Hidangan
beraroma nikmat dan menggugah selera, telah tersaji sempurna. Berderet-deret di
atas meja, di antara sepasang kekasih, Sardan dan Mimi. Tapi Sardan tak juga
tergerak untuk menyentuh sendok dan piring. Ia hanya duduk, sembari terus menatap
istrinya. Satu tatapan yang menyiratkan kesan terkesima, seolah-olah ia sedang
menatap sesuatu yang sangat menakjubkan.
Jelas
saja, Mimi jadi tersipu. Ia begitu mengenal jenis tatapan mesra itu. Tatapan
yang kadang disusul dengan kata-kata pujian yang selalu membuatnya merasa bak
jatuh cinta untuk kali pertama. Sampai akhirnya, ia jadi salah tingkah. Segera
dipalingkannya wajah dari sang suami dengan sikap malu-malu. Menunduk segan,
seakan-akan ia baru saja bertemu dengan seorang lelaki yang berhasil membuat
jantungnya berdebar kencang.
“Kenapa
Bapak menatapku begitu?” Mimi pura-pura bersikap polos, seolah-olah tatapan semacam
itu, masih yang pertama kali untuknya.
Sardan
yang kini berusia 65 tahun, lekas membalas, “Ibu cantik sekali malam ini!”
Tersanjunglah
Mimi. Ia yang lebih muda dua tahun dari suaminya, tampak tersenyum lebar.
Seolah ia tak menduga suaminya akan berkata begitu.
“Ah,
Bapak bisa saja! Jangan Gombal!” elak Mimi, sambil menepak lengan suaminya.
“Cepatlah makan, Pak! Nanti supnya keburu dingin.”
Sardan
tetap dengan sikap yang sama. Memandang istrinya lekat-lekat, seumpama ia
menatap jiwanya pula.
Melihat
kebekuan suaminya, dengan senang hati, Mimi akhirnya tergerak untuk meramu
seporsi hidangan yang selama ini menjadi takaran yang pas untuk sang suami. Ia
melakukannya dengan telaten, bak seorang pelayan di restoran mewah yang sedang
menyajikan makanan untuk seorang bos besar.
Mimi
pun meletakkan sepiring makanan yang lengkap di depan suaminya. “Ayo makan,
Pak!”
Tetap
saja, Sardan bergeming. Setelah merekahkan senyuman pendek, ia malah
mengucapkan perihal pengakuan, dan jelas bukan sebuah respons yang tepat untuk ajakan dari sang istri, “Terima kasih karena Ibu telah menjadi
pendamping hidupku sampai saat ini.”
Menyaksikan
sikap dan ucapan suaminya, Mimi pun pasrah dan berhenti memintanya segera bersantap. Ia
turut meletakkan sendok, menoleh ke arah sang suami, kemudian membalas, “Aku
juga berterima kasih, karena Bapak telah menjadi pendamping hidupku sampai saat
ini,” katanya, dengan sikap yang siap untuk meladeni celoteh manis sang suami, sepanjang-panjangnya.
“Ya,
betapa kita patut bersyukur dan berbangga diri sebab kita masih tetap bersama,
meski godaan dunia tak berhenti mengusik,” kata Sardan. “Betapa kita patut
bersyukur dan berbangga diri, sebab anak-anak kita telah berhasil melanjutkan masa
depan mereka sendiri, dan telah melahirkan cucu-cucu untuk kita.”
Mimi
mengkhidmati pernyataan sang suami, kemudian menimpali, “Ya, kita telah menjadi
pasangan suami-istri yang berhasil,” katanya, kemudian memberanikan diri
menatap bola mata suaminya dalam-dalam. “Maafkanlah aku atas semua kesalahku
selama ini, Pak. Semoga Bapak sudi.”
Atas
tatapan sang istri, sontak saja, Sardan teringat satu gambaran wajah serupa itu
di masa lalu. Satu raut wajah milik seorang gadis yang ia idamankan sebelum Mimi.
Tentang mata yang lebar dan menyipit ketika tersenyum, hidung mancung yang kembang-kempis
ketika tersenyum, juga pipi yang menggembung ketika tersenyum. Semua tergambar sama,
meski samar di balik wajah keriput sang istri.
Mimi
tersenyum simpul. “Memangnya, Bapak punya salah apa? Aku rasa, Bapak tak pernah
melakukan tindakan di luar kewajaran,” tutur Mimi. “Aku tahu, Bapak pernah marah
dan membentakku, atau mendiamkanku tanpa menjelaskan alasannya. Tapi aku selalu
menyadari itu sebagai peringatan atas ketidakbecusanku mengurus urusan rumah
tangga,” katanya, dengan suara yang lembut. “Aku bersyukur telah dianugerahi seorang
imam yang baik seperti Bapak.” Mimi tersenyum lagi dan menampakkan rona cantik
yang tersamar di balik wajahnya.
Melihat
senyuman sang istri, Sardan kembali terkesima. Seperti sebelumnya, ia terbayang
lagi oleh satu rupa senyuman di masa lalu. Satu senyuman milik seorang gadis
idamannya. Senyuman lepas yang akan menampakkan gigi ginsul di sebelah kanan,
lesung pipi di kedua pipi, bibir merah alami yang menipis, dan dagu yang
meruncing. Satu harmoni yang indah di wajah Mia, adik sepupu Mimi yang memang
mirip dengannya, yang telah meninggal bertahun-tahun lalu.
“Aku
tak sebaik apa yang Ibu pikirkan. Dan karena itu, aku wajib meminta maaf untuk
kekhilafan dan kesalahan yang Ibu tahu maupun tidak tahu,” aku Sardan. Jeda
sejenak, lalu ia kembali berucap, “Kurasa, dosa bukan hanya perihal fisik. Ragaku
mungkin selalu di samping Ibu. Tapi hati dan pikiranku, melayang di mana-mana.
Bukankah itu sebuah pengkhianatan?”
Mimi
tersenyum. “Persoalan yang ada dalam hati dan pikiran Bapak, bukan menjadi
urusanku. Itu urusan Bapak sendiri. Kehadiran Bapak setiap waktu, sampai
saat ini, sudah cukup menjadi bukti bahwa Bapak orang yang setia. Aku sungguh
beruntung.”
Akhirnya,
Sardan mengalah untuk menuntut haknya meminta maaf.
Hening
sejenak.
Berselang
beberapa detik, Mimi berucap, “Sudahlah, Pak, mari kita makan,” saran Mimi,
lalu menarik tangannya dari genggaman sang suami. “Oh, ya, di hari ulang tahun pernikahan
kita yang ke-44 ini, aku ingin kita juga berdoa untuk Mia. Semoga ia mendapat
tempat terbaik di alam sana.”
Segera
saja, bermunajatlah Sardan. Membatinkan harapan-harapan semoga Mia yang
meninggal tepat di hari ini, setelah mengalami kecelakaan bermotor kala
hendak menuju resepsi pernikahan Sardan dan Mimi, berada pada tempat terbaik di sisi Tuhan.
Sardan berdoa, semoga cinta pertamanya di dalam rahasia itu, berbahagia di alam
sana.
“Ayolah,
kita makan!” seru Mimi.
Maka,
mulailah mereka makan dengan lahapnya.
Hingga
akhirnya, di tengah waktu bersantap, tiba-tiba Mimi berkisah, “Oh, ya, Mia sangat menyukai bantal beruang yang Bapak berikan untuknya saat ulang
tahun. Dia selalu tak bisa tidur tanpa bantal itu.”
Seketika,
Sardan tersedak.
Dengan
cekatan, Mimi menyodorkan segelas air putih.
Sardan
pun minum seteguk demi seteguk, sambil menenangkan perasaannya yang
terpendam.
Dan
akhirnya, acara bersantap kembali berlanjut dengan rasa masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar