dipajang di mana-mana, tapi si
calon tak pernah turun ke masyarakat? Apa gunanya memajang tagline dengan bahasa tinggi kalau masyarakat pun tak mengerti
maksudnya?” kataku, penuh penegasan. “Aku kira, akan lebih baik jika kebiasaan politik
semacam ini dihentikan, sehingga para calon terdorong untuk bersentuhan langsung
dengan masyarakat; agar masyarakat memilih figur, bukan gambar-gambar tipuan.”
“Rupanya,
kau sudah banyak berubah, ya?” tanggap Dolin, sambil menepuk-nepuk punggungku. “Ada
apa sampai kau mulai risau melihat potret politik yang sedari dulu kau tak
peduli dan kau sebut omong kosong itu?”
“Aku
bilang kalau aku tak peduli bukan berarti benar-benar tidak peduli. Pada
kondisi tertentu, ketidakpedulian bisa jadi kepedulian yang tertinggi. Aku
hanya muak dengan realitas politik yang penuh tipu-tipu dan citra palsu. Dan
kurasa, kepedulian terbaik untuk realitas politik saat ini adalah tidak
terlibat sama sekali,” kataku, berharap ia mengerti. “Bahkan kadang-kadang, aku
berpikir untuk berhenti melakukan perkerjaan kita.”
Dolin
bedecak-decak. “Wah, idealismemu tentang seni tata kota, rupanya akan membuatmu
jadi gila kawan!” katanya, terkesan meledek. “Kawan, camkanlah bahwa realitas
politik memang demikian adanya. Pemilihan umum adalah pesta demokrasi. Dan kau
tahu, pesta senantiasa meyisakan sampah-sampah. Tapi soal sampah itu bukan
urusan kita. Di pesta ini, kita hanya perlu menjadi penjual kembang api.
Biarlah para politisi berperang citra dan saling menutupi spanduk, yang penting
kita meraup rupiah dengan cara mempercantik pesta pertarungan mereka. Semakin
semarak pestanya, kita semakin untung.”
“Aku
sedikit kesal mendengar pandangannya yang sangat pragmatis.
“Kawan,
berpestalah!” serunya.
Aku
jadi kalut sendiri, dan tak berselera melanjutkan perdebatan.
“Sudahlah.
Ambil ini,” katanya, sambil menyerahkan sebuah flashdisk. “Di dalamnya ada foto dan kata-kata manis yang harus kau
susun dengan apik, seperti biasa.”
Bak
mumi yang tak berjiwa, tanganku menggenggam saja berkas itu darinya.
“Ini
proyek besar. Kalau hasilnya bagus dan si klien suka, kau bisa keguyuran
rupiah,” terangnya dengan raut wajah yang antusias. “Kau bahkan bisa memuaskan
hasratmu dengan bepergian ke mana saja untuk memanjat gunung dan berenang di
lautan.”
Akhirnya,
di tengah kesadaran dan ketidaksadaran, kusambunglah flashdisk itu di perangkat komputer. Perlahan-lahan, aku mulai
mendesain spanduk seorang calon pejabat dengan seindah mungkin. Dan sesuai
pesanan, kutambahkan slogan omong kosong di sisi kanan fotonya: Demi Pembangunan Kota yang Asri dan Berbasis
Lingkungan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar