Jumat, 29 November 2019

Rumah Ladang

Pagi tadi, Mirdan dilarikan ke puskesmas. Ia terjatuh ke tepi sungai dan ditemukan warga dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika ditanya tentang kejadian itu, ia seperti tak benar-benar mengingat. Ia hanya mengaku sedang menuruni tanjakan untuk mandi di sungai sebelum kakinya terpeleset, dan ia pun kehilangan kesadaran.
 
Namun beruntung, Mirdan tak mengalami luka berat. Hanya ada luka sobekan kecil di lutut dan sikunya. Karena itu, sebelum tengah hari, ia pun meminta diri untuk segera keluar dari puskesmas, meski ia disarankan untuk menunggu dokter yang akan menanganinya lebih lanjut. Ia berkilah kalau kondisinya cuma masalah kecil dan akan segera pulih.

Atas kehendaknya sendiri, Mirdan lantas pulang. Ia bergegas ke rumah untuk mempersiapkan penyambutan bagi anaknya yang akan tiba dari kota di tengah hari liburnya di pesantren. Ia seperti hendak menunjukkan kalau keadaannya baik-baik saja, dan sang anak tak perlu khawatir apalagi berpikir kalau ia sudah tidak bisa menjaga diri setelah sang istri meninggal setahun yang lalu.

Jam 1 siang, Mirdan akhirnya sampai di rumah. Ia pun merasa lega sebab ia sampai sebelum anaknya tiba. Padahal, sesuai perkiraan, sang anak seharusnya sudah tiba sekitar satu jam yang lalu. Dan tentu saja, keadaaan itu adalah keuntungan bagi Mirdan, sebab ia memang perlu menyelesaikan beberapa persoalan sebelum sang anak muncul.

Dengan perasaan lega, Mirdan pun bergegas menuju ladang untuk memetik buah jagung sebagai bahan penyambutan, juga untuk membereskan perihal penting yang sedari awal ia rencanakan. Langkahnya cepat demi menyelesaikan urusan genting itu, juga agar ia kembali di rumah sebelum anaknya datang. Bagaimana pun, ia ingin menyambut sang anak dengan baik.

Namun sesampainya di ladang, Mirdan terperangah. Rumah ladangnya terbakar. Kobaran api melalap struktur rumah secara cepat. Menghanguskan kayu, bambu, dan jerami.

Sudah sangat terlambat untuk menyelamatkan rumah itu, tapi tidak dengan kebun jagungnya. Maka lekaslah Mirdan membuat pembatas kosong di antara rumah dengan ladang jagung agar api tak merembet ke mana-mana.

Setelah beberapa saat, Mirdan pun duduk menyaksikan rumah ladangnya lenyap dilalap api. Ia tentu bersedih. Tapi ketika mengingat apa yang telah ia lakukan di atas rumah ladang itu malam tadi, ia ikhlas menerima bala itu sebagai balasan.

Di tengah kekalutan Mirdan, tiba-tiba, Liman, anaknya, muncul-menyusuri jalan setapak yang mengarah ke sungai. 

Liman pun sontak keheranan menyaksikan ayahnya di samping rumah ladang yang kini telah lenyap di bawah asap yang masih mengepul.

Seketika juga, Mirdan berpikir kalau-kalau kebakaran rumah ladang itu ada hubungannya dengan kedatangan sang anak.

Dengan sikap yang penuh keseganan, Liman pun melangkah menuju ke sisi sang ayah. “Maafkan aku, Ayah,” tuturnya kemudian.

Tanpa terduga, Mirdan tampak biasa saja. Ia pun menoleh singkat ke arah sang anak sambil melayangkan senyum simpul.

“Tadi, aku memetik dan membakar buah jagung di bawah kolong. Dan sepertinya, aku tak memadamkan apinya dengan baik,” jelas Liman.

Mirdan mengela-embuskan napas yang panjang. “Tak apa-apa, Nak. Lagi pula, rumah ladang ini memang sudah reyot. Sudah waktunya diganti dengan yang baru,” balasnya. “Lagi pula, ladang jagung kita tidak apa-apa.”

Seketika, Liman terheran menyaksikan sikap ayahnya.

Liman lalu duduk di samping sang ayah, dan mereka lantas berbagi cerita yang sama sekali tak mempermasalahkan soal terbakarnya rumah ladang.

Sesaat kemudian, kepulan asap pun menipis, dan tampaklah beberapa botol kaca yang acap kali digunakan penjual bensin eceran di pinggir jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar