Sejak
pertama kali melihatmu di kampus, di awal kita jadi mahasiswa, aku telah mulai
memendam rasa kagum padamu. Aku sendiri tak mengerti kenapa bisa begitu.
Mungkin karena kau cantik. Mata berbinar, pipi tembam, dan dua lesung pipi,
adalah kombinasi yang sempurna di wajahmu. Tapi, mungkin juga ketertarikanku
karena rasa penasaran saja. Apalagi, kau perempuan yang pemalu dan tertutup.
Dan
seiring waktu, nasib baik berpihak padaku. Kau memilih bergelut di organisasi yang
selama ini, juga kuidam-idamkan: organsasi kesenian. Kau memilih mengembangkan
bakatmu di seni tari, sedangkan aku memilih musik. Akhirnya, karena sering
bertemu di sekretariat, kita pun jadi semakin dekat. Sikapmu yang dahulu terlihat
beku, kulihat, tampak sedikit mencair. Namun, kau masih tetap dengan watak
dasarmu, yang serius dan pemalu.
Sebagai
langkah taktis untuk mengenalmu lebih dalam, aku pun mencoba mendekatimu di dunia
maya. Kuduga, seseorang yang tertutup dalam pergaulan di dunia nyata, akan
lebih terbuka di dunia maya. Dan dugaanku terasa benar, sikapmu yang pemalu
kala kita berhadap-hadapan, ternyata berbeda jauh di dunia maya. Pesan-pesanmu
melalui akun media sosial, sangat ekspresif dengan ikon-ikon yang kau sertakan.
Keseringan
mengobrol di media sosial, akhirnya membuat hubungan kita benar-benar mencair,
meski sebatas di dunia maya. Kita sama-sama betah untuk mengulas segala hal, meski
akulah yang sering kali memulai. Kita suka mengobrol tentang organisasi, tugas
kampus, atau tentang teman-teman kita. Sampai akhirnya, aku ingin mengobrol
denganmu tentang masalah personal, tentang perasaan kita.
Aku
mulai dengan sebuah basa-basi, dengan pertanyaan yang telah kutahu jawabannya: Hai, besok kita sekelas kan? Ada tugas,
tidak?
Setelah
menunggu belasan menit, kau pun membalas: Iya.
Ada. Memangnya kau tak tahu? Kau mengakhiri pesanmu dengan ikon senyuman.
Aku
pun jadi kebingungan, bagaimana bisa aku begitu ceroboh melayangkan pertanyaan
itu padamu, padahal siang harinya, kau menjumpaiku mengerjakan tugas itu di perpustakaan.
Aku pun mengarang alasan lagi: Oh, oke.
Aku kira mata kuliah sekelas kita, lusa. Jadi, besok kamu hadir kan?
Iya, aku hadir. Memangnya kau
tidak? Kau membubuhi pesanmu dengan ikon tawa.
Aku
lalu berhasrat untuk menyentil perasaanmu: Ya,
aku hadirlah. Aku takut kau mencariku.
Kau
membalasku dengan tiga buah ikon senyuman, tanpa-kata kata, apalagi tanda
tanya.
Bola
liar pun berada padaku, tentang kelanjutan obrolan kita. Aku merasa tak tega
percakapan kita berakhir di malam yang masih panjang. Dan seperti kehilangan
kendali diri, aku mengirimkanmu pesan yang sedikit lancang: Besok aku jemput ya?
Kau
melewatkan beberapa menit sebelum membalas pesanku. Lagi-lagi, kau menambahkan
ikon senyuman: Tak usah. Aku jalan kaki
saja. Rumahku juga, dekat dari kampus.
Kuarahkan
pembicaraan untuk sentilanku selanjutnya: Tapi
terik mentari, sekarang makin ganas.
Kau
membalasku segera, sambil menyertakan ikon sedih: Memangnya kenapa? Aku sudah biasa.
Kutandaskan
lagi dengan menggugah rasamu: Aku takut
kulitmu melepuh dan cantikmu hilang.
Sampai
akhirnya, lewat tengah malam, kau tak lagi membalas pesanku.
Keesokan
harinya, kita pun berpasasan di kelas dan berkomunikasi di sekretariat
organisasi. Tapi kita melalui momen itu dengan biasa saja. Seakan-akan di malam-malam
sebelumnya, kita tak bercakap-cakap di dunia maya. Hubungan kita, masih saja
begitu. Sebatas teman, tanpa kesan yang lebih. Kau tetap sibuk dengan urusanmu sendiri, begitu
pun aku.
Berbulan-bulan
berlalu, hubungan kita masih seaneh itu. Hubungan yang membelah pandanganku
atas dirimu, di antara dunia nyata dan dunia maya. Kau begitu ekspresif di
dunia maya, dan itulah yang aku suka. Namun sebaliknya, di dunia nyata, kau tak
jauh berbeda saat pertama kali aku mengenalmu. Kau tetap seorang wanita yang
pendiam, tertutup, dan pemalu. Misterius.
Akhirnya,
ilusi mengendalikan diriku. Aku merasa menjadi penggemar beratmu, tapi tak ada
niatku untuk menunjukkannya secara nyata. Aku merasa menjadi orang yang peduli
padamu, tapi ragaku kaku kala berhadapan denganmu. Aku merasa sangat
menginginkanmu, tapi tak pernah bernyali untuk bertanya tentang perasaanmu
secara langsung. Bagitu saja.
Hingga
sampailah aku pada akhir yang mengenaskan, saat kau ditaklukkan oleh seorang
lelaki lain. Sungguh, itulah kenyataan terpahit yang kualami. Aku sadar, kita memang
tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa selain pertemanan, dan sudah seharusnya
aku tak berduka begitu dalam. Tapi kau tak tahu, aku telah dibelenggu ilusiku
sendiri, tentang keakraban kita di dunia maya.
Maka
malam ini, kala kekalutanku memuncak setelah mengulas sejarah obrolan kita di
dunia maya, aku mengirimkan pesan padamu, sebuah tanya yang kukarang-karang
sendiri: Apa kau telah mengembalikan buku
yang kupinjamkan padamu?
Tanpa
menunggu lama, kau pun membalasku, tanpa ikon apa-apa, apalagi tanda tanya: Seingatku, aku telah mengembalikannya
sebulan lalu.
Dengan
rasa tak keruan atas responsmu yang tawar, aku pun meruntuhkan sedikit demi
sedikit khayalan yang selama ini kubangun sendiri. Demi waktu, aku akan menyudahi
tantang aku dan khayalanku sendiri. Maka, kubalas kau dengan pesan tanpa
harapan: Baiklah. Aku kira buku itu masih
ada padamu.
Kau
tak mengirimkan balasan lagi.
Dan
sambil berbaring dengan perasaan yang menyesakkan, kusibak kembali lembaran
terakhir bukuku yang pernah kupinjamkan padamu itu. Sebuah novel romantis.
Berkisah tentang kasih tak sampai, tentang tragisnya hidup seorang pemendam
rasa. Di sana, kujumpai lagi sepenggal tulisan tanganmu:
Aku belajar dari novel ini, bahwa
cinta butuh keberanian. Cinta butuh kepastian.
Dan salahnya, aku tak belajar
dari pesanmu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar