Rabu, 12 September 2018

Sepasang Usia Senja

Hidangan beraroma nikmat dan menggugah selera, telah tersaji sempurna. Berderet-deret di atas meja, di antara sepasang kekasih, Sardan dan Mimi. Tapi Sardan tak juga tergerak untuk menyentuh sendok dan piring. Ia hanya duduk, sembari terus menatap istrinya. Satu tatapan yang menyiratkan kesan terkesima, seolah-olah ia sedang menatap sesuatu yang sangat menakjubkan.
 
Jelas saja, Mimi jadi tersipu. Ia begitu mengenal jenis tatapan mesra itu. Tatapan yang kadang disusul dengan kata-kata pujian yang selalu membuatnya merasa bak jatuh cinta untuk kali pertama. Sampai akhirnya, ia jadi salah tingkah. Segera dipalingkannya wajah dari sang suami dengan sikap malu-malu. Menunduk segan, seakan-akan ia baru saja bertemu dengan seorang lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdebar kencang. 

“Kenapa Bapak menatapku begitu?” Mimi pura-pura bersikap polos, seolah-olah tatapan semacam itu, masih yang pertama kali untuknya.

Sardan yang kini berusia 65 tahun, lekas membalas, “Ibu cantik sekali malam ini!”

Tersanjunglah Mimi. Ia yang lebih muda dua tahun dari suaminya, tampak tersenyum lebar. Seolah ia tak menduga suaminya akan berkata begitu.

“Ah, Bapak bisa saja! Jangan Gombal!” elak Mimi, sambil menepak lengan suaminya. “Cepatlah makan, Pak! Nanti supnya keburu dingin.”

Sardan tetap dengan sikap yang sama. Memandang istrinya lekat-lekat, seumpama ia menatap jiwanya pula.

Melihat kebekuan suaminya, dengan senang hati, Mimi akhirnya tergerak untuk meramu seporsi hidangan yang selama ini menjadi takaran yang pas untuk sang suami. Ia melakukannya dengan telaten, bak seorang pelayan di restoran mewah yang sedang menyajikan makanan untuk seorang bos besar.

Mimi pun meletakkan sepiring makanan yang lengkap di depan suaminya. “Ayo makan, Pak!”

Tetap saja, Sardan bergeming. Setelah merekahkan senyuman pendek, ia malah mengucapkan perihal pengakuan, dan jelas bukan sebuah respons yang tepat untuk ajakan dari sang istri, “Terima kasih karena Ibu telah menjadi pendamping hidupku sampai saat ini.”

Menyaksikan sikap dan ucapan suaminya, Mimi pun pasrah dan berhenti memintanya segera bersantap. Ia turut meletakkan sendok, menoleh ke arah sang suami, kemudian membalas, “Aku juga berterima kasih, karena Bapak telah menjadi pendamping hidupku sampai saat ini,” katanya, dengan sikap yang siap untuk meladeni celoteh manis sang suami, sepanjang-panjangnya.

“Ya, betapa kita patut bersyukur dan berbangga diri sebab kita masih tetap bersama, meski godaan dunia tak berhenti mengusik,” kata Sardan. “Betapa kita patut bersyukur dan berbangga diri, sebab anak-anak kita telah berhasil melanjutkan masa depan mereka sendiri, dan telah melahirkan cucu-cucu untuk kita.”

Mimi mengkhidmati pernyataan sang suami, kemudian menimpali, “Ya, kita telah menjadi pasangan suami-istri yang berhasil,” katanya, kemudian memberanikan diri menatap bola mata suaminya dalam-dalam. “Maafkanlah aku atas semua kesalahku selama ini, Pak. Semoga Bapak sudi.”

Atas tatapan sang istri, sontak saja, Sardan teringat satu gambaran wajah serupa itu di masa lalu. Satu raut wajah milik seorang gadis yang ia idamankan sebelum Mimi. Tentang mata yang lebar dan menyipit ketika tersenyum, hidung mancung yang kembang-kempis ketika tersenyum, juga pipi yang menggembung ketika tersenyum. Semua tergambar sama, meski samar di balik wajah keriput sang istri.
 
Mimi tersenyum simpul. “Memangnya, Bapak punya salah apa? Aku rasa, Bapak tak pernah melakukan tindakan di luar kewajaran,” tutur Mimi. “Aku tahu, Bapak pernah marah dan membentakku, atau mendiamkanku tanpa menjelaskan alasannya. Tapi aku selalu menyadari itu sebagai peringatan atas ketidakbecusanku mengurus urusan rumah tangga,” katanya, dengan suara yang lembut. “Aku bersyukur telah dianugerahi seorang imam yang baik seperti Bapak.” Mimi tersenyum lagi dan menampakkan rona cantik yang tersamar di balik wajahnya.

Melihat senyuman sang istri, Sardan kembali terkesima. Seperti sebelumnya, ia terbayang lagi oleh satu rupa senyuman di masa lalu. Satu senyuman milik seorang gadis idamannya. Senyuman lepas yang akan menampakkan gigi ginsul di sebelah kanan, lesung pipi di kedua pipi, bibir merah alami yang menipis, dan dagu yang meruncing. Satu harmoni yang indah di wajah Mia, adik sepupu Mimi yang memang mirip dengannya, yang telah meninggal bertahun-tahun lalu.

“Aku tak sebaik apa yang Ibu pikirkan. Dan karena itu, aku wajib meminta maaf untuk kekhilafan dan kesalahan yang Ibu tahu maupun tidak tahu,” aku Sardan. Jeda sejenak, lalu ia kembali berucap, “Kurasa, dosa bukan hanya perihal fisik. Ragaku mungkin selalu di samping Ibu. Tapi hati dan pikiranku, melayang di mana-mana. Bukankah itu sebuah pengkhianatan?”

Mimi tersenyum. “Persoalan yang ada dalam hati dan pikiran Bapak, bukan menjadi urusanku. Itu urusan Bapak sendiri. Kehadiran Bapak setiap waktu, sampai saat ini, sudah cukup menjadi bukti bahwa Bapak orang yang setia. Aku sungguh beruntung.”

Akhirnya, Sardan mengalah untuk menuntut haknya meminta maaf.

Hening sejenak.

Berselang beberapa detik, Mimi berucap, “Sudahlah, Pak, mari kita makan,” saran Mimi, lalu menarik tangannya dari genggaman sang suami. “Oh, ya, di hari ulang tahun pernikahan kita yang ke-44 ini, aku ingin kita juga berdoa untuk Mia. Semoga ia mendapat tempat terbaik di alam sana.”

Segera saja, bermunajatlah Sardan. Membatinkan harapan-harapan semoga Mia yang meninggal tepat di hari ini, setelah mengalami kecelakaan bermotor kala hendak menuju resepsi pernikahan Sardan dan Mimi, berada pada tempat terbaik di sisi Tuhan. Sardan berdoa, semoga cinta pertamanya di dalam rahasia itu, berbahagia di alam sana.

“Ayolah, kita makan!” seru Mimi. 

Maka, mulailah mereka makan dengan lahapnya.

Hingga akhirnya, di tengah waktu bersantap, tiba-tiba Mimi berkisah, “Oh, ya, Mia sangat menyukai bantal beruang yang Bapak berikan untuknya saat ulang tahun. Dia selalu tak bisa tidur tanpa bantal itu.”

Seketika, Sardan tersedak.

Dengan cekatan, Mimi menyodorkan segelas air putih.

Sardan pun minum seteguk demi seteguk, sambil menenangkan perasaannya yang terpendam.

Dan akhirnya, acara bersantap kembali berlanjut dengan rasa masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar