Pagi
tadi, Mirdan dilarikan ke puskesmas. Ia terjatuh ke tepi sungai dan ditemukan
warga dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika ditanya tentang kejadian itu, ia
seperti tak benar-benar mengingat. Ia hanya mengaku sedang menuruni tanjakan
untuk mandi di sungai sebelum kakinya terpeleset, dan ia pun kehilangan
kesadaran.
Namun
beruntung, Mirdan tak mengalami luka berat. Hanya ada luka sobekan kecil di
lutut dan sikunya. Karena itu, sebelum tengah hari, ia pun meminta diri untuk segera
keluar dari puskesmas, meski ia disarankan untuk menunggu dokter yang akan menanganinya
lebih lanjut. Ia berkilah kalau kondisinya cuma masalah kecil dan akan segera
pulih.
Atas
kehendaknya sendiri, Mirdan lantas pulang. Ia bergegas ke rumah untuk mempersiapkan
penyambutan bagi anaknya yang akan tiba dari kota di tengah hari liburnya di
pesantren. Ia seperti hendak menunjukkan kalau keadaannya baik-baik saja, dan sang
anak tak perlu khawatir apalagi berpikir kalau ia sudah tidak bisa menjaga diri
setelah sang istri meninggal setahun yang lalu.
Jam
1 siang, Mirdan akhirnya sampai di rumah. Ia pun merasa lega sebab ia sampai
sebelum anaknya tiba. Padahal, sesuai perkiraan, sang anak seharusnya sudah
tiba sekitar satu jam yang lalu. Dan tentu saja, keadaaan itu adalah keuntungan
bagi Mirdan, sebab ia memang perlu menyelesaikan beberapa persoalan sebelum
sang anak muncul.
Dengan
perasaan lega, Mirdan pun bergegas menuju ladang untuk memetik buah jagung
sebagai bahan penyambutan, juga untuk membereskan perihal penting yang sedari
awal ia rencanakan. Langkahnya cepat demi menyelesaikan urusan genting itu,
juga agar ia kembali di rumah sebelum anaknya datang. Bagaimana pun, ia ingin
menyambut sang anak dengan baik.
Namun
sesampainya di ladang, Mirdan terperangah. Rumah ladangnya terbakar. Kobaran
api melalap struktur rumah secara cepat. Menghanguskan kayu, bambu, dan jerami.
Sudah
sangat terlambat untuk menyelamatkan rumah itu, tapi tidak dengan kebun jagungnya.
Maka lekaslah Mirdan membuat pembatas kosong di antara rumah dengan ladang
jagung agar api tak merembet ke mana-mana.
Setelah
beberapa saat, Mirdan pun duduk menyaksikan rumah ladangnya lenyap dilalap api.
Ia tentu bersedih. Tapi ketika mengingat apa yang telah ia lakukan di atas
rumah ladang itu malam tadi, ia ikhlas menerima bala itu sebagai balasan.
Di
tengah kekalutan Mirdan, tiba-tiba, Liman, anaknya, muncul-menyusuri jalan
setapak yang mengarah ke sungai.
Liman
pun sontak keheranan menyaksikan ayahnya di samping rumah ladang yang kini
telah lenyap di bawah asap yang masih mengepul.
Seketika
juga, Mirdan berpikir kalau-kalau kebakaran rumah ladang itu ada hubungannya
dengan kedatangan sang anak.
Dengan
sikap yang penuh keseganan, Liman pun melangkah menuju ke sisi sang ayah. “Maafkan
aku, Ayah,” tuturnya kemudian.
Tanpa
terduga, Mirdan tampak biasa saja. Ia pun menoleh singkat ke arah sang anak
sambil melayangkan senyum simpul.
“Tadi,
aku memetik dan membakar buah jagung di bawah kolong. Dan sepertinya, aku tak memadamkan
apinya dengan baik,” jelas Liman.
Mirdan
mengela-embuskan napas yang panjang. “Tak apa-apa, Nak. Lagi pula, rumah
ladang ini memang sudah reyot. Sudah waktunya diganti dengan yang baru,”
balasnya. “Lagi pula, ladang jagung kita tidak apa-apa.”
Seketika,
Liman terheran menyaksikan sikap ayahnya.
Liman
lalu duduk di samping sang ayah, dan mereka lantas berbagi cerita yang sama
sekali tak mempermasalahkan soal terbakarnya rumah ladang.
Sesaat
kemudian, kepulan asap pun menipis, dan tampaklah beberapa botol kaca yang acap
kali digunakan penjual bensin eceran di pinggir jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar